Surat Gugatan Pemohon Perkara (Sumber: Unggahan Akun Instagram @pemiradiponegoro)
Warta Utama – Pada Selasa (24/12), Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Sengketa Pemilihan Umum Raya (Pemira) Universitas Diponegoro (Undip) 2024 resmi digelar di Ruang H302 Gedung Satjipto, Fakultas Hukum (FH), Undip. Sidang ini menjadi langkah awal proses hukum yang diajukan oleh pasangan calon (paslon) Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip 2025 nomor urut 1, Arkan Fadillah-Sajida Nurzafira Adburahim melalui kuasa hukum mereka, yaitu Mohammad Aufa Rafiqie, Raysa Fatma, dan Muhammad Fahri Nur Utomo.
Gugatan yang mereka daftarkan pada Sabtu, (21/12), berpusat pada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemira, yaitu Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum Raya (KPPR), Badan Pengawasan Pemilihan Umum Raya (BPPR), serta paslon nomor urut 2 yang terlibat dalam pemilihan tersebut. Penggugat menilai bahwa mereka telah dirugikan oleh sejumlah hal yang dianggap mencederai asas keadilan dalam Pemira.
Sejak pengumuman hasil pemungutan suara pada Rabu, (18/12), Arkan-Sajida merasa bahwa serangkaian prosedur yang tidak transparan, dugaan pelanggaran netralitas penyelenggara, serta manipulasi data mahasiswa yang diduga terjadi selama proses verifikasi berkas menjadi dasar hukum mereka untuk menggugat hasil Pemira ini.
Arkan dan timnya menjelaskan bahwa keputusan mereka untuk mengambil langkah hukum terhadap penyelenggaraan Pemira Undip 2024 bukanlah keputusan yang diambil dengan ringan.
“Kami berkomitmen menyelesaikan tanggung jawab kami dengan langkah yang matang dan terukur, mempertimbangkan aspek moral, formal, serta material demi menegakkan keadilan,” ungkap mereka.
Arkan beserta timnya juga menegaskan bahwa perjuangan mereka tidak hanya untuk kepentingan kelompok, tetapi juga demi masa depan Pemira yang lebih baik.
“Ini bukan sekadar kompetisi politik kampus. Pemira adalah cerminan dari bagaimana mahasiswa Undip berpolitik, peduli, dan bertindak terhadap masa depan organisasi mahasiswa kami,” jelas Arkan.
Arkan juga menegaskan bahwa Pemira sejatinya jauh lebih besar daripada sekadar persaingan antar calon, melainkan juga sebagai ajang perwujudan demokrasi mahasiswa.
“Pemira 2024 adalah cerminan demokrasi di Undip. Kalau ada cacat dalam proses ini, maka itu mencerminkan masalah dalam perilaku dan pemikiran mahasiswa kita,” ungkapnya.
Arkan berharap bahwa Pemira yang penuh kontroversi ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan di masa depan, bukan hanya dalam konteks politik kampus, tetapi juga dalam cara mahasiswa berinteraksi dengan proses demokrasi.
Kegagalan KPPR dalam Menjaga Integritas Pemira
KPPR Undip 2024 tercatat telah melakukan sejumlah kesalahan yang tidak bisa dianggap enteng. Salah satunya adalah kegagalannya dalam memastikan keamanan data peserta Pemira.
Dugaan pelanggaran terjadi pada Selasa, (27/11), yaitu terdapat permintaan akses terhadap link database Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) Dukungan milik Penggugat oleh dua orang yang tidak berwenang, Keisha Az-Zahra dan Thoriq Zhafar. Kejadian ini mengundang pertanyaan serius mengenai keandalan sistem yang dikelola oleh KPPR. Lebih ironis lagi, penyelenggara Pemira Undip 2024 yang seharusnya memegang amanah untuk menjaga
keabsahan proses Pemira malah terlibat dalam pelanggaran yang dapat mencoreng integritas Pemira itu sendiri.
KPPR sebagai Pihak Tergugat menanggapi dalil Penggugat dengan beberapa alasan yang membantah tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa akses terhadap link database KTM Dukungan milik Penggugat telah dilakukan melalui akun email resmi yang terdaftar, yaitu pemiraundip2024@gmail.com. Namun, mereka mengklaim bahwa terdapat kendala teknis yang menyebabkan masalah dalam proses akses tersebut.
Selain itu, KPPR juga memberikan penjelasan mengenai posisi Keisha Az-Zahra dalam struktur kepanitiaan. Keisha Az-Zahra disebutkan sebagai Ketua Divisi Acara KPPR, di mana ia telah menghubungi dan meminta izin terlebih dahulu kepada Penggugat sebelum mencoba mengakses link database KTM Dukungan milik Penggugat. Penolakan gugatan ini didasarkan pada klaim bahwa permohonan untuk mengakses link tersebut dilakukan secara transparan dan dengan izin dari Penggugat.
Ketika diwawancarai oleh Awak Manunggal pada Rabu, (25/12), Arkan menyoroti terkait masalah penggunaan email pribadi dalam mengakses data KTM yang disimpan dalam Google Spreadsheets. Menurutnya, skema akses data tersebut seharusnya dilakukan menggunakan email resmi Pemira Undip, bukan dengan akun pribadi.
“Ketika kita membahas ranah profesional, maka sudah seharusnya tim Pemira itu sendiri menggunakan email profesional, yaitu email Pemira Undip ketika mengakses data KTM tersebut,” ungkap Arkan.
Ia menambahkan bahwa penggunaan email pribadi untuk mengakses data yang bersifat sensitif adalah suatu kesalahan yang tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya. Dalam konteks ini, Arkan menegaskan bahwa meskipun ada alasan teknis, seperti kendala atau masalah sistem, solusi yang diambil seharusnya tidak melibatkan email pribadi. Hal ini sangat berkaitan dengan profesionalisme dalam bekerja dan menjaga integritas data yang ada.
“Tidak dibenarkan, apa pun alasannya, ketika dikatakan ada alibi kendala atau apapun itu sendiri, untuk menggunakan email pribadi dalam mengakses data yang bersifat institusional,” tambah Arkan.
Selain masalah penggunaan email pribadi, Arkan juga menyoroti fakta bahwa bukan hanya Keisha Az-Zahra yang terlibat dalam upaya akses terhadap data KTM, melainkan juga terdapat akun kedua bernama Thoriq Zhafar. Arkan menjelaskan bahwa Thoriq Zhafar bukanlah bagian dari KPPR Undip.
Arkan menilai bahwa kejadian ini menunjukkan kegagalan KPPR Undip dalam menjaga keamanan data Pemira. Akses oleh dua akun, termasuk akun pribadi dan pihak eksternal, menjadi bukti bahwa prosedur keamanan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Tidak hanya satu, tetapi dua kali akses dari akun yang tidak seharusnya terlibat. Ini menunjukkan adanya kebocoran keamanan data dalam penyelenggaraan Pemira,” kata Arkan.
Kehadiran Thoriq Zhafar dalam kasus ini memunculkan tanda tanya besar. Lebih lanjut, diketahui bahwa Thoriq Zhafar adalah salah satu admin grup WhatsApp “Satu Suara Undip Jaya,” yang diduga memiliki kaitan dengan salah satu paslon. Hal ini menambah kecurigaan bahwa ada potensi manipulasi data demi keuntungan pihak tertentu.
Paslon nomor urut 2 membantah keras tuduhan yang melibatkan akses tidak sah terhadap data KTM Dukungan Penggugat. Mereka menyatakan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum dan hanya bersifat asumtif.
Pihak mereka menyatakan bahwa Thoriq Zhafar bukan bagian dari Tim Sukses (Timses) Paslon 2. Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan adanya hubungan antara Paslon 2 dengan tindakan yang dituduhkan. Mereka juga menyebut bahwa penggunaan grup “Satu Suara Undip Jaya” sebagai bukti dugaan pelanggaran tidak relevan karena grup tersebut tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan mereka sebagai Pihak Terkait. Selain itu, tuduhan tentang pelanggaran asas netralitas oleh penyelenggara Pemira juga dianggap tidak terbukti.
Ketidakbecusan KPPR dalam Penyelenggaraan Pemira
Meskipun terdapat semangat dan antusiasme yang tinggi dari mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pemira Undip 2024, sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang dari pihak penyelenggara.
“Kami mengapresiasi bahwa politik kampus tahun ini lebih hidup,” ujar Arkan.
Namun, ia juga menyoroti berbagai masalah teknis, termasuk perencanaan yang kurang matang dan ketidakselarasan timeline Pemira dengan agenda akademik, seperti Ujian Akhir Semester (UAS), yang dinilai sangat mengganggu.
Masalah koordinasi dengan fakultas juga menjadi salah satu titik sorotan. Arkan mengungkapkan bahwa banyak fakultas yang terhambat dalam proses partisipasi selama Pemira tahun ini. Hal ini disebabkan oleh komunikasi yang buruk antara penyelenggara dan pihak fakultas, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah partisipasi mahasiswa dalam Pemira.
Perubahan Timeline yang Tidak Konsisten
KPPR juga dinilai tidak konsisten dalam menjalankan timeline penyelenggaraan. Timeline yang seharusnya menjadi pedoman utama justru mengalami perubahan beberapa kali, tanpa kejelasan atau alasan yang kuat. Perubahan ini dapat merugikan paslon sebagai peserta, terutama dalam hal persiapan kegiatan.
Roadshow Fakultas menjadi salah satu agenda penting untuk menyampaikan visi dan misi peserta kepada mahasiswa di berbagai fakultas. Namun sayangnya, prosesi krusial ini menjadi terganggu karena perubahan jadwal yang mendadak.
Ketidaksesuaian jadwal dinilai mengganggu proses persiapan kampanye peserta, yang harus menyesuaikan berbagai agenda dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. KPPR juga dinilai kurang transparan dalam menyampaikan alasan perubahan tersebut.
Menanggapi tuduhan tersebut, KPPR memberikan penjelasan terkait perubahan timeline yang terjadi. Mereka menyatakan bahwa koordinasi dengan 11 fakultas dan 1 sekolah vokasi yang ada di Undip merupakan tantangan tersendiri. KPPR harus menyesuaikan jadwal dengan ketersediaan sarana dan prasarana di masing-masing fakultas, yang sering kali digunakan untuk kegiatan lain.
KPPR menegaskan bahwa perubahan timeline telah ditetapkan secara legal melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 007/SK/KPPR-UNDIP/XII/2024, 008/SK/KPPR-UNDIP/XII/2024,
dan 009/SK/KPPR-UNDIP/XII/2024. Hal ini menunjukkan bahwa proses perubahan dilakukan sesuai dengan asas legalitas dalam ranah administrasi Tata Usaha Negara (TUN).
KPPR juga membantah tuduhan bahwa perubahan timeline bertujuan untuk mendiskriminasi pihak tertentu. Semua paslon mengalami dampaknya secara merata.
Ketidaktransparanan dan Kegagalan BPPR
BPPR Undip 2024, yang memiliki tanggung jawab untuk mengawasi jalannya Pemira, juga patut dipertanyakan. Tidak ada transparansi mengenai pembentukan BPPR yang pada akhirnya menghalangi pengawasan yang efektif terhadap Pemira.
Akibatnya, kehadiran BPPR sebagai pengawas Pemira terasa tidak ada artinya. Lebih parahnya lagi, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh BPPR untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang mencuat, seperti ketika terjadi dugaan pencatutan KTM timses Penggugat. Kejadian ini terbukti tidak hanya diabaikan, tetapi juga tidak mendapat perhatian serius dari BPPR. Padahal, peraturan jelas mewajibkan mereka untuk aktif dalam mengawasi setiap langkah Pemira.
BPPR Undip membantah seluruh tuduhan pelanggaran yang diarahkan kepada lembaga ini. Mereka menegaskan bahwa seluruh tindakan yang diambil telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Berlandaskan Pasal 69 Peraturan Mahasiswa (Perma) Undip Nomor 2 Tahun 2024, pengkajian dan penyelidikan oleh BPPR hanya dapat dimulai jika terdapat Laporan Pelanggaran sesuai format dan ketentuan yang ditetapkan dalam ayat (2) dan (3) pasal tersebut.
BPPR menolak anggapan bahwa publikasi yang dilakukan oleh pihak pemohon dapat dianggap sebagai dugaan pelanggaran yang harus segera diselidiki. Publikasi di media atau platform tertentu bukan merupakan laporan formal yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Terkait tuduhan bahwa proses pembentukan BPPR tidak transparan, BPPR menjelaskan bahwa keanggotaannya tidak dibentuk secara mandiri. Proses ini dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 jo. Pasal 4 ayat (6) Perma Undip Nomor 2 Tahun 2024. Keanggotaan diserahkan kepada setiap fakultas dan sekolah vokasi,
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tidak ada ketentuan dalam perma yang mewajibkan adanya publikasi penetapan anggota BPPR.
Terkait tuduhan bahwa Petunjuk Teknis Laporan Aduan Pemira baru dipublikasikan pada Kamis, (19/12), BPPR menjelaskan bahwa penetapan anggotanya dilakukan pada Jumat, (13/12). Dalam rentang waktu tersebut, anggota BPPR sedang menghadapi UAS, sehingga penyusunan petunjuk teknis tidak dapat segera dilakukan.
BPPR menyatakan bahwa kondisi tersebut menyebabkan keterlambatan publikasi petunjuk teknis, tetapi tidak mengurangi validitas proses pengawasan. BPPR juga menegaskan bahwa mereka telah bekerja secara maksimal di tengah keterbatasan waktu dan tanggung jawab akademik anggota.
BPPR menyampaikan permohonan maaf apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keadilan yang dicederai.
Tanggapan atas Kecacatan Kinerja BPPR
BPPR yang seharusnya berfungsi untuk menjaga agar Pemira berjalan sesuai dengan aturan dan prinsip demokrasi, justru tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan optimal.
BPPR yang diharapkan dapat memastikan pelaksanaan Pemira berlangsung dengan transparan dan adil, ternyata terlambat dibentuk. Bahkan, ketika roadshow atau kampanye fakultas sudah dimulai sejak Jumat, (6/12), penetapan keanggotaan BPPR justru baru dilakukan pada Jumat, (13/12).
Arkan menyatakan bahwa hal ini dapat berakibat pada tidak terpantaunya pelaksanaan kampanye di beberapa fakultas, yang seharusnya menjadi bagian krusial dalam memastikan tidak ada pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pemilihan.
“BPPR baru dibentuk ketika roadshow sudah berjalan, dan ada fakultas yang tidak mendapatkan pengawasan yang semestinya. Ini jelas memengaruhi bagaimana proses Pemira berjalan,” jelas Arkan.
Arkan juga menyebutkan bahwa BPPR yang tidak aktif di awal dapat menciptakan celah yang besar untuk potensi kecurangan atau penyimpangan.
Pelanggaran Kampanye dan Transparansi Keuangan
Pelanggaran kampanye yang diduga dilakukan oleh paslon nomor urut 2, yang menggunakan iklan Instagram tanpa transparansi alokasi dana, menjadi masalah lain yang harus dihadapi.
Penggunaan dana kampanye yang tidak tercatat dengan jelas dalam laporan keuangan menambah daftar panjang pelanggaran yang terjadi. Pemotongan suara sebesar 10% dari total suara yang diperoleh paslon tersebut, menurut Penggugat adalah tindakan yang lebih tepat dibandingkan dengan sekadar peringatan ringan, yang jelas tidak memberikan efek jera dan tidak mencerminkan keadilan.
Paslon 2 menyatakan bahwa laporan keuangan mereka telah diaudit dan disahkan oleh Tim Audit Keuangan (TAK) Undip. Laporan tersebut menyatakan bahwa penggunaan dana kampanye mereka berstatus “PATUH” sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menyoal Keabsahan Gugatan
Tim kuasa hukum Paslon 2 menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat memiliki cacat formil. Mereka mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Tim Yudisial Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Beracara Tim Yudisial, yang mensyaratkan kelengkapan dokumen, seperti Isian Rencana Studi (IRS) dan tanda tangan kuasa hukum. Menurut Paslon 2, berkas yang diajukan Penggugat tidak memenuhi syarat tersebut sehingga dianggap tidak dapat diterima secara hukum.
Selain itu, mereka juga mengkritik inkonsistensi dalam permohonan gugatan. Dalam posita, Penggugat menyatakan adanya dugaan pelanggaran proses, tetapi petitum mereka memohon pembatalan SK KPPR terkait hasil pemilihan. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan dalam gugatan yang diajukan.
Paslon 2 menegaskan bahwa kemenangan mereka dalam Pemira Undip 2024 adalah hasil dari dukungan mahasiswa Undip, yang tercermin dalam perolehan suara sebesar 5.342, dibandingkan 4.952 suara yang diperoleh paslon nomor 1. Mereka berharap proses penyelesaian sengketa ini berjalan dengan adil dan transparan.
Paslon 2 pun menyatakan bahwa akan menghormati mekanisme hukum yang ada, tetapi juga percaya bahwa hasil Pemira ini mencerminkan suara mahasiswa yang harus dijaga dan dihormati.
Dugaan Pelanggaran Independensi Hakim dan Ketidaksiapan Proses Hukum Pemira Undip 2024
Arkan memberikan pernyataan terkait sejumlah permasalahan yang muncul selama proses penyelesaian sengketa Pemira Undip 2024. Ia menjelaskan berbagai temuan dan kekhawatiran terkait pelaksanaan persidangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam proses hukum Pemira ini.
Salah satu hal utama yang disoroti oleh Arkan adalah dugaan pelanggaran terhadap prinsip independensi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para hakim dalam proses persidangan. Menurut Arkan, salah satu hakim anggota dalam majelis Tim Yudisial terbukti memiliki afiliasi dengan paslon nomor urut 2, yang dalam hal ini merupakan Pihak Terkait dalam sengketa tersebut.
“Salah satu majelis hakim ini terbukti menggunakan atribut kampanye dan mengikuti kegiatan kampanye dari Pihak Terkait,” kata Arkan.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan hakim yang terafiliasi langsung dengan Pihak Terkait telah mencederai asas keadilan dan independensi dalam penyelesaian sengketa Pemira. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan terhadap integritas dan proses hukum yang sedang berlangsung.
“Kami menolak keterlibatan hakim anggota yang terbukti memiliki afiliasi dengan salah satu Pihak Terkait karena telah melanggar asas independensi,” tegas Arkan.
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Tim Yudisial Nomor 2 Tahun 2024 menyebutkan bahwa majelis hakim harus memiliki sifat independen dan bebas dari tekanan pihak mana pun. Oleh karena itu, Arkan menegaskan bahwa keterlibatan hakim yang jelas berpihak ini menjadi sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar dalam proses penyelesaian sengketa Pemira.
Selanjutnya, Arkan juga mengungkapkan masalah terkait ketidaksiapan Tim Yudisial dalam menjalankan tugasnya. Ia menjelaskan bahwa pada Minggu, (22/12), pihaknya mengajukan berkas gugatan kepada Tim Yudisial melalui kanal resmi yang telah ditentukan. Namun, saat mereka diminta untuk melengkapi berkas pada Senin, (23/12), ternyata terdapat ketidaksesuaian antara instruksi yang diberikan dan pelaksanaan pengumpulan berkas.
“Ketidakhadiran panitera dan Tim Yudisial yang tidak siap menerima berkas kami menyebabkan keterlambatan dalam pengumpulan berkas,” ungkap Arkan.
Kejadian ini, menurutnya, semakin diperburuk dengan miskomunikasi antara pihak mereka sebagai pemohon dan pihak panitera yang seharusnya siap menerima berkas secara langsung pada waktu yang telah ditentukan.
Arkan juga mengkritik pelaksanaan pengumpulan berkas yang tidak berjalan konsisten, dengan dokumen digital yang digunakan sebagai dasar pertimbangan meskipun peraturan mengharuskan berkas tertulis sebagai acuan. Menurutnya, hal ini menyebabkan alat bukti dan barang bukti yang mereka ajukan tidak teregistrasi dalam sidang pemeriksaan, yang pada akhirnya merugikan posisi hukum mereka sebagai pemohon.
Salah satu dampak serius dari ketidaksiapan Tim Yudisial adalah ketidakadilan yang timbul akibat keterlambatan pengumpulan berkas. Dalam hal ini, meskipun berkas tertulis yang dikumpulkan telah memenuhi persyaratan, keterlambatan tersebut membuat berkas digital menjadi acuan, yang menyebabkan bukti-bukti yang mendukung gugatan mereka tidak dianggap sah.
Arkan merasa bahwa keputusan Tim Yudisial, untuk tidak menerima berkas tertulis sebagai dasar pertimbangan karena dianggap terlambat dan justru menggunakan berkas digital, bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Tim Yudisial Nomor 2 Tahun 2024. Akibatnya, posisi hukum mereka semakin lemah dan proses hukum yang seharusnya berjalan sesuai asas keadilan justru mencederai hak-hak mereka sebagai pemohon.
Mereka mengecam ketidaksiapan Tim Yudisial dan panitera yang menyebabkan kerugian signifikan terhadap pihak mereka sebagai pemohon.
Tanggapan Tim Yudisial atas Tuduhan yang Diberikan
Ketua Tim Yudisial Pemira Undip 2024, Zamroni Akhmad Affandi, memberikan tanggapan atas sejumlah tuduhan dan isu yang mencuat terkait independensi serta proses persidangan sengketa Pemira. Ia menegaskan bahwa seluruh anggota Tim Yudisial bekerja berdasarkan mekanisme hukum yang telah ditentukan dan senantiasa menjunjung tinggi transparansi dalam pelaksanaan tugas mereka.
Zamroni menjelaskan bahwa pembentukan Tim Yudisial dilakukan sesuai Pasal 25 Perma Undip Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemira. Anggota Tim Yudisial dipilih melalui mekanisme perwakilan dari berbagai instansi, termasuk fakultas, BEM Undip, SM Undip, dan Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA-UM). Mekanisme ini, menurut Zamroni, berbeda dengan rekrutmen terbuka.
“Kami tidak dapat menentukan siapa yang akan dikirim oleh instansi masing-masing. Namun, kami yakin bahwa perwakilan tersebut adalah individu terbaik yang telah dipercaya oleh instansinya,” ungkapnya.
Zamroni juga menambahkan bahwa pembentukan tim ini dilakukan secara terbuka melalui rapat musyawarah pada Jumat, (20/12) sesuai SK Tim Yudisial Undip.
Menanggapi tuduhan adanya afiliasi salah satu hakim dengan paslon tertentu, Zamroni membantah keras. Ia menyebut bahwa Pasal 2 Peraturan Tim Yudisial Undip Nomor 2 Tahun 24 secara tegas melarang hakim untuk menjadi bagian dari timses paslon mana pun.
“Kami telah memastikan bahwa tidak ada hakim yang terdaftar sebagai timses di KPPR Undip 2024. Jika ada, kedudukan hakim tersebut secara hukum dapat dibatalkan,” tegasnya.
Zamroni juga menyebutkan bahwa tuduhan ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan hanya bertujuan untuk memperkeruh suasana. Lebih lanjut, Zamroni menekankan bahwa semua keputusan dalam Tim Yudisial diambil secara kolektif dengan kedudukan setiap hakim yang setara.
“Sebagai ketua, saya tidak bisa mengambil keputusan sepihak,” ujar Zamroni.
Semua keputusan Tim Yudisial dihasilkan melalui musyawarah. Jika ada perbedaan pendapat, mekanisme Dissenting Opinion akan digunakan, di mana pendapat yang berbeda akan dicantumkan dalam putusan resmi yang terbuka untuk publik.
Terkait permasalahan pengumpulan berkas yang dianggap tidak sesuai, Zamroni menjelaskan bahwa hal tersebut telah dibahas dalam sidang pemeriksaan pendahuluan. Berdasarkan Berita Acara tertanggal 22 Desember 2024 dan Peraturan Tim Yudisial Undip Nomor 2 Tahun 2024, berkas harus dikumpulkan, baik secara dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring) sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
“Berkas yang dikirimkan secara daring pada pukul 19.00 WIB telah sesuai dengan ketentuan. Namun, berkas luring yang tidak memenuhi syarat waktu dianggap tidak sah,” ujarnya.
Zamroni juga menambahkan bahwa Pasal 14 Peraturan Tim Yudisial Undip Nomor 2 Tahun 2024 mengatur syarat-syarat khusus untuk dokumen yang digunakan sebagai alat bukti, sehingga alat bukti yang tidak sesuai tidak dapat diterima dalam persidangan.
Zamroni menjelaskan lebih lanjut bahwa penolakan alat bukti bukan merupakan tindakan sepihak. Ia menyebut bahwa penolakan tersebut sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Tim Yudisial Undip Nomor 2 Tahun 2024, yang mensyaratkan bahwa Pasal 14 harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum alat bukti dapat diterima.
“Tidak bisa langsung melompat ke Pasal 15 tanpa memenuhi ketentuan di Pasal 14. Semua ini dilakukan sesuai prosedur,” jelasnya.
Zamroni juga mengingatkan bahwa Tim Yudisial bekerja di bawah pengawasan publik dan memahami pentingnya menjaga kepercayaan mahasiswa. Oleh karena itu, mereka berkomitmen untuk menjaga transparansi dalam setiap tahap persidangan.
“Kami tahu pekerjaan kami diawasi banyak pihak. Oleh sebab itu, kami selalu memastikan bahwa proses hukum ini berjalan dengan adil, transparan, dan sesuai dengan regulasi. Produk
hukum kami adalah tanggung jawab bersama yang harus dapat dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.
Hingga saat ini, hasil Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Sengketa Pemira Undip 2024 belum diumumkan. Zamroni menjelaskan bahwa sesuai dengan Perma Undip Nomor 2 Tahun 2024, Tim Yudisial diberikan waktu hingga 14 hari setelah penetapan hasil Pemira oleh KPPR untuk menyelesaikan semua perkara yang masuk. Persidangan lanjutan yaitu Sidang Pembacaan Putusan Pemeriksaan Pendahuluan atas perkara ini akan dilaksanakan pada Sabtu, (28/12), di lokasi yang sama seperti sidang sebelumnya.
Reporter Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manunggal telah menghubungi Aufa Atha Ariq Aoraqi untuk dimintai keterangan, tetapi hingga berita ini dipublikasikan belum ada respons dari pihak terkait.
Reporter: Nuzulul Magfiroh
Penulis: Nuzulul Magfiroh
Editor: Ayu Nisa’Usholihah