Sahlan, Seorang Pedagang Gilo-Gilo sedang Berjualan di sekitar Stasiun Poncol, Rabu (24/4) (Sumber: Manunggal)
Feature – Kota Semarang merupakan kota dengan segudang budaya dalam berbagai bidang. Budaya-budaya yang dimaksud terdiri dari budaya lokal, asimilasi, hingga budaya baru yang dibentuk oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, perpindahan penduduk, dan inisiatif individu. Perkembangan budaya tersebut juga memengaruhi bidang kuliner ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini, salah satunya adalah gilo-gilo.
Gilo-gilo merupakan sebutan cara berjualan dengan menjajakan berbagai macam jajanan secara berkeliling. Makanan yang dijual di antaranya beragam buah-buahan, aneka gorengan, serta jajanan tradisional.
Biasanya, pedagang gilo-gilo menggabungkan berbagai makanan tersebut dalam gerobak sambil keliling berjualan. Pedagang gilo-gilo pada umumnya berasal dari golongan menengah ke bawah dan pembelinya pun kebanyakan tidak jauh dari golongan tersebut. Jika bukan orang-orang tua, gilo-gilo zaman sekarang didagangkan oleh remaja-remaja putus sekolah.
“Karena kan kadang susah cari pekerjaan, jadi biasanya anak-anak yang putus sekolah tuh bisa juga (berdagang gilo-gilo, red),” ungkap Sahlan, pedagang gilo-gilo di sekitar Stasiun Poncol.

Menilik sejarahnya, gilo-gilo pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an. Saat itu, Kota Semarang merupakan wilayah pesisir yang sangat strategis untuk kegiatan ekonomi. Maka dari itu, terjadi urbanisasi dari daerah-daerah sekitar yang dipicu oleh hasrat keuntungan dan kebutuhan ekonomi.
Konsep gilo-gilo kebanyakan dipopulerkan oleh para pendatang asal Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Klaten. Kaum pendatang ini kemudian mulai berjualan gilo-gilo karena terinspirasi oleh konsep Hidangan Istimewa Kampung (HIK) atau angkringan khas Kota Solo.
Nama gilo-gilo sendiri berasal dari ucapan para pedagang “iki loh, iki loh”. Namun, seiring berjalannya waktu, pelafalan masyarakat Kota Semarang mengubah sebutan tersebut menjadi “gilo-gilo” dan terus dikenal hingga sekarang.
Mula-mula, pedagang gilo-gilo menggunakan keranjang pikul, tetapi terjadi transformasi alat berdagang menjadi gerobak dorong pada tahun 1985. Gilo-gilo di zaman sekarang memiliki lebih banyak variasi makanan, seperti rujak buah, lumpia, dan kue donat. Harga makanan yang dijual pun mengalami kenaikan, yang awalnya dibanderol seharga Rp500 naik menjadi Rp1.000–Rp1.500/makanan.
Para pedagang gilo-gilo juga tidak hanya memproduksi sendiri makanan yang mereka jual. Biasanya ada orang yang turut menitipkan dagangan mereka atau biasa disebut ngalap nyaur. Ngalap nyaur adalah bentuk kerja sama di mana pemasok akan menitipkan barang kepada pedagang tanpa bayaran terlebih dahulu. Pembayaran oleh pedagang dilakukan setelah barang-barang yang dititipkan telah laku terjual.
Kendati pernah berada di puncak kejayaan, kondisi gilo-gilo di masa sekarang telah mengalami degradasi yang cukup signifikan. Poin yang paling mencolok adalah jumlah pedagang gilo-gilo yang semakin menipis. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut.
Keuntungan yang Kecil
Tidak dipungkiri bahwa salah satu ketertarikan gilo-gilo karena harga beli yang murah. Dikenal sebagai kaki lima paling dekat dengan rakyat, gilo-gilo memiliki eksistensi khusus terhadap kelas sosial tertentu. Meskipun demikian, nyatanya harga beli termasuk salah satu faktor yang membuat keberadaan pedagang gilo-gilo kian memudar. Buah-buahan sebagai salah satu sajian utama gilo-gilo memiliki harga pasar yang tidak tetap, bahkan cenderung naik. Hal ini kemudian tidak sebanding dengan harga buah yang dijual pedagang gilo-gilo. Para pedagang mengaku tidak dapat meningkatkan harga jual karena takut pembeli akan berkurang sehingga dagangan tidak laku. Ketimpangan antara harga pasar dan harga jual inilah yang membuat pedagang gilo-gilo gulung tikar karena terus mendapat keuntungan kecil.
Kurangnya Bantuan Pemerintah dan Perhatian Infrastruktur
Telah disinggung bahwa harga buah menjadi faktor yang cukup krusial terhadap punahnya gilo-gilo. Pemerintah tidak begitu menawarkan solusi mengenai perubahan harga buah yang terus terjadi setiap tahun. Padahal, ada banyak langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan khusus serta pengembangan teknik dan teknologi untuk kegiatan pascapanen berpotensi besar dapat menekan harga buah di pasaran. Dengan begitu, harga buah akan stabil dan pedagang gilo-gilo tidak merasa sulit membagi keuntungan.
Tidak hanya itu, dukungan pemerintah juga dapat tertuang dalam perhatian kualitas infrastruktur. Pedagang gilo-gilo lebih sering berjualan dengan berkeliling, dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk itu, perlu adanya penstabilan mutu jalanan yang digunakan. Bukan hanya jalanan yang bagus dan mulus yang dibutuhkan, melainkan juga jalanan yang ramah pejalan kaki dan minim celaka. Pedagang gilo-gilo zaman sekarang merasa kekurangan pilihan tempat untuk berjualan.
Globalisasi
Faktor perubahan zaman adalah yang paling sulit dihindari. Globalisasi telah mengantar berbagai macam ide berjualan kaki lima yang menarik dan dianggap dapat menghasilkan keuntungan lebih. Gilo-gilo kemudian mulai tertutup oleh dagangan modern yang kian menjamur. Tidak hanya mengasingkan keberadaannya gilo-gilo, para pedagang gilo-gilo pun satu per satu mulai beralih mengikuti tren berjualan modern. Keuntungan yang semakin hari tidak terpenuhi menjadikan gilo-gilo semakin jarang dilihat mata.
Melihat permasalahan di atas, muncul berbagai upaya yang dapat menjadi penyelamat agar gilo-gilo sebagai cara berjualan khas Kota Semarang tidak punah.
Pertama, dengan melakukan promosi besar-besaran. Telah dikenal sebagai salah satu keunikan bidang kuliner Kota Semarang, membuat gilo-gilo memiliki potensi untuk dapat diperkenalkan lebih luas lagi. Berkonsep Pedagang Kaki Lima (PKL), gilo-gilo sangat cocok untuk ikut meramaikan kegiatan kuliner di perayaan hari-hari besar atau Car Free Day (CFD) di berbagai kawasan Kota Semarang.
Selain itu, pengadaan acara khusus gilo-gilo dapat menjadi opsi guna melestarikan dan memberi wawasan kepada masyarakat mengenai PKL khas Kota Semarang tersebut. Promosi melalui media sosial juga dapat dilakukan guna memperkenalkan gilo-gilo terhadap generasi muda.
Kedua, dengan melakukan strategi berdagang. Gilo-gilo dikenal akrab dengan rakyat golongan bawah. Namun, tidak menutup kesempatan bahwa gilo-gilo juga dapat diperjualbelikan di tempat-tempat umum lain. Sebut saja perkantoran, sekolah, hingga perumahan. Tidak harus selalu di pasar atau pojok-pojok kota. Harga yang murah dan jajanan yang beragam tentu dapat menarik minat siapa pun. Strategi berdagang juga dapat difokuskan pada variasi makanan yang dijual. Menyadari perkembangan zaman, jajanan pada gilo-gilo dapat disesuaikan dengan selera pembeli. Tentu saja inovasi yang dilakukan tidak boleh terlalu jauh dari unsur-unsur makanan yang menjadi ciri khas gilo-gilo agar keunikannya tidak menghilang.
Ketiga, dengan menggunakan gilo-gilo sebagai objek kajian atau penelitian. Upaya dapat muncul dari berbagai perspektif. Keadaan krisis dari gilo-gilo tentu sangat menarik apabila diteliti dan ditulis. Civitas academica merupakan pelaku paling sesuai untuk upaya tersebut. Selain dapat memenuhi kebutuhan karya tulis, meneliti gilo-gilo pun dapat memperbesar kesempatan untuk menemukan solusi terbaik atas krisis gilo-gilo di Kota Semarang.

Didik, pedagang gilo-gilo di sekitar Masjid Agung Kauman Semarang mengharapkan agar gilo-gilo dapat dipertahankan karena telah menjadi salah satu tradisi berjualan khas Kota Semarang.
“Harus dikembangkan, ya. Masalahnya ini kan udah tradisi lama. Mau gak mau harus bertahan karena memang penghasilan kita cuma ini tok,” ujar Didik.
Saat ini pedagang gilo-gilo masih dapat ditemui di Jalan Imam Bonjol, Jalan Pattimura, sekitar Stasiun Poncol, Alun-alun Kota Semarang, dan sekitar Pasar Johar. Meskipun tidak banyak, gilo-gilo masih berusaha eksis untuk memenuhi kebutuhan jajanan murah bagi rakyat kecil serta memberi remang salah satu wajah kuliner yang kian tergerus zaman.
Penulis: Hildha Muhammad Tahir
Editor: Hesti Dwi Arini, Ayu Nisa’Usholihah
Referensi
Wardhana. P. M. N dan Andy Suryadi, “Survivalitas Pedagang Gilo-gilo Semarang Tahun 1960-2000,” Journal of Indonesian History 10, no. 2, (2021): 141—154
