Pesan dari Pembantaian Klan Uchiha untuk Rekonsiliasi ‘65

Semacam Film Jagal, kisah ini adalah versi pengakuan Tobi pada Sasuke. (Naruto, vol: 43)

Klan Uchiha dan Klan Senju diceritakan seperti air dan minyak. Beruntung, sejak Aliansi Ninja melakukan genjatan senjata, peperangan antara kedua klan ini secara perlahan mereda. Uchiha dan Senju berhasil mebangun Desa Konoha. Namun persaingan justru berlanjut pada perseteruan posisi Hokage (pemimpin desa).

Penduduk Konoha memilih Hashirama Senju menjadi Hokage pertama yang kemudian dilanjutkan adiknya. Hokage kedua memberikan posisi resmi kepada Klan Uchiha sebagi Pasukan Keamanan Konoha. Tapi posisi tersebut menurut klan Uchiha ditafsiri hanya upaya menjauhkan Uchiha dari pemerintahan dan menempatkan Uchiha dibawah pengawasan Senju.

Belum sempat meminta keadilan, kehancuran Klan Uchiha justru dimulai saat Desa Konoha diserang Siluman Rubah Berekor Sembilan. Uchiha sebagai satu-satunya klan yang memiliki mata yang mampu menjinakkan dan mengendalikan siluman ini. Membuat para petinggi Konoha mencurigai serangan Siluman Rubah Berekor Sembilan adalah ulah dari klan Uchiha dalam upaya pemberontakan. Setelah kejadian itu, pengawasan terhadap Uchiha makin diperketat. Tempat tinggal klan Uchiha dipindah ke pinggir desa dengan kondisi terasing. Saat itu Hokage Ketiga sebenarnya keberatan dengan perlakuan itu namun para penasihat desa tidak menanggapinya.

Uchiha terus mendapatkan perlakuan diskriminatif dari desa. Hal ini menimbulkan kebencian dan kekecewaan klan Uchiha. Hingga akhirnya apa yang ditakutakan Hokage ketiga benar-benar terjadi. Klan Uchiha berencana melakukan kudeta untuk menguasai desa.

Ayah Itachi Uchiha, Fugaku menjadi dalang dibalik rencana kudeta tersebut dan Itachi masuk ke dalam operasi rahasia sebagai mata-mata di bawah komando ayahnya. Tetapi terjadilah hal yang sebaliknya, Itachi justru menjadi informan bagi Konoha.

Petinggi Konoha memberikanya sebuah misi rahasia, yaitu untuk menumpas habis seluruh Klan Uchiha. Pengkhianatan terhadap Klannya merupakan pilihan yang tidak mungkin dipahami orang lain. Tetapi bila sebuah Klan seperti Uchiha memulai perang saudara, hal itu akan menggoyahkan pondasi Desa Konoha. Desa lain pasti akan mengambil kesempatan untuk menyerang dan kemudian memicu Perang Ninja. Akan banyak orang  tewas walaupun mereka tidak berhubungan dengan dunia Ninja. Dan hal itu hanya disebabkan oleh keegoisan Uchiha.

Itachi akhirnya memutuskan menutup sejarah Uchiha dengan kedua tangannya sendiri. Dicap sebagai pengkhianat dan kebencian orang-orang akan ditanggungnya sendirian. Sebelum itu, Hokage Ketiga bermaksud mengajak klan Uchiha untuk bicara rekonsiliasi, tetapi hal itu gagal. Semua berlanjut, seluruh klan Uchiha mati di tangan Itachi kecuali adiknya sendiri Sasuke.

Itachi memohon kepada Hokage ketiga untuk melindungi saudaranya. Itachi memberikan satu tujuan hidup bagi Sasuke, yaitu untuk membalas dendam, hanya untuk membuat adiknya lebih kuat. Dia juga memohon kepada Hokage Ketiga untuk tidak memberitahukan hal yang sebenarnya.

Sejak hari kepergiannya dari Konoha sebagai ninja pelarian dengan menanggung aib sebagai kriminal pembunuh klan. Dia telah merencanakan bahwa suatu saat dia akan bertarung dengan saudaranya dan akan tewas ditangan Sasuke

Ada pesan dari kisah di atas terkait topik yang santer kita dengar akhir bulan lalu. Tentang luka lama yang diungkit-ungkit untuk alasan defensif masing-masing kelompok. Fenomena ini memberi sinyal bahwa nasib rekonsiliasi untuk kekerasan politik Indonesia setengah abad lalu sedang dalam kondisi mengkhawatirkan.

Dari kisah di atas, serangan Siluman Rubah Ekor Sembilan bisa kita ibaratkan seperti G30S. Stereotip penduduk desa kepada klan Uchiha memperlihatkan kepada kita bahwa pembantaian klan Uchiha merupakan keniscayaan jika rekonsiliasi tidak terwujud sementara kecemburuan, diskriminasi yang terlanjur terbentuk justru dipupuk dengan masif di bangsa ini. Tidak ada yang berani membayangkan bila suatu hari nanti di titik akumulasi tertinggi, pembantaian klan Uchiha (perang saudara) kembali terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, pada hakekatnya rekosiliasi adalah proses penyembuhan. Artinya, kedua belah pihak harus bisa berdamai dengan masa lalu. Dalam kasus ini, bukan hanya setelah tahun ‘65, tetapi sepanjang sejarah sampai ke tahun ‘48. Rekonsiliasi harus dimaknai dengan prespektif sosio-kultural. Pihak-pihak yang terlibat hadir untuk mengakui dengan ikhlas bahwa pihaknya bertanggung jawab atas tragedi kekerasan politik masa silam.

Menurut Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), kalau kita masih membuat kegiatan kumpul dengan orang-orang yang sepemikiran, ini hanya akan menambah candu, memperlebar jurang pemisah di masyarakat. Seperti yang terjadi di LBH kemarin. Kegiatan itu tidak mengarah ke rekonsiliasi, tapi justru membuka lebar polarisasi.

Kita yang mengklaim melakukan pengungkapan kebenaran sejarah ‘65, menurut Agus juga bukan ruh rekonsiliasi. Hal ini hanya memicu pihak lain untuk mencari alasan bahwa aktor sejarah ‘65 masih bertingkah. Begitu juga pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI. Agus menyebut ini kontraproduktif terhadap upaya rekonsiliasi. Kita generasi muda sekarang memiliki independensi untuk menentukan apa yang baik dan bermanfaat.

Keragaman respon seperti di atas harus disertai sikap fair. Jangan menjadi arogan untuk membuat titik pemantik. Hal ini hanya menunjukan bahwa rekonsiliasi masih dipahami secara awam untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi terlaksananya rekonsiliasi.

Masyarakat bisa dikatakan belum siap untuk rekonsiliasi, apabila kita masih melihat tragedi 1965 dan tahun-tahun sebelumnya dengan idealisme masing-masing. Indonesia sekarang seolah masih ada pada tahun 1965, bukan tahun 2017. Kondisi kita yang sedang tidak bergerak kemana-mana ini akibat kita kurang mampu melihat secara reflektif.

Andai kita ikut menjadi bagian di cerita Naruto, mungkinkah kita setabah Ithachi yang menerima nasib sebagai kambing hitam melepas ego kelompoknya demi keutuhan desa? Atau justru menjadi Sasuke, pewaris dendam yang ditakdirkan membunuh saudaranya sendiri karena kebohongan desa dan ketidaktahuannya?

Apa perlu kita memiliki mata sharingan hanya untuk melihat isi hati seseorang?

dengan begiu tidak ada yang pura-pura kan.

 

Faqih Sulthan

Departemen Sastra Indonesia 2014

Ilmu Budaya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top