Ramadan dan Memori Indah yang Tak Bisa Dilupakan

Makan bersama keluarga (Sumber: Pinterest) 

 

Gaya Hidup – Bulan Ramadan selalu membawa perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Ada ketenangan dalam ibadahnya, ada kebersamaan dalam setiap momennya, dan tentu saja, ada nostalgia yang diam-diam menyelinap setiap kali kita mengenang masa kecil dulu.

Bagi kita yang kini sudah dewasa, Ramadan dulu bukan sekadar sahur dan berbuka, tapi juga petualangan kecil yang kini terasa begitu dirindukan. Dari mata yang setengah terpejam saat sahur, ronda keliling kampung membangunkan orang-orang, pawai obor yang penuh semangat, hingga salat tarawih yang kadang lebih banyak main, semuanya terasa seperti film lama yang terus berputar di kepala setiap kali Ramadan tiba.

Sahur yang Penuh Makna: Dari Bangunin Sahur Sampai Tontonan Favorit

Sahur selalu jadi tantangan. Mata masih berat, tubuh enggan bangun, tapi suara ibu (kadang lembut, kadang sedikit tinggi) tak bisa diabaikan. Ada yang langsung bangun dengan semangat, ada yang tetap duduk di meja makan sambil mata masih terpejam, dan ada juga yang baru sadar saat sendok sudah masuk ke mulut.

Dulu, sahur terasa lebih menyenangkan karena semuanya sudah siap. Kita hanya perlu duduk manis, menunggu masakan ibu yang masih hangat tersaji di meja. Kadang, kalau masih terlalu ngantuk, ibu dengan sabar menyuapi agar kita tetap bisa makan tanpa benar-benar terbangun. Sekarang? Semua harus disiapkan sendiri. Bangun lebih awal, menghangatkan makanan, dan berusaha makan meski kantuk masih berat, kadang bikin kangen masa kecil dulu.

Yang seru dari sahur juga adalah ronda sahur! Beberapa anak yang lebih besar, bersama bapak-bapak kampung, berkeliling sambil membawa kentongan, ember, bahkan kadang botol bekas yang dipukul-pukul. “Sahuuuuur! Sahuuuur!” teriak mereka, membuat orang-orang tersenyum dari balik jendela rumahnya. Yang paling asyik adalah ketika ada anak-anak kecil yang ikut-ikutan meski masih mengantuk. Ada yang bersemangat memukul kentongan, ada yang berjalan sambil sesekali menguap, tapi semuanya menikmati kebersamaan khas Ramadan.

Setelah sahur dan subuhan di masjid, ada dua pilihan: tidur lagi atau menikmati pagi dengan jalan-jalan keliling kampung. Beberapa masih memakai sarung, yang lain sudah siap dengan sepeda, mengitari jalanan yang masih sepi sambil menikmati udara segar sebelum akhirnya kembali ke rumah.

Dan jangan lupakan tontonan sahur! Acara Televisi (TV) selalu jadi teman setia menunggu Subuh. Dari situation comedy (sitkom) kocak yang bikin ketawa meski ditonton dalam keadaansetengah sadar, kuis interaktif yang sering kita ikuti jawabannya dari rumah, hingga ceramah ringan yang meskipun didengar dalam kondisi ngantuk, tetap menambah wawasan. Kadang, kita malah lebih fokus ke TV daripada ke makanan di depan mata!

Tadarus dengan Mic: Suara yang Tak Bisa Sembunyi

Di bulan Ramadan, masjid selalu ramai dengan suara tadarus. Mikrofon dihidupkan, dan satu per satu anak-anak mulai membaca ayat suci dengan lantang. Suara mereka menggema ke seluruh kampung, membuat orang-orang di rumah bisa ikut mendengarkan. Yang unik, para orang tua sering kali langsung mengenali suara anak mereka. “Eh, itu suara si Fajar, kan?” atau “Lho, kok bacanya masih belepotan? Pasti anakku tuh!” Begitulah, meski di dalam masjid, tetap saja suara mereka bisa jadi bahan obrolan di rumah.

Bagi anak-anak, momen ini bisa jadi kebanggaan sekaligus tantangan. Ada yang membaca dengan penuh percaya diri, ada yang gugup karena sadar suaranya didengar banyak orang, dan ada juga yang sengaja mengatur nada bacaannya supaya terdengar lebih keren di speaker masjid. Tak jarang, ada teman yang usil menahan tawa kalau mendengar bacaan yang sedikit meleset, meskipun akhirnya mereka tetap saling mendukung.

Setelah sesi tadarus selesai, biasanya ada acara buka bersama. Ini yang paling ditunggu! Orang-orang di sekitar masjid sering membawa masakan dari rumah, mulai dari kolak, gorengan, nasi uduk, hingga es buah segar. Anak-anak yang tadi serius membaca Al-Qur’an langsung berubah riang, sibuk berbagi makanan dan saling bercanda.

Ngabuburit: Sepedaan, Jajan, dan Kajian di Sekolah 

Menjelang berbuka, ngabuburit jadi agenda wajib. Ada yang memilih sepedaan keliling kampung, ada yang berburu takjil di pasar, dan ada yang sekadar duduk di depan rumah menunggu azan.

Di sekolah, biasanya ada pondok Ramadan. Ini adalah momen di mana anak-anak berkumpul di aula sekolah, mendengarkan ceramah ustaz, meskipun ada yang lebih sibuk mencoret-coret buku atau mengobrol pelan dengan teman.

Salah satu yang paling berkesan adalah “buku pondok Ramadan”. Buku tersebut merupakan buku laporan yang berisi apakah kita menjalankan puasa atau tidak, salat lima waktu, tadarus, bahkan salat tarawih di mana harus ada tanda tangan ustaz atau imam masjid. Ada yang jujur menunggu, ada yang curang minta tanda tangan lebih dulu, dan ada juga yang meminta tanda tangan berulang-ulang agar lebih cepat selesai.

Berbuka: Dari Takjil Manis Sampai Makan Ronde Dua 

Begitupun azan Magrib berkumandang, takjil pun disantap dengan penuh kenikmatan. Kolak pisang, es buah, teh manis, atau gorengan selalu jadi andalan. Ada yang langsung makan besar, ada juga yang strategis: makan takjil dulu, salat, baru makan nasi.

Tapi satu yang pasti, setelah tarawih, selalu ada makan ronde dua. Karena setelah aktivitas seharian, rasanya perut kembali keroncongan, dan momen makan malam kedua ini justru terasa lebih santai dan nikmat.

Tarawih: Ibadah atau Ajang Main?

Salat Tarawih adalah ibadah yang penuh cerita. Ada yang sungguh-sungguh beribadah, ada yang mulai gelisah di rakaat keempat, dan ada yang justru menjadikannya kesempatan bermain.

Setelah salam, anak-anak berhamburan keluar, berlarian di halaman masjid. Ada yang main petak umpet, ada yang bermain petasan, dan yang paling seru: berebut tanda tangan imam.

Buku pondok Ramadan jadi “harta karun” yang harus diisi. Barisan anak-anak antre, ada yang berdesakan, ada yang mencoba menyelak, dan ada yang pura-pura jadi panitia biar lebih cepat dapat tanda tangan. Setelah buku penuh, barulah mereka pulang dengan perasaan lega.

Pawai Obor: Momen Takbir Keliling yang Selalu Dinanti

Menjelang Idul Fitri, ada satu tradisi yang selalu membawa keceriaan dan rasa haru sekaligus: pawai obor. Malam takbiran bukan sekadar gema takbir yang berkumandang dari masjid-masjid, tetapi juga momen di mana anak-anak dan remaja turun ke jalan, membawa obor dari bambu yang sudah direndam minyak tanah, berjalan bersama menerangi malam.

Suara takbir menggema di sepanjang gang dan jalan desa, berpadu dengan cahaya obor yang berayun-ayun dalam irama langkah kaki. Ada yang berjalan penuh semangat, ada yang sibuk menjaga obornya agar tidak padam, dan ada juga yang jahil, sengaja mendekatkan apinya ke obor teman lain biar panik.

Di antara mereka, ada anak-anak kecil yang ikut serta, meski kadang lebih sibuk mengangkat obornya yang berat daripada ikut bertakbir. Ada juga kelompok yang membawa bedug keliling, memukulnya dengan irama khas yang semakin menambah semarak suasana.

Pawai obor ini bukan sekadar tradisi, tapi juga simbol kebersamaan dan kegembiraan menyambut hari kemenangan. Saat itu, Ramadhan terasa begitu spesial, bukan hanya karena ibadahnya, tapi juga karena kebersamaan yang erat. Setelah berhari-hari berpuasa, pawai obor seolah menjadi pengingat bahwa esok adalah hari bahagia, hari di mana semua kembali fitri.

Ramadan Dewasa: Merindukan Masa Kecil 

Kini, saat kita sudah dewasa, Ramadan terasa berbeda. Tak ada lagi ibu yang membangunkan sahur dengan penuh kesabaran (dan sedikit ancaman kalau tidak bangun). Tak ada lagi pawai obor yang penuh semangat, dan tak ada lagi buku tanda tangan imam yang harus diisi.

Namun, setiap kali sahur atau berbuka, ingatan masa kecil itu seakan kembali hadir. Rasa hangatnya tetap ada, meskipun suasananya telah berubah. Ramadan tak hanya tentang ibadah, tapi juga tentang kenangan-kenangan yang selalu bisa kita bawa dalam hati, kapan pun kita ingin mengingatnya.

Jadi, jika Ramadan kali ini terasa lebih sepi atau berbeda, ingatlah: ada masa di mana kita juga menjalani Ramadan dengan penuh warna, canda, dan tawa. Mungkin, sekaranglah saatnya kita menciptakan kenangan baru, agar suatu hari nanti, kita bisa kembali mengenangnya dengan senyuman yang sama.

 

 

Penulis: Nuzulul Magfiroh

Editor: Nurjannah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top