The Zone of Interest: Zona Kontradiksi di Sisi Kamp Konsentrasi Auschwitz

Poster Film The Zone of Interest (Sumber: mubi.com)

Film The Zone of Interest (2023) merupakan sebuah film hasil adaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Martin Amis. Film yang disutradarai oleh Jonathan Glazer ini berhasil menembus lima nominasi Academy Award ke-96 dalam kategori Directing, International Feature Film, Best Picture, Sound, dan Writing (Adapted Screenplay). Film ini juga sukses membawa pulang Piala Oscar 2024 untuk kategori Sound dan International Feature Film sebagai film yang mewakili Inggris Raya.

Berlatar di sebuah rumah yang berada tepat di sebelah Kamp Konsentrasi Auschwitz, kamp pembantaian terbesar dan menjadi pusat tindakan genosida Kaum Yahudi oleh Rezim Nazi Jerman di wilayah Polandia, film ini menampilkan kehidupan kontras yang hanya dibatasi oleh sebuah tembok tinggi yang dihiasi kawat berduri. 

Rumah tersebut dihuni oleh keluarga seorang komandan yang bertanggung jawab atas Kamp Auschwitz bernama Rudolf Hoss (Christian Friedel) dan istrinya yang bernama Hedwig Hoss (Sandra Huller). Di sana, mereka tinggal satu atap bersama kelima anaknya, Claus Hoss, Hans-Jurgen Hoss, Inge-Brigitte Hoss, Heidetraut Hoss, Annegret Hoss, serta beberapa Asisten Rumah Tangga (ART) yang selalu siap sedia melayani mereka.

Rumah mewah bergaya eropa klasik tersebut memiliki dua lantai dengan banyak ruang, terdapat halaman luas yang ditanami berbagai bunga hingga tanaman buah dan sayur, kolam renang dan perosotan, serta rumah kaca yang cukup luas yang digunakan Hedwig untuk merawat tanamannya. Segala fasilitas yang dimiliki oleh keluarga tersebut juga tidak main-main, selain beberapa ART yang mengurus bagian dalam rumah beserta anak-anaknya, fasilitas lain seperti tukang kebun, kuda dan mobil sebagai kendaraan, serta berbagai hal lainnya menjadi pertanda bahwa keluarga ini benar-benar sejahtera. 

Tidak heran, Rudolf Hoss merupakan seorang Perwira Schutzstaffel (SS/militer Nazi) yang saat itu menjadi komandan dari kamp konsentrasi, sehingga apa yang dimiliki keluarganya sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan.

Kehidupan keluarga Hoss tidak terlihat berbeda dengan keluarga pada umumnya. Mereka melakukan makan malam bersama, berenang di kolam renang pribadi saat musim panas, melakukan piknik di tepi sungai, dan Rudolf yang selalu bersedia untuk membacakan cerita pengantar tidur kepada anak-anaknya. Hedwig juga seringkali terlihat mengundang para “nyonya” lain untuk sekadar berbincang di rumahnya. Hal tersebut membuat suasana dalam rumah keluarga Hoss tampak sangat harmonis, damai, dan tenang.

Namun, realitas yang terjadi tak seindah kedengarannya. Lokasi rumah yang menempel dengan kamp membuat mereka setiap saat mendengar dan melihat apa yang terjadi di dalam sana. Asap-asap hitam yang keluar dari cerobong kamp tampak terlihat jelas setiap harinya, diiringi oleh bau khas dan abu sisa pembakaran para tahanan. 

Bisingnya kereta uap yang lewat menandakan adanya tahanan yang baru sampai ke lokasi tersebut. Namun, suara-suara tembakan, teriakan, dan suasana perang yang setiap saat terdengar tidak membuat keluarga tersebut merasa tidak nyaman. Justru, Hedwig merasa rumah tersebut sebagai impian mereka yang telah tercapai sehingga ia menolak untuk ikut bersama suaminya yang dipindahtugaskan ke wilayah lain.

The Zone of Interest pada dasarnya menampilkan sebuah kontradiksi yang digambarkan sebagai suatu ironi tersendiri mengenai kehidupan. Penganiayaan, pembantaian, dan pembunuhan yang dialami Kaum Yahudi di dalam kamp sangat berbanding terbalik dengan kondisi kehidupan di luar kamp. Pagar tembok yang membatasi kedua lokasi tersebut menjadi layaknya saksi bisu yang mampu merasakan perbedaannya. 

Berbeda dengan anggota keluarga Hoss lainnya, Linna Hensel, ibunda dari Hedwig, justru merasa tidak kerasan untuk tinggal di sana. Linna pergi meninggalkan anak dan cucunya setelah melihat nyala api yang membubung tinggi dan asap yang mengepul dari dalam cerobong kamp, menandakan sedang ada ‘sesuatu’ dalam jumlah yang besar sedang dibakar di sana.

Film ini mengemas hal yang horor dan mencekam menjadi menarik. Berdurasi 105 menit, tidak ada adegan eksplisit yang ditampilkan. Tidak ada darah, tembakan, kekerasan, dan penyiksaan yang disorot kamera, meskipun semua hal tersebut dapat dirasakan melalui rentetan suara-suara yang menghiasi setiap adegannya. Wajar saja bila film ini memenangkan kategori Best Sound dalam Academy Award ke-96, karena penataan suara dan musiknya sukses memberikan kesan menegangkan.

Selayaknya film keluaran A24 lainnya, seperti The Killing of a Sacred Deer, Hereditary, Midsommar, dan Everything Everywhere All at Once, The Zone of Interest menampilkan sinematografi yang unik dan artistik. Tidak ada dramatisasi yang berlebihan untuk menggambarkan suasana kelam dalam setiap adegannya, tetapi efek senyap, minimnya dialog, serta visual yang pucat dapat menggambarkan bahwa ada sesuatu yang salah di sana.

Fakta bahwa film ini terinspirasi dari kisah nyata keluarga Rudolf Hoss, semakin menambah kesan miris dan ironis melihat kehidupan keluarga tersebut yang memiliki segalanya di rumah, sedangkan para tahanan hidup dalam buaian kematian.

Tanpa adanya banyak dialog, The Zone of Interest bermaksud untuk menjelaskan segala peristiwa yang terjadi melalui tampilan visual dan suara. Namun, hal tersebut justru membuat film ini menjadi sedikit membingungkan. Butuh beberapa menit untuk dapat memahami maksud cerita dan para tokoh yang terlibat. Film ini juga tidak memiliki konflik klimaks seperti film-film pada umumnya, hanya sekadar menampilkan kehidupan sehari-hari dari sebuah keluarga. Ketiadaan konflik klimaks tersebut membuat film ini terkesan membosankan, memiliki alur yang lambat, dan terasa hampa. 

Sebagai film yang mengangkat peristiwa Holocaust, film ini seharusnya mampu membangkitkan gelombang emosional yang kuat. Beruntungnya, efek suara yang ada mampu membantu memberikan pesan emosional yang kurang dalam alur cerita.

The Zone of Interest tidak hanya menampilkan keindahan setiap adegannya, tetapi juga mengajarkan hal penting mengenai sejarah perang dunia melalui penggambaran kondisi yang terjadi pada masa tersebut. Sang sutradara ingin merawat kembali ingatan orang-orang mengenai genosida yang menimpa Kaum Yahudi, tanpa menjual adegan-adegan mengenaskan secara “vulgar”.

Hal tersebut dapat terlihat dalam adegan terakhir yang menampilkan Kamp Konsentrasi Auschwitz yang telah menjadi sebuah museum dengan segala peninggalannya yang sedang dibersihkan. Film ini akan memunculkan suatu pertanyaan yang langsung berkecamuk dalam pikiran siapapun yang telah menontonnya: Bagaimana bisa mereka hidup dengan baik-baik saja di sana?

 

Penulis: Ridha Ayu Andini

Editor: Hesti Dwi Arini

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top