Arya dan Sansa Stark: Dua Wajah Kebebasan Perempuan

Musim ketujuh Game of Thrones, konversasi antara Sansa Stark dan Arya Stark di Winterfell (Sumber: imdb.com)

 

Apresiasi – Berkurun-kurun lamanya, perempuan sering dihadapkan pada ekspektasi sosial yang membatasi kebebasannya dalam mengekspresikan diri. Ada yang beranggapan bahwa perempuan harus menjadi sosok yang bersolek dan tunduk, sementara itu ada juga yang menuntut perempuan untuk menjadi sosok yang tangguh dan mandiri. Namun, haruskah ada satu patokan yang menjadi tolak ukur perempuan dalam memilih jalan hidupnya?

Melalui karakter fiksi Game of Thrones–serial fantasi yang diadaptasi dari novel A Song of Ice and Fire karya George R. R. Martin–dua saudari House of Stark, Arya dan Sansa Stark, menjadi gambaran tentang bagaimana perempuan dapat menemukan kebebasan melalui cara mereka masing-masing.

 

Arya Stark dengan Pedang dan Petualangannya

Sejak kecil, Arya Stark bersikeras menolak peran konvensional perempuan berdarah biru di wilayah Westeros. Keluarganya mengharapkan ia tertarik dengan hal-hal yang umumnya berkaitan dengan seorang lady, Arya justru lebih tertarik untuk belajar bertarung dan berpetualang. Arya menolak cara bergaun dan cara menyulam, ia lebih memilih belajar cara memegang pedang dan bertahan dalam pertempuran. 

Pilihan yang dibuatnya membawa ia ke jalan yang penuh dengan ancaman, mulai dari melarikan diri setelah kejadian kejam yang terjadi pada keluarganya di King’s Landing, hingga menjadi bagian dari Faceless Menkelompok pembunuh bayaran yang mengajarkannya tentang strategi bertarung dengan wajah yang bisa berubah-ubah.

Akan tetapi, keberanian Arya bukan sekadar soal bertarung. Ia berani menentukan nasibnya sendiri di dunia yang menganggap perempuan seharusnya tunduk pada sistem patriarki. Saat banyak orang Westeros percaya bahwa perempuan hanya bisa berkuasa melalui pernikahan atau warisan.

 

Sansa Stark dengan Taktiknya yang Senyap

Bertentangan dengan adiknya, Sansa Stark tumbuh dengan keteguhan bahwa perempuan harus menjadi sosok yang anggun dan patuh. Pada mulanya, Sansa bercita-cita menjadi ratu, membayangkan kehidupan ideal sebagai istri dari seorang pangeran.

Akan tetapi, setelah hidup di King’s Landing, semua hal yang didambakannya tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Selama bertahun-tahun Sansa mengalami pengkhianatan, kehilangan, dan penderitaan yang memedihkan. Ia memahami bahwa jalannya untuk menuju keberhasilan tidak datang dari pedang, tetapi dari kecerdikan dan strateginya. Keputusannya untuk menolak tunduk pada pemerintahan King’s Landing berhasil mewujudkan wilayah asalnya merdeka dan menjadikannya The Lady of Winterfell.

 

Kebebasan Perempuan Harus Bersama Pilihan Perempuan Sendiri

Di dunia yang sering menetapkan standar tentang bagaimana perempuan seharusnya bersikap, Arya dan Sansa Stark hadir merepresentasikan bahwa perempuan memiliki peta sendiri untuk menjadi apa saja. Arya memilih jalannya sendiri, menolak tradisi, dan hidup dengan kebebasan tanpa terikat aturan sosial yang membatasi. Sebaliknya, Sansa menunjukkan bahwa kekuatan juga bisa datang dari pemahaman dan strateginya yang terencana, tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai seorang lady.

Kebebasan perempuan bukan tentang mengikuti satu pola tertentu, melainkan tentang memilih jalan yang paling sesuai dengan diri sendiri. Entah itu seperti Arya yang bebas melanglang buana tanpa batasan, atau seperti Sansa yang menemukan kekuatannya dalam ketenangan dan kepemimpinan. Kita sebagai perempuan berhak menentukan siapa diri kita, tanpa perlu merasa kurang hanya karena tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.

Pada Hari Perempuan Sedunia ini, kisah Arya dan Sansa mengingatkan bahwa perempuan tidak perlu dibelenggu. Kebebasan sejati bagi perempuan adalah saat bisa berdiri sebagai dirinya sendiri tanpa perlu pembuktian kepada siapa pun. Perempuan tidak harus menjadi satu tipe tertentu untuk dihargai dan diterima di masyarakat.

 

Selamat Hari Perempuan untuk seluruh perempuan berharga di dunia!

 

Penulis: Adelia Nurlatifa

Editor: Nurjannah, Nuzuluh Magfiroh

 

Referensi:

The Everyday Peace Initiative. (2019). The Representation of Gender and Power in ‘Game of Thrones’. Diakses melalui https://everydaypeaceinitiative.com/2019/05/09/the-representation-of-gender-and-power-in-game-of-thrones/

Trammell, K. (2019). Arya and Sansa of ‘Game of Thrones’ remind us never to doubt the power of sisterhood. CNN. Diakses melalui https://edition.cnn.com/2019/05/04/entertainment/arya-sansa-stark-game-of-thrones-trnd/index.html

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top