Penampakan Namsan Tower saat musim gugur di Seoul, Korea Selatan (Sumber: Traveloka.com)
Dan tunggulah aku di sana
Memecahkan celengan rinduku
Berboncengan denganmu
Mengelilingi kota
Menikmati surya perlahan menghilang
Sastra – Aku terus menyenandungkan lagu “Celengan Rindu” milik Fiersa Besari seolah-olah lagu itulah yang menggambarkan perasaanku. Aku tak sabar menemuimu kembali setelah 3 bulan lamanya kita tak berjumpa.
Aku berniat memberimu kejutan dengan kedatanganku yang mendadak. Aku datang ke rumahmu, berharap kamu sedang tidak keluar. Namun, saat aku datang untuk menjemput cintamu, nyatanya kamu tidak sendiri lagi. Ingatkah kamu tentang janjimu untuk selalu menungguku?
Cinta yang ku semai
Gugur sebelum tumbuh
Pelangi yang indah hilang tersapu badai
Karena engkau yang tak setia menungguku
“Yerim? Bagaimana bisa kamu di sini?” tanyamu.
“Dia siapa?” tanyaku.
“Dia tunangan Jinyoung,” jawab Ibumu.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Hatiku seakan pecah berkeping-keping. Melihatmu dengan wanita lain yang ternyata adalah tunanganmu membuat duniaku runtuh seketika.
Ibumu mendekatiku, lalu menyerahkan selembar kertas yang ku yakini itu adalah undangan pernikahanmu. Bodohnya, kenapa aku mengambil lembaran menyakitkan itu? Aku langsung berlari tanpa arah tujuan. Semua terjadi bak mimpi. Tidak pernah aku menyangka akan seperti ini.
Cinta kita gugur bagai dedaunan kering. Gugur begitu saja tanpa kekuatan. Hatimu telah pergi jauh. Aku tak bisa menangkapmu, bahkan mendekapmu. Enyah sudah semua hal yang kukira akan abadi. Perasaan kalut menggelanting serpihan demi serpihan. Hanya kenangan dalam balutan memori yang tersisa.
Di antara semua hari, hari itulah yang paling sunyi. Semua berubah menjadi remah. Sebuah hubungan hampa bak langit musim gugur. Daun-daun kering turun selayaknya air mata. Satu daun tersisa menaut pada sebuah ranting. Daun itu remuk, aku melihat sebuah akhir.
Aku melangkah menyusuri jalanan penuh pohon maple yang berkarpet guguran daun berwarna khas musim gugur. Aku tak menyangka hubungan yang sudah kita jalani selama 2 tahun ini berakhir. Dulu di musim yang sama, kau utarakan perasaanmu padaku. Akankah kau masih mengingatnya?
Kala itu Korea Selatan sedang memasuki musim ketiga di bulan Oktober. Kamu memintaku untuk menemuimu di Namsan Mountain.
Pemandangan di Namsan Mountain dipenuhi dengan dedaunan berwarna kuning kemerahan. Daun-daun kuning kemerahan yang berguguran mampu mengubah lanskap secara dramatis dengan kesan romantis yang tak terbantahkan. Udara sejuk dengan langit berwarna biru cerah serta tiupan angin sepoi-sepoi menjadi kombinasi alam yang sangat serasi ketika musim gugur tiba. Kamu memang pandai memilih tempat yang indah. Namun, aku tak tahu maksud tujuanmu memintaku datang ke tempat itu.
Aku berdiri sendirian di bawah Namsan Tower menunggu kedatanganmu. Aku hampir bosan dibuatnya. Kamu tak kunjung datang. Saat itu aku hampir pulang, tetapi akhirnya kamu datang.
Kamu seakan tidak peduli berapa lama aku menunggumu. Justru kamu berjalan mendekati Namsan Tower. Entah kenapa, aku terus mengikutimu. Tiba-tiba kamu berhenti berjalan, membuatku tak sengaja menabrak tubuh proporsionalmu itu.
“Kalau mau berhenti, bilang dulu bisa nggak, sih?”
Lagi dan lagi, kamu tidak memedulikanku. Kamu justru menangkap salah satu daun maple yang gugur, lalu berbalik menghadapku. Jantungku seketika berdegup kencang ditatap oleh mata tajam bak mata elang milikmu.
“Kamu ingat ucapan Eun-tak saat Goblin berhasil menangkap daun maple yang gugur?”
Akhirnya, kamu berbicara padaku. Iya, tentu saja aku ingat. Adegan itu adalah salah satu scene favoritku.
“Kalau kamu menangkap daun maple yang jatuh, orang yang sedang bersamamu akan jatuh cinta padamu.”
“Iya, betul. Dan, apakah kamu tahu ucapan Eun-tak itu fakta atau mitos?”
“Pasti mitos. Itu cuma ada di serial drama.”
“Kalau aku adalah Goblin dan kamu Eun-tak bagaimana?”
“Maksud kamu?”
“Setelah Eun-tak mengucapkan kalimat itu, apakah Goblin jatuh cinta dengannya?”
“Iya. Lalu, apa hubungannya dengan kita?”
“Aku seperti Goblin yang jatuh cinta pada Eun-tak. Dan Eun-tak itu kamu.”
Aku benar-benar terkejut dengan pengakuanmu itu. Benarkah kamu jatuh cinta denganku? Namun, kita hanyalah teman kerja yang bisa dikatakan tidak terlalu dekat. Bagaimana bisa kamu jatuh cinta denganku?
“Kamu pasti bertanya-tanya, bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu? Bahkan kita tak saling dekat, bertegur sapa pun jarang. Maaf, selama ini aku hanya bisa mencintaimu dalam diam. Terkadang aku lelah hanya bisa memendam perasaan sendirian tanpa bisa mengungkapkannya. Untuk sekadar menyapamu saja, rasanya bibirku kelu. Namun, semakin lama aku sadar bahwa mencintai dalam diam itu penderitaan. Kini, ku beranikan diri ‘tuk mengutarakan cinta padamu. Maaf, bila aku tidak romantis. Namun, maukah kamu menerima cintaku?”
Aku bingung hendak menjawab apa. Aku memang tertarik denganmu, tapi entah itu bisa dikatakan cinta atau bukan. Pasalnya, selama ini aku selalu dibuat penasaran oleh sikapmu. Kamu yang misterius membuatku terus mencari tentang dirimu. Kamu berbeda dari lelaki lain. Namun, aku sedikit ragu untuk menerimamu.
Bukannya aku terlalu percaya diri, tetapi kulihat wajahmu sangat berharap aku mengatakan “iya”. Mungkin jika saat itu bukanlah momen yang serius, aku pasti akan menertawakanmu. Wajahmu itu terlihat lucu saat kamu menunduk sedih, gelisah, penuh harap, tapi juga tergambar keputusasaan. Ingin kuabadikan wajahmu itu di kamera ponselku. Sayangnya, aku hanya bisa mengabadikan di memoriku. Aku tidak mau merusak momen spesial yang sudah kamu buat.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menerimamu. Aku mencoba menghilangkan keraguan di hati. Aku percaya kalau kamu itu lelaki baik. Aku tidak takut patah hati karenamu. Aku tahu, kamu pasti tidak akan melakukan hal yang menyakitkan untukku.
“Aku mau.”
“Terima kasih.”
Senyum manis terukir indah di wajahmu. Sebahagia itukah kamu?
Aku awalnya hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan orang. Aku bahkan tak mengerti apa yang membuatmu pada akhirnya menjatuhkan pilihan padaku. Aku tidak mengerti apa yang kau lihat padaku. Namun, kau buat aku merasa sangat spesial. Merasa bahwa hanya ada aku satu-satunya yang kau inginkan.
Kamu memberikan daun maple yang berhasil kamu tangkap tadi. Kamu memintaku menyimpannya sebagai lambang keharmonisan dan kesetiaan.
Aku tersenyum miris saat memori itu kembali berputar dalam pikiranku. “Daun Maple melambangkan keharmonisan dan kesetiaan.” Itulah yang kamu katakan saat itu. Namun, lihat sekarang, apakah hubungan kita harmonis? Dan, apakah kesetiaan itu ada?
Aku tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, sebab aku tak ingin menjadi pengemis cintamu. Dunia ini bukan hanya ada kamu. Masih ada sejuta makhluk lainnya yang akan memberiku warna baru dan menyayangiku lebih baik darimu.
Sampai pada tahap ini, aku hanya ingin menegaskan bahwa melupakanmu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan yang harus ku lalui.
Setiap hari kita bertemu sebagai teman kerja. Hal itu membuatku membutuhkan lebih banyak waktu untuk bisa benar-benar melupakanmu. Aku dan kamu kembali menjadi seseorang yang tidak saling kenal dan tak pernah bertegur sapa. Mungkin itu memang berat, tapi itulah cara terbaik melupakanmu. Walau terkadang, rasa rindu akan kebersamaan kita singgah di hatiku.
Hingga hari itu tiba, di mana kamu akan melangsungkan pernikahan dengannya. Belum kering luka yang kamu sayat di hati, kamu goreskan kembali luka itu dengan belati. Kamu memintaku menghadiri pernikahanmu. Entah, akankah nanti aku datang ke pernikahanmu atau tidak? Aku belum siap, tapi aku tak ingin kamu mengira bahwa aku lemah.
Akhirnya, aku memilih untuk menghadirinya sebagai bentuk kepedulianku. Ku bawa luka yang telah kau gores. Bukan untuk membalaskan dendam, melainkan hanya untuk sekadar mengingatkan ada hati yang pernah kau sakiti. Bahkan, sampai kini kamu masih diam membisu, padahal aku berharap kamu menjelaskan semuanya kepadaku.
Selain membawakan kado pernikahan untukmu dan istrimu, aku membawa semua barang yang pernah kamu berikan padaku, salah satunya daun maple itu. Masih ingat, bukan? Daun yang kamu berikan kala menyatakan cintamu padaku. Bukan ku tak menghargai istrimu, tetapi aku hanya ingin menyentil perbuatan apa yang telah kamu lakukan. Aku hanya ingin kamu menyadari kesalahanmu itu.
“Terima kasih atas 2 tahunnya. Terima kasih telah mengajariku banyak hal. Terima kasih telah memperkenalkanku pada cinta dan luka. Selamat tinggal, semoga kamu bahagia dengan dia. Jangan ada Yerim yang kedua!”
Setelah aku memberikan semua itu, aku pergi meninggalkan gedung pernikahanmu. Aku berjalan menuju danau terdekat. Menenangkan diri. Itulah yang ku butuhkan saat itu. Aku menghabiskan banyak waktu hanya untuk duduk di pinggiran danau. Aku sadar apa yang ku lakukan saat itu tidak ada manfaatnya.
Lihatlah aku di sini
Melawan getirnya takdirku sendiri
Tanpamu aku lemah dan tiada berarti
Sekian lama aku mencoba
Menepikan diriku di redupnya hatiku
Letih menahan perih yang kurasakan
Walau kutahu ku masih
Mendambakanmu
Kala mentari mulai membenamkan dirinya, aku memutuskan untuk pulang. Saat aku membalikkan tubuhku, ada kamu di depanku dengan pandangan tertunduk.
“Untuk apa lagi kamu menemuiku? Belum puas dengan luka yang sudah kamu beri? Belum puas?” tanyaku dengan penuh emosi.
“Maaf,” ucapmu penuh penyesalan.
Aku hanya diam, menunggumu melanjutkan ucapanmu dan berharap kamu memberikan penjelasan kepadaku.
“Maaf, bukannya aku tidak setia, tapi ini pilihan orang tua,Yerim.”
“Apakah tidak ada keinginan untuk memperjuangkanku?”
Kamu hanya diam. Aku berjalan mendekatimu, berhenti tepat di sampingmu. Air mataku tumpah seketika.
“Mungkin sudah takdir kita berpisah, tak usah lagi merasa bersalah. Memang cerita kita harus berujung. Terima kasih telah hadir dalam hidupku.”
Aku pergi meninggalkanmu sendiri. Sulit untuk bersikap seakan semua baik-baik saja, sebab memang hatiku sedang tidak baik.
Satu hal yang kini aku mengerti
Meski berat bibir ini mengucap
Akan selalu ada kata selamat
Dalam setiap kata selamat tinggal
Kisah kita benar-benar sudah berakhir. Tak ada lagi kisah kita, yang ada hanya aku dan kamu yang sudah tak bisa bersama. Ku harap kamu bahagia bersama dia, pilihan orang tuamu. Begitupun aku. Semoga diri ini mampu sepenuhnya sembuh dari luka yang telah kamu gores. Entah berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk benar-benar bisa sembuh dari luka itu.
Penulis: Nuzulul Magfiroh
Editor: Ayu Nisa’Usholihah