Siring

Ilustrasi Siring yang tenggelam di “lautan jahat” (Sumber: Getty Images)

 

Sastra – Aku bisa mendengar suara ibuku dari atas sana. Bibirnya tidak bicara, tapi sorot mata hatinya menembus lautan jahat yang tega menenggelamkanku. Di bawah lautan jahat ini, aku bertapa. Berkali-kali aku berdoa kepada Tuhanku. Tolong, jaga ibuku. Tolong, balas sakit hati ibuku. 

Berapa laba yang mereka peroleh? Berapa kemaslahatan yang mereka rasakan? Tidakkah mereka sadar akan hati nurani mereka? Mereka yang merasa punya adikara, sewenang-wenang tanpa cagaran. Sanggupkah mereka mengembalikan aku, Siring, anak dari ibuku yang telah menyayangi dan menjagaku sebagai daratan tempat mereka bernaung? 

Lautan jahat ini meruak, mengarungiku dan tolanku, Mindi. Lautan jahat yang berang, kian hari menenggelamkan. Aku, Siring, bak tanah yang lengang, tak berdaya melawan. Aku, Siring, rusak serusak-rusaknya berdeging, memutar kembali memori seraya mataku menyaksikan mayat-mayat yang saat kecil, dulu bermain bergembira. Mayat-mayat yang dahulu terukir senyum dan tawa di wajah mereka. Mayat-mayat yang dahulu menanam teguh harapan padaku. Kelak, suatu hari nanti, tumbuh dari harapan itu matlamat yang selama ini mereka tanam di atas Siring. Sekarang mereka menjadi mayat, harapan mereka menjadi mayat. Mayat-mayat itu dahulu,  jangankan melawan, berujar pun tak berdaya kepada para bupala.

Aku bak tanah yang diam, tapi aku tanah yang bersaksi akan kekejian bupala-bupala durjana. Aku bak tanah yang diam, tapi aku sempat melawan. Aku pernah lusuh, kakiku memar, tergopoh-gopoh melawan lautan jahat yang menggeramus makam para leluhur. Kelebu, peristirahatan pitarah itu, kini mendekam bersamaku.

Para ibu mematung, memandang, merenung. Suara-suara digaungkan—entah didengar, entah tidak. Entah kepala-kepala itu menganggapnya sekadar simbol, atau hanya omong kosong yang tak pernah terealisasi. Lihatlah! Hati mereka mati.

Lautan jahat tak kunjung surut, masih bergemuruh. Aku tenggelam. Aku hidup. Aku hidup, tapi aku tenggelam.

Di atas lautan dan samudra, langit begitu cerah. Tapi di atas lautan jahat, langit begitu gelap. Wajah-wajah meredup, cahayanya padam. Harapan-harapan tenggelam di dalamnya. Aku, Siring, tenggelam bersama harapan para ibu. Aku, Siring, hanyalah tanah yang tak bergerak, apalagi melawan bupala.

Andai kau dengar, Ibu. Bagaimana nasibmu sekarang? Bupala-bupala itu tak akan mampu menggantikan semuanya. Apa pun yang kau terima dari mereka, tidak akan cukup bagi anakmu. Aku, Siring, karam di bawah lautan jahat. Aku, Siring, pernah sambil berlari membentangkan tajuk rawal melindungi makam para leluhur agar selamat. Tapi Aku, Siring dan makam para leluhur itu, kini kelelap nestapa di bawah lautan pilu.

 

Penulis: Salwa Hunafa

Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top