Indikari dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan dan Julius Ibrani Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI dalam Konferensi Pers #UsutTuntas Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan, Rabu (5/10). (Sumber: Youtube Yayasan LBH Indonesia)
Warta Utama – Tragedi kemanusian yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur menjadi peristiwa yang memilukan seluruh masyarakat Indonesia. Tragedi yang menyebabkan ratusan suporter Arema atau disebut Aremania luka-luka hingga meninggal dunia, hingga kini masih belum menemui titik terang. Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menggelar Konferensi Pers dengan topik “#UsutTuntas Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan” pada Rabu (5/10).
Konferensi ini digelar melalui platform Zoom Meeting dan akun Youtube Yayasan LBH Indonesia dan Public Virtue Research Institute dengan dihadiri oleh Daniel Siagian sebagai perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Pos Malang, Julius Ibrani sebagai Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Hussein Ahmad dari Imparsial, Nurina Safitri dari Amnesty Internasional Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Hudin sebagai perwakilan Korban Tragedi Kanjuruhan. Adapun poin yang dibahas antara lain hasil temuan sementara, penyampaian kronologi oleh Aremania, dan usut tuntas tragedi kemanusian Kanjuruhan.
Kronologi tragedi kemanusiaan ini, dijelaskan langsung oleh Hudin selaku perwakilan pihak Aremania yang saat kejadian berada di bangku VIP stadion Kanjuruhan, Jawa Timur. Ia menuturkan bahwa tragedi kemanusian ini bukanlah kericuhan seperti yang beredar saat ini, namun sebagai kelalaian kita semua khususnya pihak keamanan saat itu yaitu Brimob.
“Saya saksikan waktu itu karena saya di VIP, saya ikut bantu pihak penyelenggara untuk pengamanan. Berita yang beredar masalah kericuhan, itu sebenarnya bahasa yang salah. Yang namanya kericuhan suporter itu biasanya suporter tamu dan suporter tuan rumah. Pertandingan tanggal 1 kemarin, antar Arema dan Persebaya sudah sepakat bahwa tidak mendatangkan suporter dari pihak tamu yaitu Persebaya, ini sebenarnya bukan kerusuhan tapi adalah insiden akibat kelalaian kita semua terutama pihak Brimob. Yang saya tau pihak Brimob yang tidak bisa menahan diri,” tuturnya.
Dia menjelaskan bahwa pihak keamanan membawa dan menembakan gas air mata pertama kali ke arah lapangan bola sebelah utara namun tidak mencapai tribun tempat duduk suporter. Baru pada tembakan berikutnya, gas air mata ditembakan ke arah selatan gawang dan melewati pagar pembatas tribun suporter.
“Awal kronologi yang saya tau adalah penembakan itu kearah lapangan bola utara, penembakan pertama itu tidak masuk ke tribun penonton. Setelah itu tembakan kedua saya lihat dari tengah mengarah ke selatan karena ada beberapa suporter dari selatan gawang itu turun, akhirnya tembakan diarahkan ke arah selatan. Tembakan yang ke selatan ini berbeda, begitu ditembakan langsung diarahkan ke tribun penonton. Yang saya herankan adalah gas air mata ditembakan kearah tribun bukan kearah suporter yang sudah turun melewati pagar pembatas. Mereka menembak kearah tribun duduk penonton sebelah selatan dua sampai tiga kali,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa adanya penolakan untuk memberikan bantuan kepada korban oleh pihak aparat.
“Saya tegaskan iya, pertama saya lihat 1 orang wanita pingsan digotong oleh 3 orang pria suporter Aremania menuju mobil yang dikira ambulan tapi ditolak oleh pihak Brimob malah didorong-dorong pakai tameng. Terus datang lagi dari tribun selatan wanita yang digotong untuk dapat penanganan namun perlakuan aparat Brimob dengan orang yang sama juga sama yaitu menolak dan melarang suporter mendekati mobil yang dikira suporter adalah mobil ambulan. Yang ketiga kali ada lagi suporter yang menghampiri dan kembali ditolak tapi yang ketiga ini melawan. Suporter itu menendang tameng. Juga terjadi percekcokan mulut, ‘kamu kok ga punya hati, kamu lihat ini yang saya bawa ini suporter wanita yang sedang sekarat’ itu saya saja bisa tau kalau suporter itu bilang seperti itu,” ungkapnya.
Daniel Siagian Perwakilan YLBHI-LBH Pos Malang menuturkan bahwa adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam tragedi kemanusiaan ini dengan tindakan atau penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh pihak aparat dan melanggar Prosedur Tetap (Protap).
“Ada juga dugaan pelanggaran hukum dan HAM juga yang mana adanya tindakan berlebihan yang melanggar protap. Pelanggaran hukumnya yaitu adanya penganiayaan, adanya tindak kekerasan terhadap suporter, ada juga kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam pasal 170 KUHP dan juga adanya dugaan tindakan kealpaan yang menyebabkan kematian sebagimana diatur dalam pasal 359 KUHP,” tuturnya.
Serupa dengan Daniel, Julius Ibrani Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengungkapkan bahwa adanya indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis oleh pihak aparat dan meminta negara ikut turun tangan.
“Bukan hanya pelanggaran pidana tapi sudah ada indikasi pelanggaran HAM karena adanya upaya sistematis dimulai dari insiden, diserangnya suporter, setelah itu adanya upaya membersihkan bukti-bukti yang bisa dipakai oleh publik. Negara harus turun karena ada konteks pelanggaran HAM, tinggal diidentifikasi apakah ada komando atau tidak. Jadi tidak hanya berhenti pada konteks pidana saja apalagi etik belaka tapi konteks pelanggaran HAM juga perlu diusut,” ungkapnya.
Melalui Konferensi Pers yang dilakukan Rabu kemarin, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan bahwa pihak aparat khususnya pihak kepolisian untuk segera melakukan reformasi dan tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik keterlibatan pihak aparat.
“Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong reformasi kepolisian mesti disegerakan, setidaknya ada 2 alasan kepolisian perlu segera melakukan reformasi dan mengedepankan proses yang humanis. Pertama proses reformasi akan mengubah wajah institusi yang sedang dianda krisis keadilan dan yang kedua menebarnya isu ancaman dan kekuatan saksi dalam mengungkap kejadian semakin mempersempit ruang kebebasan berpendapat publik. Kami juga menekankan reformasi terhadap institusi militer harus terus dilanjutkan karena tragedi Kanjuruhan harus menjadi titik balik agar militer tidak terlibat dalam aktivitas di ruang sipil.” Tutup Indikari, Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Reporter : Zahra Putri Rachmania
Penulis : Zahra Putri Rachmania
Editor : Rafika Immanuela, Malahayati Damayanti F