Ilustrasi Penjegalan Kebebasan Berpendapatan (Sumber: Institut Teknologi Sepuluh November)
Opini – Maraknya polemik jurnalisme investigasi yang pilihan penayangannya berusaha dititipkan kepada pihak yang sebetulnya tidak memiliki mandat, maka harus diakui bahwa pers kita semakin berani. Kelincahan serta pena yang liar barangkali mengganggu ekosistem kehidupan beberapa pihak yang merasa dirugikan. Padahal, ketajaman pena seorang jurnalis diperlukan untuk sebuah negara berdemokrasi.
Pers adalah pilar keempat demokrasi yang menjadi penjaga keluar-masuknya perkara kehidupan berbangsa, pengkritik penguasa, dan pengendali hidup agar sarat makna. Sebagai bangsa yang pernah dikungkung kekuasaan diktator serta terjadi pembredelan media, maka menjadi hal yang lumrah bila semangat kemerdekaan pers menjadi modal untuk terus merawat negeri ini melalui kacamata mereka yang darahnya adalah jurnalistik.
Semangat kemerdekaan pers tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam dunia jurnalistik, hasil dari setiap penghimpunan dan penggabungan data untuk menjadi sebuah berita telah dijamin kebebasannya dan ada news value yang mengikat, sebelum sebuah berita laik digarap oleh masyarakat.
Pada pertengahan tahun 2024, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Perubahan zaman yang menuntut kebaruan memang harus beriringan dengan regulasi yang menjadi pedoman. Seluruh masyarakat paham bahwa peninjauan kembali sangat penting agar peraturan terus dibaharui dan mengikuti standar zaman yang dihidupi.
Tempo hari, draf terkait revisi UU Penyiaran tersebar di masyarakat. Beberapa substansi di dalamnya menimbulkan kesan problematik dan dianggap sebagai pintu pembungkaman. Salah satu poin perubahan yang membuat beringas para pegiat dan pelakon dunia pers adalah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Tinjauan yang dianggap mendepak pers tersebut tertuang jelas dalam Pasal 50B Ayat (2) yang memuat larangan-larangan standar isi siaran, terutama pada poin c yang mencakup pelarangan tayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Dalam semesta jurnalistik, investigasi adalah napas. Kedalaman pemberitaan dengan mereguk semua resiko agar kebenaran diungkap seharusnya bukan sebuah hal yang sesuka hati diperkarakan. Investigasi memerlukan keberanian dan pikiran liar seorang jurnalis. Tidak sembarang orang bisa melibatkan dirinya dalam sebuah investigasi karena hal ini menuntut profesionalitas untuk melahirkan berita yang mendalam dan bernas fakta. Oleh sebab itu, dikatakan eksklusif karena ada peliputan yang sedikit berbeda dari penghimpunan berita biasanya.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi pihak yang dilimpahi kekuasaan terkait layak atau tidaknya tayangan jurnalisme investigasi. Hal ini membuat Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat larangan, batasan, dan kewajiban bagi lembaga penyiaran menjadi tumpang tindih terkait kewenangan atas penayangan. Sejalan dengan itu, Dewan Pers yang menjadi ibu dari segala yang beraroma jurnalistik menentang hal tersebut. Sebab, suatu hal mustahil untuk memadukan dua pihak yang amat kontras, yaitu KPI yang bernaung langsung di bawah pemerintah dan Dewan Pers yang independen.
Apabila menyoal tentang etik, seharusnya KPI tidak perlu mengambil andil dalam penayangan jurnalisme investigasi, karena faktanya ada Dewan Pers yang menjadi ibu sekaligus hakim bagi setiap hasil dari sebuah pergulatan jurnalistik. Ketika didapati ada pelanggaran etik dalam penayangan jurnalisme investigasi, yang berhak menyatakan letak kesalahan dari tayangan tersebut adalah Dewan Pers. Pihak yang berhak mengulik lebih jauh tentang pelanggaran terkait sebuah peliputan pun adalah Dewan Pers yang menjadi pagar bagi jurnalisme.
Pemerintah juga membuat kegemaran baru yakni melanggengkan penjegalan kebebasan berpendapat yang mengancam ruang publik. Sejatinya, setiap kita tahu bahwa ruang publik amatlah penting untuk sebuah kehidupan sosial karena di sanalah pemikiran kritis dan suara-suara lain bisa terdengar dengan jelas. Pengungkungan kebebasan berpendapat atas dalih revisi ini dapat mengancam eksistensi kebebasan di ruang publik. Seturut hal tersebut, maka nantinya interpretasi kebebasan pers hanyalah sebuah angan atau bahkan terdapat pengkhianatan atas gagasan yang tertuang dalam UU Pers.
Keterancaman hak publik atas akses informasi mengindikasikan getolnya pemerintah untuk menjelaskan keengganan dalam melakukan pembenahan. Sebab, substansi jurnalisme investigasi melewati tahap yang tidak sederhana, ada riset mendalam dan eksklusivitas perkara sehingga publik layak tahu hingga mendalam sebuah kejadian yang dekat dan melekat dengan kehidupan mereka.
Draf RUU Penyiaran dicap sebagai pereduksian kebebasan pers dan hak publik untuk mengetahui informasi. Seolah pemerintah ingin melakukan sesuatu yang titik tolaknya adalah perkara sederhana, yakni pelimpahan wewenang kepada yang bukan pelakon pers untuk mengetahui layak atau tidaknya sebuah berita.
Sejatinya, perbaikan harus dipikirkan dengan matang untuk mempertimbangkan bagian mana yang hendak diperbaiki dan alasan kuat apa yang mendasari perbaikan tersebut. Revisi UU yang tidak melibatkan pihak pers dan publik merupakan sebuah cara sopan yang berusaha menjeruji kebebasan pers. Tanpa jurnalisme investigasi, ruang informasi publik hanya dibanjiri oleh fakta sekilas yang tidak mengupas dengan tuntas.
Jangan sampai pers harus melewati lorong gelap lagi apabila timbul ketidakpastian mekanisme penyelesaian tentang pers itu sendiri. Dan jangan pula dengan pengkajian kembali regulasi seolah menerjang pers sehebat mungkin dari sebuah tatanan kehidupan. Baiknya, setiap pihak yang terlibat dalam pengkajian UU Penyiaran ini melihat kembali urgensi apa yang diperlukan, memperjelas pasal-pasal yang menjadi problematik di tengah-tengah masyarakat, serta mengembalikan kebebasan interpretasi atas sebuah isu dan keleluasaan memperoleh informasi kepada publik.
Kebebasan pers tidak dapat diganyang atas dalih apa pun. Menjadi pilar keempat bagi sebuah negara yang memeluk demokrasi, pers menjadi perongrong yang akan terus mengawasi dan mengontrol. Ketergesaan sering kali tidak memberikan kejernihan berpikir dalam mengambil keputusan. Oleh sebab itu, “buru-buru” dalam merevisi UU Penyiaran ini memungkinkan kerugian yang dialami oleh banyak pihak, tidak hanya pers tetapi juga publik.
Penulis: Naftaly Mitchell
Editor: Ayu Nisa’Usholihah