Mahasiswa atau Mahasewa? Stigma yang Mendelegitimasi Gerakan Mahasiswa

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa Semarang di depan Gedung Gubernur Provinsi Jawa Tengah pada Selasa, (18/2) (Sumber: Manunggal)

 

Opini – Baru-baru ini, aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang digelar oleh mahasiswa di berbagai daerah menuai sorotan publik. Mahasiswa turun ke jalan sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang mereka anggap tidak berpihak pada rakyat. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan luas, banyak dari mereka justru dicap sebagai “mahasewa“, sebuah istilah sarkastik yang merendahkan gerakan mahasiswa dan meragukan ketulusan perjuangan mereka.

 

Dari Mahasiswa Kritis ke Mahasewa Konsumtif

Istilah “mahasewa” berasal dari penggabungan kata “mahasiswa” dan “sewa“, yang menggambarkan mahasiswa sebagai individu yang mudah disewa atau dimobilisasi untuk kepentingan tertentu. Cap ini kerap muncul dalam setiap gelombang demonstrasi besar, dengan tuduhan bahwa aksi mereka didanai oleh pihak tertentu, baik oposisi maupun kelompok berkepentingan lainnya. Ironisnya, tuduhan ini sering kali tidak disertai bukti konkret, tetapi cukup untuk mendelegitimasi perjuangan mereka di mata masyarakat.

Penyematan label “mahasewa” juga mengarah pada stereotip bahwa mahasiswa yang turun ke jalan hanyalah kaum rebahan yang sekadar ingin mencari perhatian atau bahkan sekadar ingin viral di media sosial. Pandangan ini sangat berbahaya karena mengabaikan substansi gerakan mahasiswa itu sendiri.

Cuitan salah satu akun dalam postingan komunitas marah-marah di X pada Selasa, (18/2) (Sumber: Unggahan Akun X Komunitas Marah-Marah)

Komentar salah satu akun dalam postingan komunitas marah-marah di X pada Selasa, (18/2) (Sumber: Unggahan Akun X Komunitas Marah-Marah)

 

Bagian yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana mahasiswa merespons tuduhan tersebut di media sosial, terutama di TikTok. Alih-alih diam atau marah, mereka justru membalas dengan cara yang kreatif dan menyindir balik narasi “mahasewa“.  

Di TikTok, banyak mahasiswa yang mengunggah tangkapan layar dari tagihan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka yang mencapai jutaan hingga belasan juta rupiah. Dengan nada sarkastik, mereka mempertanyakan logika di balik tuduhan bahwa mereka “dibayar” untuk berdemo, padahal mereka sendiri harus membayar biaya pendidikan yang tidak murah.  

Fenomena ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak tinggal diam ketika hak mereka untuk bersuara dicemooh. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka tidak hanya membela diri, tetapi juga membalikkan narasi, membuktikan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar cari sensasi atau ingin viral, melainkan suara dari realitas yang mereka alami sendiri.  

 

Demonisasi Gerakan Mahasiswa

Sejarah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan sosial dan politik di Indonesia. Dari gerakan 1966 yang menumbangkan Orde Lama, reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru, hingga berbagai aksi menentang kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi publik.  

Namun, seiring berjalannya waktu, pola delegitimasi gerakan mahasiswa semakin terlihat jelas. Ketika mahasiswa berdemo, muncul narasi bahwa mereka hanyalah alat politik, anak-anak kurang kerjaan, atau bahkan tidak memahami isu yang mereka perjuangkan. Media sosial semakin memperkeruh keadaan dengan beragam komentar yang meremehkan aksi mereka, sering kali datang dari akun-akun anonim yang hanya ingin menggiring opini publik ke arah negatif.  

Ironisnya, narasi ini terus direproduksi meskipun demonstrasi mahasiswa terbukti telah membawa perubahan signifikan dalam kebijakan negara. Beberapa kebijakan yang berhasil digugat oleh mahasiswa antara lain:  

  1. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun 2022

Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada 2022, mahasiswa turun ke jalan di berbagai daerah. Gelombang protes yang terjadi akhirnya mendorong pemerintah untuk memperluas subsidi langsung kepada masyarakat miskin serta menambah anggaran bantuan sosial untuk meredam dampak kenaikan harga.  

  1. Polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun 2024

Protes mahasiswa mengenai kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap tidak masuk akal berhasil menekan kebijakan pemerintah. Setelah berbagai aksi unjuk rasa di berbagai kampus dan desakan mahasiswa kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan pembatalan kenaikan UKT bagi mahasiswa terdampak serta memberikan opsi keringanan pembayaran. 

  1. Penolakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tahun 2019

Pada 2019, mahasiswa di berbagai kota turun ke jalan menolak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Demonstrasi besar-besaran ini memaksa pemerintah untuk menunda pengesahan RKUHP dan meninjau ulang beberapa pasal yang dianggap berpotensi membatasi kebebasan sipil.  

  1. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 

Meskipun akhirnya tetap disahkan, gelombang protes mahasiswa terhadap revisi UU KPK pada 2019 berhasil membuka mata masyarakat akan pelemahan lembaga antirasuah tersebut. Demonstrasi ini juga menjadi simbol bahwa mahasiswa tetap menjadi pengawas kebijakan negara dan siap melawan korupsi dalam bentuk apa pun.  

  1. Omnibus Law tahun 2020-2022 

Aksi mahasiswa yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) berhasil menekan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan bahwa undang-undang tersebut “inkonstitusional bersyarat”, yang berarti pemerintah harus melakukan revisi dalam jangka waktu tertentu.  

 

Sayangnya, meskipun berbagai aksi mahasiswa ini membawa perubahan nyata, narasi negatif tentang “mahasewa” terus beredar. Mahasiswa yang berjuang untuk hak rakyat justru dituding sebagai alat politik atau hanya mencari popularitas. 

Mahasiswa boleh dibilang “mahasewa“, tapi siapa yang selama ini turun ke jalan memperjuangkan hak rakyat? Siapa yang berteriak menolak kebijakan yang merugikan masyarakat, ketika banyak orang memilih diam atau sibuk menjadi buzzer berbayar? Jika mempertanyakan kenaikan UKT, menolak UU bermasalah, dan melawan ketidakadilan dianggap sebagai “sewaan“, maka biarlah sejarah mencatat bahwa mereka adalah “mahasewa” yang disewa oleh nurani dan akal sehat.

Toh, dalam setiap perubahan besar, selalu ada yang berdiri di sisi perlawanan, dan ada pula yang sibuk mencemooh dari balik layar gadgetnya. 

Gerakan mahasiswa bukan sekadar aksi turun ke jalan, melainkan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Mereka adalah bagian dari suara rakyat yang menolak diam saat ketidakadilan terjadi. Jika mahasiswa terus dibungkam dengan stigma “mahasewa“, maka yang paling diuntungkan adalah mereka yang tidak ingin rakyat bersuara.

Mahasiswa dan Tantangan Zaman

Di era digital, mahasiswa tidak hanya berhadapan dengan aparat atau kebijakan yang mereka kritisi, tetapi juga dengan pertempuran narasi di dunia maya. Kampanye negatif terhadap gerakan mahasiswa semakin masif, dengan berbagai upaya untuk membuat mereka terlihat tidak relevan.

Namun, mahasiswa harus tetap konsisten dengan perjuangan mereka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa perubahan tidak terjadi dalam semalam, dan kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Daripada sibuk membuktikan bahwa mereka bukan “mahasewa“, mahasiswa harus terus memperjuangkan kepentingan rakyat dengan cara yang lebih cerdas dan strategis.

Label “mahasewa” adalah upaya untuk melemahkan semangat kritis mahasiswa. Namun, sejarah membuktikan bahwa mereka tetap memiliki peran penting dalam mengawal kebijakan negara. Tantangan bagi mahasiswa saat ini adalah bagaimana mereka bisa tetap relevan dan mendapatkan dukungan publik, bukan hanya di jalanan, tetapi juga dalam ranah diskusi intelektual dan kebijakan yang lebih konkret. Jika mahasiswa bisa membuktikan bahwa perjuangan mereka berbasis data, argumentasi kuat, dan kepentingan masyarakat luas, maka narasi negatif itu akan runtuh dengan sendirinya.

 

Penulis: Nuzulul Magfiroh

Editor: Nurjannah

 

Referensi 

Kompas. (2022, September 6). Kenaikan harga BBM picu demonstrasi di berbagai kota. Kompas.com.https://nasional.kompas.com/read/2022/09/06/09331831/kenaikan-harga-bbm-picu-demonstrasi-di-berbagai-kota

BBC Indonesia. (2019, September 23). Demo mahasiswa tolak RKUHP, pemerintah akhirnya tunda pengesahan. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49790451

CNN Indonesia. (2024, Juni 7). Demonstrasi mahasiswa berhasil, pemerintah evaluasi kebijakan UKT. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20240607123000-569-1034521/demo-mahasiswa-berhasil-pemerintah-evaluasi-kebijakan-ukt

Tempo. (2019, September 10). Mahasiswa demo tolak revisi UU KPK, ini respons DPR dan pemerintah. Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/1247886/mahasiswa-demo-tolak-revisi-uu-kpk-ini-respons-dpr-dan-pemerintah

Kompas. (2021, November 25). Demo Omnibus Law berujung putusan MK: UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/11/25/17450091/demo-omnibus-law-berujung-putusan-mk-uu-cipta-kerja-inkonstitusional-bersyarat

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top