Pembacaan Poin Tuntutan oleh Pegiat Kamisan Memperingati 100 Hari Gamma di depan Kantor Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah pada Kamis (6/3) (Sumber: Manunggal)
Semarangan – Aksi Kamisan untuk memperingati 100 hari kepergian Gamma berlangsung di depan kantor Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng) pada Kamis (6/3). Dihadiri oleh elemen masyarakat sebagai bentuk merawat ingatan, dan pengawalan terhadap kasus Gamma yang dinilai lamban.
Pada 6 Maret berkas kasus Gamma dinyatakan lengkap dan sampai di Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang untuk ditinjau selama 20 hari. Setelah itu, pelaku akan dihadapkan di pengadilan untuk dijatuhi tuntutan.
Polisi Lamban dan Tak Serius
Sejak Aipda Robig dinyatakan sebagai tersangka dalam pembunuhan Gamma, baru awal Maret kasus Gamma menghirup udara segar, karena akhirnya berkas sampai di Kejari Kota Semarang. Polisi dinilai lamban dan tidak serius dalam menangani kasus Gamma, sebab pada adegan reka ulang pun banyak kendala: polisi tidak terbuka, banyak perubahan sampai jadwal yang molor.
“Jadi, pertama kasusnya lambat. Kedua, dari pihak kepolisian kami anggap tidak terbuka dan serius dalam menanggapi kasus. Dilihat dari orang-orang pelaku fitnah tidak diberi sanksi tapi justru dipindah tempatkan, itu membuat kami marah,” ujar Munif, salah satu pegiat Aksi Kamisan Semarang yang diwawancarai oleh awak Manunggal pada Kamis (6/3).
Kinerja kepolisian saat ini mengalami kemunduran yang signifikan. Dalam menangani kasus-kasus penting, termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terkesan acuh tak acuh. Kasus yang tidak viral, jarang ditangani dengan nurani oleh polisi. Oleh sebab itu, ketenaran menjadi pompa bagi polisi untuk menyelesaikan sebuah kasus.
Seharusnya tidak demikian, karena dalam kasus Gamma, sudah ditetapkan siapa tersangka yang sebenarnya, tetapi hingga saat ini belum ada peradilan. Seolah polisi hendak melindungi pelaku hanya dengan memindahtugaskan. Sebuah ironi karena pembunuh sama sekali tak diberi ganjaran.
“Karena sebetulnya ini pelanggaran HAM berat, yang sudah menghilangkan nyawa dengan sistem atau struktur. Kami sih berharap semua pelaku pembunuhan termasuk pelaku fitnah dihukum, dan dicopot,” pungkas Munif.
Keluarga Gamma tetap menanti keadilan karena pembunuh harus dihukum. Kasus Gamma harus diusut hingga tuntas, apabila tidak ingin terjadi hal serupa di suatu hari nanti.
Polri Perlu Reformasi
Kasus Gamma laik disanding dengan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Mengingat institusi ini tak terkena dampak efisiensi dan kerap problematik bila menyoal tentang Hak Asasi Manusia. Kekerasan polisi kerap jadi bingkai untuk memaknai bahwa tugas mereka jauh dari kata melayani dan mengayomi.
Triliunan digelontorkan hanya untuk melakukan represi terhadap rakyat, polisi dinilai awut-awutan dan perlu dibenahi. Banyak perkara yang menyeret kepolisian bahwa institusi ini terlampau morat-marit terlebih dalam memenuhi tugasnya.
Seperti kasus Gamma, penggunaan pistol oleh polisi yang tak bertugas adalah sebuah kefatalan. Terlebih yang jadi korban merupakan seorang pelajar.
“Jadi kita perlu menautkan kasus Gamma dengan satu kasus yang lebih besar, yaitu reformasi polisi bahwa pembunuhan terhadap Gamma cuma satu kejadian, bahwa kejadian yang lain juga ada,” tambah Munif.
Merawat Ingatan
Aksi Kamisan untuk memperingati 100 hari Gamma adalah bentuk melawan lupa. Bahwa tanggal 24 November 2024 lalu, ada seorang anak yang mati dibunuh polisi dan sampai hari ini ia belum mendapat keadilan.
Gamma dibunuh dua kali oleh polisi, setelah ditembak dan menghilangkan nyawanya, ia juga dituduh sebagai pelaku tawuran. Sebuah ironi karena polisi gemar berdalih dengan alasan klise karena tak mampu dibantu bukti Closed Circuit Television (CCTV).
Oleh sebab itu, kasus Gamma akan tetap dikawal sampai keadilan ditegakkan, pelaku diberi ganjaran sesuai hukum, dan nama Gamma dipulihkan.
“Pada 100 hari Gamma ini tentunya bentuk merawat ingatan bahwa ada di satu kota besar, seorang anak SMK yang dibunuh mati oleh polisi. Dan Aksi Kamisan adalah satu bentuk untuk kita merefleksikan diri bagaimana bisa merawat ingatan dan melawan ketidakadilan,” kata Firly Aufa, yang akrab disapa Aca dari bookclub Semarang.
Adapun poin tuntutan dalam aksi kali ini adalah mendesak aparat kepolisian dan Kejaksaan Tinggi provinsi Jateng untuk segera:
- Menuntut kepala Kejaksaan Negeri Jawa Tengah agar segera melimpahkan Robig ke muka pengadilan dan memberikan tuntutan yang seberat-beratnya.
- Mendesak kepala polri (kapolri) khususnya komisi etik yang menangani kasus Robig untuk melakukan proses banding dengan transparan dan akuntabel serta mempertimbangkan rasa keadilan keluarga, korban, dan masyarakat sipil.
- Mendesak kapolri dan ketua majelis komisi etik yang menangani perbandingan Robig untuk menolak permohonan banding Robig.
- Menuntut kapolri untuk melakukan pencopotan mantan Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Semarang Komisaris Besar (Kombes) Pol Irwan karena diduga telah melemparkan informasi yang berpotensi menutup-nutupi fakta penembakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Robig, mantan anggotanya.
Kasus Gamma akan tetap dikawal oleh masyarakat sipil sebagai bentuk perlawanan untuk menuntut keadilan. Semakin polisi mengabaikan kasus Gamma, maka semakin besar juga kekuatan publik yang akan tergabung.
Reporter: Raina Diandra, Naftaly Mitchell
Penulis : Naftaly Mitchell
Editor : Nuzulul Magfiroh, Nurjannah