Saat membuat karya pertamanya tersebut, NWU yang terbiasa membuat 40 puisi setiap harinya, tidak langsung memberi nama puisi itu dengan sebutan puisi rock. Setelah menciptakan banyak puisi yang liriknya berisi tentang kemarahan, NWU berinisiatif untuk menjadikan puisi tersebut sebagai genre baru dalam karya sastra, yaitu puisi rock.
Pada 14 februari 2016, NWU membuat pementasan tunggal sekaligus pengukuhan puisi rock dengan tema Berpuisi Kita Merdeka di Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Semarang. Pada penanpilan tersebut, NWU membacakan puisi dengan menggunakan gaya musisi rock grup band Genesis. Akan tetapi, NWU mengatakan bahwa di pementasan puisi rock selanjutnya ia akan membaca puisi dengan teknik dan gaya sendiri tanpa meniru grup band Genesis.
Di balik kesuksesan pementasannya, puisi rock menuai pro dan kontra di kalangan para pegiat sastra. Perbedaan pendapat ini menimbulkan “gesekan” di antara mereka. Beberapa orang mendukung adanya puisi rock karena menambah kekayaan sastra Indonesia. Sedangkan, sebagian orang yang lain menilai bahwa puisi rock itu hanya berisikan kemarahan, mengandung pikiran-pikiran kotor, dan merupakan budaya barat yang tidak cocok dengan budaya Indonesia. Hal tersebut dibantah oleh NWU, ia berpendapat bahwa tidak semua budaya barat harus dihindari oleh masyarakat Indonesia. “Kita harus lebih pandai memilih hal-hal yang bermanfaat termasuk dari budaya barat,” tandasnya.
Senada dengan pendapat NWU, pengamat sastra dari Universitas Diponegoro, Laura Andri juga mendukung kehadiran puisi rock sebagai salah satu keanekaragaman puisi di Indonesia. “Sebenarnya puisi rock sama saja dengan puisi-puisi lainnya selama masih dalam kaidah sastra, karna tanpa kita sadari puisi rock telah menambah daftar baru dalam dunia sastra khususnya puisi”, ujar dosen FIB Undip tersebut.
Oleh karena itu, NWU berniat mempopulerkan puisi rock agar banyak dikenal di kalangan masyarakat. Ia akan kembali menggelar pementasan puisi rock di PKJT dan TBRS dalam waktu dekat ini. Selain itu, ia juga akan membukukan seluruh karya-karya puisinya dan memperkenalkan puisi rock kepada generasi muda untuk menjaga eksistensi puisi tersebut di dunia sastra. “Sebenarnya saya juga berniat mematenkan puisi rock, tetapi sampai saat ini saya belum tahu bagaimana cara mematenkannya, oleh karena itu, sekarang yang bisa saya lakukan adalah mementaskan puisi rock dan mempublikasikannya melalui media sosial,” ujar NWU. (Ika/Manunggal)
Versi cetak artikel ini terbit di tabloid Manunggal Edisi I Tahun XVI Agustus 2016 di halaman 15 dengan judul “Puisi Rock, Seni Memainkan Emosi”.




