Puncak Memoar Festival: antara Polemik Konflik dan Esensi Merawat Ingatan

Peristiwa – Setelah menggelar Memoar Festival di berbagai fakultas, Bidang Sosial Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) menggelar Puncak Memoar Festival di pelataran  Student Center (SC) Undip pada Jumat, (26/9). 

Puncak Memoar Festival merupakan acara penutup dari rangkaian Memoar Festival yang telah digelar di berbagai fakultas, yakni Fakultas Psikologi (FPsi), Fakultas Sains dan Matematika (FSM), Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP), Sekolah Vokasi (SV), dan Fakultas Teknik (FT). 

Berbeda dengan tahun sebelumnya yang menggelar Memoar Festival selama seminggu penuh di SC, diisi dengan bazar buku dan diskusi publik, tahun ini Bidang Sospol BEM Undip menginovasikan keliling ke berbagai fakultas untuk dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan merata. 

“Karena kita juga untuk menjangkau teman-teman mahasiswa kita yang sepertinya belum cukup aware dengan pelanggaran-pelanggaran terjadi,” tutur Riffat Zhafif Ardhana, selaku Project Officer (PO) Memoar Festival 2025. 

Puncak Memoar Festival tahun ini mengangkat tema “Hak yang dirampas ingatan yang membalas”. Bagi Riffat, tema ini menjadi harapan bahwa ingatan akan kejadian-kejadian yang terjadi di September ini mampu menghidupkan kembali semangat keadilan. 

“Bahwa dengan ingatan saja itu bisa se-powerful itu loh. Untuk membangkitkan kembali semangat keadilan untuk menuntaskan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah,” jelas Riffat. 

Pada awalnya, Riffat dan tim hendak mengundang Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebagai salah satu narasumber, tetapi dibatalkan dikarenakan pihak Kontras tidak dapat mengabulkannya karena tengah melanjutkan investigasi terkait orang hilang pasca demonstrasi akhir Agustus di Jakarta.

“Kemarin kita mencoba mengumpulkan Kontras, namun ternyata mereka sedang ada urusan juga dan kalau nggak salah berkaitan dengan salah satu orang yang hilang itu, tapi ditemukan karena jualan di Malang. Nah, karena itu kalau tidak salah,” ujar Riffat. 

Oleh itu, akhirnya Bidang Sospol BEM Undip mengundang Tuti Wijaya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jamal yang merupakan jurnalis Tempo Jawa Tengah (Jateng), dan  Suciwati, istri Almarhum (Alm) Munir. Ketiganya membahas kebebasan pers dan represifitas aparat hingga hari ini, penyempitan ruang-ruang sipil dan kebebasan berpendapat, sistematis militeristik, hingga kebutuhan diskusi publik untuk kesadaran akan peristiwa September Hitam. 

“Banyak orang yang tidak tahu, tapi bagaimana kita membuat mereka tahu. Politik bukan hanya untuk kekuasaan, tapi untuk menyadarkan orang lain untuk tahu keadaan Indonesia,” tutur Tuti Wijaya di akhir diskusi. 

Menurut pengakuan Hani, salah satu peserta dari Fakultas Sains dan Matematika (FSM), ia mendapatkan wawasan baru dari diskusi publik tersebut. 

“Aku jadi tahu bagaimana pengalamannya ibu Suciwati dalam mendampingi cak Munir, aku jadi tahu apa yang dialami oleh kawan kawan pers selama melakukan liputan pers sehingga jadi tahu kalau kebebasan pers kita seburuk itu, dan jadi tahu prosesnya gimana,” ujar Hani ketika diwawancarai oleh Awak Manunggal pada Jumat (26/9). 

Sejarah yang selama ini ia dengarkan dari mulut ke mulut maupun tulisan, di Memoar Festival ia berkesempatan mendengarkan sejarah dan kejadian dari mereka yang merasakan secara langsung. 

“Nah hari ini kita berkesempatan untuk tau sejarah dari yang mengalami secara langsung,” lanjutnya. 

Keluhan Persiapan yang Berantakan

Meskipun pada akhirnya Memoar Festival mampu terlaksana dengan baik, tetapi terdapat beberapa keluhan terkait dengan rundown yang cukup berantakan. Hani menyampaikan bahwa acara dimulai cukup ngaret dari waktu sebenarnya. 

“Mungkin lebih ke efisiensi waktu aja, karena tadi acaranya agak molor,” ucap Hani. 

Waktu pelaksanaan tertera pada poster pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat (WIB), tetapi pada kenyataan mundur hingga sekitar pukul 17.00 WIB. Namun, Riffat Zhafif menjelaskan bahwa rundown yang mundur jauh dari seharusnya dikarenakan faktor eksternal yang berada di luar kendali panitia. 

“Dari Mas Jamal itu agak lama untuk datang, pun juga Bu Suciwati. Karena kalau sore itu kan Tembalang macet, ya, Bu Suciwati tadi ke mobil dari bawah, jadi ya karena itu sih sebetulnya. Kendala-kendala itu sebenarnya faktor eksternal semua,” jelas Riffat ketika diwawancarai Awak Manunggal pada Jumat, (26/9). 

Selain itu, selama keberlangsungan acara terdapat keluhan mikrofon yang mati ketika sesi diskusi, sound system tidak nyala ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Totalitas Perjuangan, hingga banner yang copot total selama pertengahan hingga akhir diskusi. 

“Kendala terkait copot dan sebagainya, sebetulnya itu masalah teknis saja sih, karena melihat tadi kondisinya berangin juga, jadi kita juga sudah mewanti-wanti, cuma ya ternyata jatuh juga, ya mau bagaimana lagi,” jelas Riffat ketika dimintai keterangan.

Pada awalnya Riffat mengkhawatirkan jumlah massa yang hadir pada Puncak Memoar Festival karena bertabrakan dengan pelaksanaan Panglima Gigs di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tetapi pada akhirnya ia menuturkan bahwa kehadiran mampu melebihi ekspektasinya.

“Malam puncak ini kan nabrak sama acaranya FIB, itu juga menjadi satu kekhawatiran kami juga, karena massanya akan terbagi. Namun, setelah kita menggerakkan strategi mahasiswa yang cukup efektif, mod-to-mod dan sebagainya, alhamdulillah banyak massa lah yang datang,” tutur Riffat. 

Protes Teater Emka pada BEM Undip

Puncak Memoar Festival pun turut mendapatkan protes dari Teater Emka, salah satu komunitas seni yang turut diundang dalam acara tersebut. Perwakilan Teater Emka menilai pihak panitia, dalam hal ini Sospol BEM Undip, tidak profesional dalam mengatur rundown dan komunikasi teknis.

Menurut Rhesya Nabighannisa Haryanto, sutradara sekaligus Penanggung Jawab (PJ) penampilan Teater Emka pada malam itu, pihaknya awalnya dijadwalkan tampil sekitar pukul 19.00 WIB, tetapi tanpa pemberitahuan yang jelas, jadwal penampilan terus mengalami kemunduran hingga melewati pukul 22.00 WIB. 

“Kita sudah konfirmasi jauh sebelum acara, bahkan siap untuk tampil tepat waktu. Tapi ternyata rundown diundur-undur, bahkan panitia mengatakan kalau bisa saja tidak tampil karena sudah terlalu malam,” ujarnya kepada Awak Manunggal pada Selasa (30/9).

Ia juga mengeluhkan bahwa terdapat kesan panitia lebih mengutamakan performa band atau gigs dibandingkan penampilan teater yang hanya ada dua termasuk Teater Emka yang sudah siap sejak sore. 

“Dari pembicaraan mereka itu kayaknya mereka lebih ngeduluin performa band. Jadi di sana itu memang kebanyakan band. Di sana cuma ada dua teater, itu Teater Emka sama Teater Dipo,” ujarnya.

Selain persoalan rundown juga terdapat masalah publikasi acara, di mana nama Teater Emka tidak tercantum dalam poster resmi. 

“Itu kita baru nyadar memang salah juga sih. Baru nyadar kalau kita nggak masuk di poster itu H+1. Padahal kita posisi diundang,” ujar Damar Hisam Dwi Pasha, Ketua Teater Emka.

Proses komunikasi dengan panitia juga dinilai kurang jelas. Damar menuturkan bahwa Teater Emka diundang untuk tampil, tetapi dari pihak Sospol BEM Undip tidak memberitahu tenggat terakhir konfirmasi penampilan. Akhirnya Teater Emka baru konfirmasi pada Minggu (14/9), sementara rundown telah selesai sejak Jumat (12/9). 

“Kita di-chat, tapi nggak dikasih tahu konfirmasi sampai kapan,” ucap Damar.

Di sisi lain, Damar menilai bahwa seharusnya Sospol BEM Undip tetap memiliki cukup waktu hampir dua minggu untuk sekadar mengedit poster sebelum dipublikasikan pada Jumat (26/9). 

“Terus pas kita ngomongin gitu, mereka itu rundown udah jadi tanggal 12. Sementara kita baru konfirmasi tanggal 14. Cuma dari tanggal 14 sampai tanggal 26 itu jaraknya berapa lama sih? Jauh banget kan untuk sekadar ngedit poster,” lanjut Damar.

Permasalahan penempatan jadwal perform juga menimbulkan kesan teater kurang dianggap penting karena penampilannya sering diundur. Selain itu, bahkan sempat ada pesan yang membuat mereka kecewa. Pesan tersebut seolah-olah menyuruh Teater Emka untuk tidak jadi tampil, padahal para performer sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari. 

Bagi Emka, sikap ini sama saja merendahkan kerja keras performer non-musik. Damar menegaskan, 

“Ini permasalahan pikiran aja. Ketika kita menghadiri performer, semuanya, entah siapapun, dalam bentuk apapun, itu dimanusiakan sih. Jangan menspesialkan yang satu atau mendiskriminasi yang satu. Kalau aku bacanya gitu, secara ekstrim.”

Setelah polemik yang muncul, pihak Teater Emka mengaku sudah menerima permintaan maaf dari Adam Firdaus, Kepala Bidang (Kabid) Sospol BEM Undip. Mereka menilai respons itu cukup, meski tetap menekankan pentingnya evaluasi agar permasalahan serupa tidak terulang.

Mengenai kemungkinan kembali tampil di acara BEM, Emka memilih untuk menahan diri. Dalam waktu dekat, mereka tidak berencana ikut serta dalam kegiatan yang diadakan BEM, baik tingkat universitas maupun fakultas, karena dianggap menimbulkan konflik berulang. Meski begitu, mereka tidak menutup pintu sepenuhnya. 

“Kalau udah bagus baru kita tampilin,” ujar Damar, memberi isyarat bahwa kesempatan masih ada jika ada perbaikan nyata ke depan.

Harapan dari Hadirnya Memoar Festival 

Meski pelaksanaan Memoar Festival sempat diwarnai polemik, panitia menegaskan bahwa acara ini tetap membawa pesan penting. Riffat berharap tema yang diangkat mampu membangkitkan semangat keadilan melalui ingatan kolektif. 

“Ya aku nggak minta banyak-banyak, nggak berharap lebih banget, tapi yang penting kalian bisa tahu bahwa banyak di antara kasus-kasus ini belum tuntas loh. Makanya ya harapannya ya orang-orang minimal tau aja, tau namanya dan bisa menggaungkan namanya, sampai di titik keadilan itu,” ujarnya. 

Harapan yang sama juga datang dari Hani yang menilai acara ini membuka ruang belajar langsung dari sumber pertama. Baginya, peristiwa September Hitam harus terus diingat agar tragedi serupa tidak kembali terulang. 

“Aku harap dari upaya mengingat sejarah ini kita semua bisa belajar dari sejarah dan mencegah sejarah tersebut untuk kembali terulang,” katanya.

Memoar Festival dihadirkan sebagai refleksi kembali ingatan terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan September Hitam. Polemik persoalan yang hadir di acara tersebut tetaplah menjadi bahan evaluasi sehingga tidak menggeser pesan penting yang ingin ditampilkan oleh Sospol BEM Undip. 

Reporter: Hanifah, Alya, Salsa, Salwa, Artha, Raisya, Naftaly

Penulis: Hanifah Khairunnisa, Salsa Puspita

Editor: Nurjannah, Nuzulul Magfiroh

Scroll to Top