Diplomasi Kuliner: Ketika Cita Rasa Menjadi Bahasa Universal

Ragam kuliner Indonesia di Diplomatic Winter Bazaar (DWB) yang berlangsung di Mirza Delibasic Hall, Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, Sabtu (07/12/2024).(Sumber: Indonesia.go.id)

Feature — Siapa sangka, semangkuk soto atau sepiring rendang bisa menjadi alat diplomasi yang memperkenalkan Indonesia ke dunia? Konsep ini dikenal sebagai gastrodiplomacy atau diplomasi kuliner, yaitu strategi diplomasi budaya yang menghubungkan bangsa melalui cita rasa makanan yang khas. Dalam hal ini, makanan tidak hanya sekadar konsumsi, tetapi juga menjadi jembatan diplomasi yang mampu mencairkan hubungan antarnegara, membangun citra negara, hingga mempererat kerja sama internasional.

Di era globalisasi, diplomasi tidak lagi terbatas pada perundingan formal di meja negosiasi. Makanan menjadi cara yang lebih personal untuk membangun hubungan dengan negara lain. Melalui diplomasi kuliner, sebuah negara bisa mengenalkan sejarah, nilai, dan identitasnya ke kancah internasional.

Makanan sebagai Identitas dan Kekayaan Budaya

Ketika berbicara tentang budaya suatu bangsa, makanan menjadi elemen yang tidak dapat terpisahkan. Cita rasa yang khas, bahan yang digunakan, hingga cara penyajian dan filosofi dibaliknya mencerminkan perjalanan panjang budaya suatu bangsa.

Dilansir dari Kompasiana.com, konsep gastrodiplomacy pertama kali populer melalui kajian Paul Rockower, seorang gastronom lulusan University of Southern California. Dalam kajian tersebut, ia meneliti bagaimana Thailand menggunakan makanan sebagai alat diplomasi untuk memperkenalkan budaya dan meningkatkan pengaruh globalnya. Thailand menjadi negara pionir dalam penerapan konsep diplomasi kuliner melalui program Global Thai sejak tahun 2002. Dalam program ini, pemerintah Thailand mendorong ekspansi restoran Thai ke berbagai negara, dengan harapan meningkatkan pengetahuan masyarakat internasional tentang makanan Thailand. Kini, tom yum dan pad thai menjadi menu yang mudah ditemukan di berbagai belahan dunia, bahkan menjadi ikon global yang lekat dengan citra Thailand.

Thailand bukan satu-satunya negara yang sukses mengimplementasikan gastrodiplomacy. Jepang juga menerapkan strategi serupa dengan memperkenalkan sushi dan ramen ke panggung kuliner internasional. Melalui kampanye Cool Japan, Jepang tidak hanya menampilkan makanannya sebagai hidangan lezat, tetapi juga bagian dari gaya hidup modern yang sehat.

Sementara itu, Korea Selatan menggunakan gelombang budaya (Hallyu wave) untuk menyebarluaskan kuliner mereka, seperti kimchi, bibimbap, dan tteokbokki. Restoran Korea semakin menjamur di berbagai negara, didukung oleh popularitas drama dan musik Korean Populer (K-Pop) yang turut mempromosikan makanan khasnya.

Indonesia pun mulai mengukuhkan eksistensinya dalam diplomasi kuliner. Rendang, yang dinobatkan sebagai salah satu makanan terenak di dunia oleh CNN Travel, menjadi hidangan andalan dalam berbagai acara diplomasi. Nasi goreng, satai, dan gado-gado kerap dihidangkan dalam jamuan kenegaraan untuk memperkenalkan cita rasa Nusantara kepada para pemimpin dunia.

Diplomasi Kuliner sebagai Sarana Mempererat Hubungan Antarnegara

Diplomasi kuliner tidak hanya sekadar memperkenalkan makanan khas suatu negara, tetapi juga berperan dalam memperkuat hubungan bilateral dan kerja sama antarnegara. Banyak kesepakatan ekonomi dan budaya yang diawali dari meja makan. Sebuah perjamuan bisa menjadi awal dari diskusi bisnis, kerja sama perdagangan, hingga pertukaran budaya yang lebih luas. Makanan dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dalam membangun koneksi sosial dan emosional antara negara. Paul Rockower mengatakan bahwa “Culinary diplomacy is the best way to win hearts and mind through the stomach.” Artinya, diplomasi kuliner adalah cara terbaik untuk menenangkan hati dan pikiran melalui perut.

Indonesia telah menerapkan diplomasi kuliner dalam berbagai kesempatan. Beberapa contoh konkret dari diplomasi kuliner Indonesia adalah penyelenggaraan festival kuliner di luar negeri. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di berbagai negara sering mengadakan acara seperti Indonesian Food Festival, yang menghadirkan berbagai makanan khas Nusantara kepada masyarakat internasional.

Festival kuliner ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memperkenalkan kekayaan rempah-rempah dan teknik memasak tradisional yang menjadi ciri khas kuliner Nusantara. Makanan yang diperkenalkan pun bukan hanya yang populer seperti rendang dan satai, tetapi juga hidangan khas daerah seperti papeda dari Papua atau pempek dari Palembang.

Selain melalui festival kuliner, jamuan kenegaraan juga menjadi wadah penting dalam diplomasi kuliner Indonesia. Dalam berbagai pertemuan internasional, Indonesia selalu menyajikan makanan khas sebagai bentuk perkenalan budaya. Pemimpin dunia yang berkunjung ke Indonesia kerap disuguhi makanan tradisional yang mencerminkan kekayaan rasa Nusantara.

Menariknya, kuliner tidak hanya dipakai dalam ranah diplomasi formal, tetapi juga dalam kegiatan sehari-hari. Banyak negara yang menjadikan makanan sebagai alat diplomasi soft power, di mana interaksi budaya dapat terjadi secara alami di meja makan tanpa batasan politik atau ekonomi.

Mengapa Gastrodiplomacy Menjadi Semakin Penting?

Di era globalisasi ini, negara-negara semakin sadar bahwa budaya adalah aset berharga dalam memperkuat identitas nasional dan membangun citra yang positif di mata dunia. Dengan menghadirkan makanan khas ke kancah internasional, sebuah negara dapat menarik perhatian masyarakat global dan menciptakan daya tarik tersendiri.

Thailand telah membuktikan bahwa diplomasi kuliner dapat meningkatkan sektor pariwisata dan perdagangan. Setelah program Global Thai diluncurkan, jumlah restoran Thailand di luar negeri meningkat pesat, yang berdampak pada peningkatan ekspor bahan makanan khas Thailand.

Indonesia juga memiliki peluang besar untuk mengikuti jejak tersebut. Dengan kekayaan rempah-rempah dan warisan kuliner yang beragam, makanan khas Indonesia memiliki potensi untuk lebih dikenal di tingkat global. Jika lebih banyak restoran Indonesia yang tersebar di berbagai negara, permintaan terhadap bahan makanan khas Indonesia juga akan meningkat.

Selain aspek ekonomi, gastrodiplomacy juga menjadi sarana untuk membangun hubungan sosial antarnegara. Makanan adalah bahasa universal yang dapat menyatukan orang dari berbagai latar belakang. Dalam pertemuan internasional, makanan sering kali menjadi medium yang menciptakan suasana lebih akrab dan santai.

Makanan sebagai Bahasa Universal

Di balik hidangan yang tersaji di meja makan, ada kisah tentang sejarah, budaya, dan nilai-nilai kehidupan suatu bangsa. Makanan bukan hanya sebatas kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai cerminan identitas, alat komunikasi, bahkan simbol kebersamaan antarbangsa. Ketika seseorang mencicipi makanan khas suatu daerah, tanpa disadari, ia sedang melakukan perjalanan rasa yang membawa pemahaman lebih dalam tentang budaya asalnya. Makanan menjadi jendela bagi dunia luar untuk mengenal lebih jauh sebuah bangsa, tanpa perlu dijelaskan melalui kata-kata panjang.

Setiap hidangan memiliki akar sejarah yang dalam. Perjalanan panjang suatu bangsa terekam dalam resep-resep tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sejarah perdagangan rempah-rempah di Indonesia, misalnya, tidak hanya mengubah pola ekonomi dunia tetapi juga meninggalkan jejak dalam kuliner Nusantara. Pengaruh dari bangsa Belanda, Arab, India, hingga Tiongkok melahirkan hidangan-hidangan unik yang kini menjadi identitas kuliner Indonesia.

Tidak hanya sejarah, filosofi hidup masyarakat pun sering kali tergambar dalam kuliner. Diplomasi kebudayaan dilakukan dalam narasi baru, yaitu dengan mencitrakan Indonesia yang multikultural, demokratis, moderat, toleran, dan menghargai keberagaman. Hal itu bisa dijelaskan melalui makna dari keberadaan nasi tumpeng atau makanan gado-gado. Di balik bentuk, rasa, dan asal-usul bahan makanan tersebut bisa membentuk persepsi Indonesia yang multikultural, demokratis, moderat, toleran, dan menghargai keberagaman.

Di Jepang, prinsip kesederhanaan dan keseimbangan dalam budaya mereka juga tercermin dalam makanan. Sushi, misalnya, mengedepankan kesederhanaan bahan dan teknik yang teliti, sesuai dengan prinsip Jepang yang disebut wabi-sabi, yang artinya keindahan dalam kesederhanaan. Sementara itu, di Italia, makanan seperti pasta dan piza bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang tradisi berkumpul bersama keluarga.

Hal-hal tersebut menandakan bahwa makanan lebih dari sekadar apa yang ada di piring, tetapi warisan budaya yang menyimpan cerita panjang tentang bagaimana sebuah masyarakat berkembang, beradaptasi, dan berinovasi dalam mempertahankan tradisi mereka.

Dalam komunikasi antarbudaya, ada banyak kendala seperti perbedaan bahasa, nilai, hingga tradisi. Namun, makanan mampu menembus batas-batas itu. Ketika seseorang mencicipi hidangan khas dari negara lain, mereka bisa langsung memahami rasa dan sensasi yang ditawarkan tanpa perlu menerjemahkan kata-kata.

Inilah yang membuat makanan menjadi bahasa universal. Tidak ada batasan linguistik dalam merasakan sebuah hidangan. Seseorang mungkin tidak bisa berbicara bahasa Thailand, tetapi saat mereka mencicipi tom yum, mereka bisa langsung merasakan kehangatan, kesegaran, dan keseimbangan rasa yang menjadi ciri khas masakan Thailand.

Dalam banyak peristiwa diplomasi, makanan juga menjadi sarana untuk menciptakan keakraban antara pemimpin negara. Para pemimpin dari berbagai negara sering kali disuguhkan kuliner Indonesia. Tidak sedikit yang menyukainya, bahkan mengungkapkan ketertarikan pada makanan khas Indonesia. Tanpa perlu pernyataan politik yang panjang, makanan telah membangun hubungan emosional yang lebih dekat antarbangsa. Maka tidak heran jika banyak negara menggunakan makanan sebagai alat diplomasi budaya mereka.

Cita rasa adalah bahasa yang bisa dipahami semua orang, terlepas dari asal negaranya. Sepiring makanan bisa menyampaikan kehangatan, keramahan, dan nilai-nilai budaya lebih baik daripada kata-kata. Diplomasi kuliner membuka ruang bagi interaksi yang lebih cair, membangun pemahaman antarbangsa tanpa perlu banyak bicara.

Pada akhirnya, makanan adalah bahasa universal yang menyatukan manusia di seluruh dunia. Lewat satu hidangan, kita bisa merasakan kebersamaan, memahami budaya lain, dan mempererat hubungan antarbangsa. Diplomasi kuliner membuktikan bahwa dalam dunia yang penuh perbedaan, cita rasa mampu menjadi jembatan yang menghubungkan kita semua.

 

Penulis: Fakhira Nur Afifa

Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah

Referensi:

Indonesia.go.id. (2025, 10 Januari). Diplomasi Kebudayaan Melalui Cita Rasa Kuliner. Diakses pada 26 Maret 2025 dari 

https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8891/diplomasi-kebudayaan-melalui-cita-rasa-kuliner?lang=1.

Kompasiana.com. (2024, Mei 22). Peran Diplomasi Kuliner dalam Kerjasama Internasional. Diakses pada 26 Maret 2025 dari

https://www.kompasiana.com/muhammadrizkyakbarbudiman2965/664dcbd1c925c46d514249d2/peran-diplomasi-kuliner-dalam-kerjasama-internasional#:~:text=Gastrodiplomasi%20atau%20yang%20bisa%20disebut,penting%20dalam%20berkomunikasi%20antar%20negara

Tempo.co. (2024, 30 Januari). Mengulik Politik Meja Makan ala Jokowi, Diplomasi Kuliner Tak Sekadar Mengisi Perut. Diakses pada 26 Maret 2025 dari

https://www.tempo.co/politik/mengulik-politik-meja-makan-ala-jokowi-diplomasi-kuliner-tak-sekadar-mengisi-perut-92162.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top