Sebuah Kajian: Menilik Kapitalisme Kampus dan Tindak Represif Akademik

Tia Pamungkas saat memaparkan “Tindak Represif Akademik”, Selasa (9/03) via Zoom. (Sumber: Manunggal)

Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) melaksanakan pertemuan ketiga dari seri diskusi Coreng Hitam Pendidikan Tinggi Indonesia bertajuk Kebisuan Kampus dan Represi Akademik, Selasa (09/03). Diskusi ini dihadiri oleh Puguh Windrawan selaku Dosen Hukum di Universitas Proklamasi 45 dan Tia Pamungkas selaku Dosen Fisipol UGM sebagai pemateri. Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta melalui aplikasi Zoom Virtual Meeting.

Kapitalisme Perguruan  Tinggi Swasta

Bagai angin lalu, suara-suara mahasiswa tak kunjung digubris dan kultur tutup mata-telinga-mulut para petinggi kampus kini semakin meregenerasi, baik di universitas negeri maupun universitas swasta.

Puguh Windrawan, menyatakan bahwa semenjak era reformasi, pemerintah mengalokasikan pendidikan tinggi menjadi dua ranah yang berbeda, yaitu pendidikan tinggi dalam tanggung jawab negara dan pendidikan di luar tanggung jawab negara (diserahkan seluruhnya kepada masyarakat, yakni perguruan tinggi swasta). Oleh karena itu, antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta mengalami perbedaan struktural.

Mayoritas perguruan tinggi swasta itu berbentuk yayasan dan kontruksi yayasan pada dasarnya merupakan organisasi nonprofit. Maka, seharusnya yang mengelola peguruan tinggi swasta ini adalah pihak yang benar-benar peduli dengan pendidikan. Namun, realitanya masih banyak petinggi di pendidikan swasta yang berorientasi pada materi.

“Di ranah yang minim pengawasan dan minim pemberitaan, segalanya bisa terjadi” ujar Puguh.

Ia juga menambahkan bahwa kapitalisme pendidikan tinggi swasta berjalan tanpa oposisi. Padahal, nyaris seluruh pembiayaan infrastruktur dikelola dari uang mahasiswa. Kehadiran Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) tidak banyak membantu karena perguruan tinggi swasta sifatnya otonom. Sehingga, sampai sekarang masih banyak terjadi praktik kapitalisme oleh para petinggi kampus.

Menurut Pungguh, yang perlu dilakukan adalah konsolidasi internal karena selama ini masyarakat kampus terlalu tereduksi dengan kegiatan masing-masing.

“Kita harus melakukan pengawasan terhadap institusi kita sendiri, kalau kita tidak bisa mengandalkan pemerintah dan institusi,” tandasnya.

Represif Akademik

Tia Pamungkas menyatakan bahwa para akademisi di era sekarang merupakan korban dari disrupsi yang tidak dikelola dengan baik karena pendidikan ada di bawah kerangka mesin globalisasi pendidikan. Hal tersebut memaksa para akademisi di Indonesia bekerja dalam lingkar reward and punishment dalam menghadapi disrupsi ini.

Salah satu frasa dari keseluruhan poin reward yang dimaksud Tia ialah Glittering generality. Gittering generality merupakan salah satu teknik propaganda yang dapat dimaknai sebagai penyampaian pesan yang diasosiasikan dengan hal-hal baik tanpa informasi yang lengkap.

“Dalam ilmu sosial, cara mendapatkan positif impact yakni dengan diberi glittering, facely attractive. Yang kelihatan bagus tapi sebenarnya di dalamnya buruk,” ungkap Tia.

Bukti cacatnya pendidikan negara ini terlihat dalam tindak represif aparat pada akademik. Tindakan penekanan atau pengekangan ini bisa berupa ancaman virtual, ancaman fisik, dan ancaman pidana. Bahkan, tidak jarang ditemukan pelanggaran HAM.

Penahanan aktivis mahasiswa di Surakarta pada Maret 2020, vonis tiga bulan penjara dosen di Banda Aceh pada Agustus 2020, ancaman pidana empat mahasiswa Semarang, dan kasus-kasus lain menjadi bukti bahwa hak kebebasan akademisi telah direnggut.

Tia menyatakan bahwa ia sendiri pernah menerima ancaman, mulai dari ancaman berupa pesan-pesan provokatif hingga ancaman pembunuhan di tempat umum. Semua itu semata-mata karena fitnah dan labelling yang ditujukan padanya. Nyatanya, secara realita ia hanya memberi pendidikan politik pada para mahasiswa.

Tindakan represif ini dianggap dapat berimbas pada masyarakat luas karena seharusnya kampus bisa menjadi ladang kelahiran generasi kritis, tetapi ruang dialektika dan intelektual justru semakin dipersempit. Terutama di tengah pandemi Covid-19 ini, segala kegiatan mahasiswa dibatasi dengan sangat ketat hingga tak jarang mematikan jiwa demokrasi para mahasiswa.

Teror tidak mengenal status. Seluruh pihak akademisi, baik dosen maupun mahasiswa dapat mendapat ancaman. Menurut Tia, perlu adanya media untuk mengafiliasikan dan mengekspresikan kegelisahan tersebut.

Sudah sepantasnya kita mendapat hak kebebasan akademik, yakni kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi tanpa harus dibayang-bayangi ketakutan akan terror dari aparat.

 

Reporter : Siti Latifatu S

Penulis : Siti Latifatu S

Editor : Aslamatur Rizqiyah, Dyah Satiti

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top