Buruh Indonesia: Sebuah Potret yang Belum Sempurna

Potret Buruh Berdemo (Sumber: Solo Pos)

 

Apresiasi – Sejatinya, banyak pihak yang berkoar-koar tentang keadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kesetaraan. Tahun ke tahun peringatan hari buruh, apakah membawa perubahan? Atau semua yang disuarakan kepada pemerintah dan perusahaan terkait kepentingan buruh hanya dianggap angin lalu? Pun mereka yang menerima bagaikan septic tank yang hanya menampung, tetapi enggan memberi solusi apapun.

Lalu, di mana kesetaraan itu? Di mana hak mereka yang sesungguhnya tertuang dalam retorika kesetaraan, keadilan, dan HAM? Dari semua yang buruh kerjakan untuk penghidupan, di mana letak mereka sesungguhnya di tengah-tengah orang yang berlakon seolah tuan atas mereka?

Kita tidak bisa terbebas dari bui kapitalisme yang mengagungkan kaum borjuis dan menganggap proletar adalah pesuruh. Di Indonesia, hal ini dapat diselaraskan dengan nasib buruh terhitung sejak saat Belanda berusaha merebut dan mempertahankan kekayaan alam. Berbalut kondisi yang tidak manusiawi, hak-hak buruh seolah dihempas dan dilupakan.

Kita hidup dan bertahan adakalanya bukan karena kemauan, melainkan kekuatan akibat tindasan dan masalah hebat. Hal ini pula yang akhirnya membuat buruh melakukan pemberontakan sehingga para pekerja dan serikat buruh merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. 

Pada masa Orde Baru, aksi turun ke jalan dan tuntutan hak buruh sempat berhenti. Hal ini karena pada zaman tersebut buruh dianggap berafiliasi dengan komunis yang menggalangkan aksi Turba atau Turun ke Bawah. Oleh karena itu, tidak heran bila aksi kaum buruh sempat macet dan hanya seadanya di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Lahirlah reformasi melalui jalan yang berharum darah, perjuangan, dan linangan air mata, begitu kata Budiman Sudjatmiko. Jalan yang sampai saat ini masih terus dinikmati dan berusaha disempurnakan, membuat buruh lebih leluasa menyampaikan hak mereka setelah melewati hal hebat menuju gerbang reformasi kala itu.

Presiden Bacharuddin Jusuf (B. J.) Habibie menjadi presiden pertama reformasi yang melakukan ratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 81 tentang Kebebasan Berserikat Buruh.

Pada 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional yang membawa gebrakan baru bagi sejarah Indonesia. Sejak saat itu, dari tahun ke tahun, kalender turut mengingatkan momentum penting yang harus dijenguk oleh setiap orang di negeri ini, tentang hak buruh dan bagaimana kondisi mereka.

Awal Mei selalu menjadi panggung buruh untuk menuntut hak-hak mereka, mulai dari upah yang rendah atau bahkan pembayarannya tertunda, ketimpangan antara jam kerja dan upah yang diperoleh, hak cuti hamil, hak cuti haid, hingga Tunjangan Hari Raya (THR).

Pada tahun kabisat yang kembali memperingati Hari Buruh ini, mari menilik buruh perempuan dalam semesta pekerjaan mereka. Mengingat gencarnya buruh seolah selalu beringas ingin turun ke jalan, menjadi indikasi bahwa masih ada yang belum beres dalam ranah pekerjaan setiap buruh. 

Suara-suara lantang mereka yang menggelegar setiap kali ada hal yang ingin diutarakan sebetulnya harus menjadi catatan bagi para penguasa atau bahkan siapa saja yang berlakon jadi manusia di atas mereka.

Perempuan bukan hidup dari pembenaran. Perempuan hidup karena melawan. Buruh, guru, penjahit, pedagang, apapun pekerjaan mereka, sudah sepatutnya hak dan perolehan kesetaraan mereka utuh. Pada akhirnya, semua yang sedap didengar seakan menjadikan mereka sebagai individu yang serakah dan selalu menuntut. Padahal, mereka tidak minta dispesialkan. Mereka hanya minta disamaratakan dan seyogianya diberikan hal-hal yang memang pemakluman atas kodrat yang mereka pikul.

Banyak media membingkai tentang keputusan buruh yang meliburkan diri dan turun ke jalan untuk menuntut hak mereka. Mungkin, bagi siapapun yang belum memahami duduk perkara akan bertanya, siapa yang mereka tuntut? Lalu, akan adakah perubahan?

Contoh peristiwa yang sempat menjadi sorotan publik adalah kasus boikot yang menerjang salah satu perusahan es krim di Indonesia. Para pekerja memutuskan untuk melakukan mogok kerja karena tindakan sewenang-wenang perusahaan yang toh pada akhirnya berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. Padahal, persoalan utama yang harus ditilik adalah bagaimana sebenarnya buruh dipekerjakan oleh perusahaan.

Mari lihat perkara ini, hanya karena satu manusia merasa hebat dan berhak memperagakan buruh sebagai tenaga kerja yang berupah murah, serta barangkali saat itu “belum” ada perlawanan dari buruh, maka segenap orang yang selalu merayu investor itu mengabaikan hak setiap buruh. 

Seorang karyawati keguguran. Hal ini bila dilihat dari persoalan jam kerja berlebihan yang mengakibatkan kelelahan. Jika dilihat dari segi upah, dengan mempekerjakan manusia sampai harus kehilangan tidak hanya nyawanya melainkan nyawa bayi yang dikandungnya, seberapalah upah yang diperolehnya? 

Lantas, persoalan ini bagi mereka yang selalu ingin menang sendiri akan melawan dengan dalih klise yang sebetulnya memuakkan. Dengan mengatakan, “Kami tak mungkin mempekerjakan manusia sampai harus keguguran seperti itu. Kami juga manusia dan berkeluarga. Barangkali, memang dia yang tidak bisa jaga diri.” Mungkin, jawaban mereka tidak terdengar demikian di banyak media, tapi diamnya mereka sebetulnya layak dituntut sebagai dalang.

Perempuan di dunia pekerjaan pun masih sering dipandang sebelah mata, masih sering memikul beban berat. Sama halnya dengan pekerja buruh perempuan yang masih belum mendapatkan hak mereka.

Pertanyaannya sederhana, salahkah mengambil cuti sebelum dan pasca melahirkan? Salahkah mengambil waktu rehat sejenak saat menstruasi datang dengan hantaman sakit di seluruh badan? Salahkah mengambil kesempatan untuk istirahat sejenak apabila sedang lelah dan tanpa harus mengoyak upah yang ada?

Mari tutup semua mulut manusia yang mengatakan siklus berulang ini sebagai sakit yang berlebihan. Itu pulalah alasan mengapa pada akhirnya keadilan bak pungguk merindukan bulan.

Semua yang berkaitan dengan cuti seolah akan membebankan potongan upah terhadap gaji mereka, yang notabenenya masih diperjuangkan agar setara dengan “para aset negara” yang selalu diperhatikan dan memperoleh pertambahan gaji setiap tahun. Bukankah itu beban ganda? 

Buruh masih dipandang sebelah mata. Bukan hanya oleh beberapa orang dari masyarakat, tapi juga oleh atasan yang berpikir punya kuasa atas hidup mereka. Buruh bekerja barangkali tanpa ada kontrak yang jelas, sama tidak jelasnya dengan besaran gaji mereka. Lalu, ketika memerlukan waktu istirahat, gaji yang tak seberapa itu seperti dikebiri dengan alasan mengurangi produktivitas.

Memang ada perusahaan yang kian memperhatikan keadaan buruh mereka. Pada zaman ketika HAM berkumandang santer dan dijunjung setinggi mungkin. Pada zaman di mana kesetaraan sedang berkejaran dengan perkembangan teknologi. Juga pada zaman di mana semua orang berusaha menganakkandungkan minoritas. Buruh pun semakin mendapat tempat untuk bebas menyuarakan hak mereka. 

Namun tetap saja, sebagian besar buruh kita tetap menjadi kelas dua. Perusahaan masih perlu dididik oleh pemerintah untuk memberikan hak buruh, terkait cuti atau bahkan upah. Mari terus kawal pemerintah, yang sering kali merayu-rayu investor seakan menjadikan buruh pekerja bak sebuah robot yang siap melakukan perintah kapan saja hanya untuk kepentingan produksi.

Jelas, kita semua ingin memperbaiki nasib para buruh. Hari Buruh ini menjadi momentum agar kita tidak henti-hentinya memperjuangkan keadilan yang setegaknya untuk mereka yang bekerja di bawah rengkuhan atasan yang belum mampu memanusiakan manusia. 

 

Selamat Hari Buruh untuk semua buruh di penjuru Indonesia!

Bagi para buruh yang bekerja di sektor apapun, khususnya perempuan-perempuan tangguh yang bekerja rangkap tidak hanya untuk rumah dan keluarga, tetapi juga industri atau perusahaan, terima kasih untuk keringat dan jerih lelah kalian.

Mari lanjutkan perjuangan, melalui tindakan ataupun turun ke jalan.

 

Penulis   : Naftaly Mitchell

Editor    : Ayu Nisa’Usholihah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top