Pantura Tenggelam, Pemerintah Tetap Diam

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Peristiwa – “Air asat iso nyawah meneh” begitulah keinginan warga penduduk desa Tambakroto, Demak yang terkena genangan air rob. 

Sejak tahun 2018, penduduk Desa Tambakroto dihadapkan pada situasi yang merugikan, dimana air laut mulai memasuki pemukiman mereka. Ketinggian genangan air bisa mencapai setinggi mata kaki dan butuh waktu satu minggu untuk air genangan tersebut surut.

Kejadian ini sangat merugikan penduduk sekitar desa Tambakroto, karena sawah mereka tergenang oleh air laut. Hal ini membuat warga Tambakroto yang berprofesi sebagai petani kehilangan pekerjaannya. 

Daerah yang dulu merupakan hamparan sawah yang subur, sekarang tergantikan dengan genangan yang terlihat seperti tambak. Mungkin banyak orang yang mengira itu memang tambak, namun itu adalah sawah yang tergenang oleh air rob.

Beberapa pemilik sawah yang kehilangan lahan bertani mereka kemudian menyewakan ladang yang sudah menjadi genangan air tersebut menjadi kolam pemancingan. Sayangnya, usaha menyewakan lahan ini tidak mendapatkan keuntungan yang besar. 

Para petani yang sudah berusia lanjut tidak dapat lagi bekerja sebagai buruh pabrik di sekitar Jalan Raya Pantura karena keadaan fisik dan usia. Keterbatasan tersebut, memaksa mereka bertahan dengan apa yang mereka miliki dan berharap ada solusi agar mereka bisa kembali bertani. 

“Masa lautnya disana (di pesisir utara) airnya meluap dari selatan Pantura?” ucap Kepala Desa Tambakroto, Thohir  ketika diwawancarai oleh awak Manunggal, Minggu (04/06).

70-80% tangisan warga Tambakroto kepada Thohir terus terngiang di telinganya. Thohir mengaku tidak niat untuk melakukan aksi atau demo, “Lurah, ngelu ning sirah Mbak, bener”, ucap Thohir.

Permasalahan genangan air ini membuat Thohir yang baru tujuh bulan menjabat sebagai Kepala Desa Tambakroto harus memikul beban yang berat. 

Thohir menjelaskan bahwa salah satu penyebab masuknya air rob ke Desa Tambakroto adalah proyek pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak. Semenjak pembangunan jalan tol ini, banyak daerah-daerah di sekitar Tambakroto seperti Desa Loireng dan Perumahan Griya Prima terkena dampak yang sangat parah. 

Tak hanya warga Desa Tambakroto, Suranti (58), salah satu warga Desa Loireng pun merasakan pahitnya realitas, terlebih ketika pembangunan jalan tol Semarang-Demak terpaksa menghentikan mata pencahariannya sebagai petani.

“Ya merasa (kesulitan, red). Sebelum jalan tol masih ada padi, tanaman masih ada. Kalau ada jalan tol ini kan sudah ndak bisa (menanam padi, red),” ungkap Suranti ketika diwawancarai oleh awak Manunggal, Minggu (04/06).

Suranti menyebut sejak munculnya wacana pembangunan jalan tol di daerahnya, Desa Loireng sudah mengalami masalah dengan banjir dan rob. Namun, hal tersebut belum sampai tahap menghambat aktivitas masyarakat.

“Semenjak ada tol jadi kayak gitu, terendam airnya naik”, ungkapnya.

Suranti sebagai salah satu korban kebijakan pemerintah dalam pembangunan jalan tol ini, nyatanya tidak mendapatkan ganti rugi apapun atas tragedi banjir rob di Desa Loireng yang mematikan pekerjaannya.

“Ganti rugi dari mana? Ndak ada ganti, yang ada ganti ya yang di situ (rumah di sekitar jalan tol, red)”, tegasnya.

Tak hanya mega proyek jalan tol Semarang-Demak yang membuat banyak warga pusing tujuh keliling, keputusan untuk memprioritaskan proyek tersebut ketimbang pembangunan tanggul laut pun membuat Thohir tak habis pikir.

Menurutnya tanggul laut merupakan infrastruktur yang sangat penting, terlebih di daerah Pantura-Demak untuk mengatasi banjir rob yang berkepanjangan.

Permasalahan aliran sungai juga menjadi faktor penyebab genangan di Desa Tambakroto. Saat musim hujan aliran sungai dari Mranggen dan Dombo bertemu dan meluap di dekat desa Tambakroto. 

Pemerintah daerah tak mau tinggal diam. Survei sana-sini pun dilakukan dengan mengamati aliran kedua sungai tersebut. 

Segala upaya pun sudah dilakukan oleh Thohir. Mulai dari audiensi dengan pihak kontraktor, surveyor, tim ahli, hingga anggota dewan. Namun, hasilnya tetap nihil. Keterbatasan dana ujung-ujungnya jadi problem yang tak pernah ada habisnya. 

“Padahal punya tim ahli tim teknik tapi untuk keatasnya mereka nggak bisa nembus, ya sama aja”, ujar Thohir. 

Tak jauh berbeda dengan Desa Tambakroto, penduduk Desa Loireng bahkan telah mengajukan beberapa usulan kepada pejabat setempat. Sayangnya, masih belum ada tindakan terkait ganti rugi atau pun solusi atas masalah ini.

“Orang kecil ndak berani menuntut”, pungkas Suranti.

Oleh karena tidak ada nya bantuan dari pemerintah maupun dari badan pembangunan tol, Suranti bersama tetangga di Desa Loireng memutuskan untuk menyelesaikan sendiri masalah yang menimpa mereka. 

Tanah yang semula terendam oleh air laut, diurug secara gotong royong oleh warga sekitar. Selain itu, mereka juga melakukan sistem iuran sebagai upaya saling membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari antarwarga. 

“Ya diurug sendiri, bantuan dari warga, iuran uang”, katanya.

Suranti sebenarnya tidak tahu-menahu mengenai wacana pembangunan jalan tol Semarang-Demak, ataupun ganti rugi yang mestinya diberikan atas efek samping yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan warga Desa Loireng.

“Saya nggak tahu itu (pembangunan jalan tol, red). Ya yang tahu (pembangunan, red) cuma yang di situ, yang punya tanah di situ, dibeli mahal-mahal”.

Skenario terburuk untuk menyelesaikan masalah ini adalah mau tidak mau desa yang berada di utara Pantura terpaksa harus tenggelam sampai tanggul laut jadi.

Akar dari kebuntuan penyelesaian masalah ini adalah metode yang kurang tepat yang digunakan oleh pihak berwenang. Menurut Thohir, pemerintah seharusnya melihat masalah secara mikro atau per-segmen bukan secara makro. 

Mengkaji secara mikro dirasa lebih efektif karena permasalahan desa Tambakroto terbagi menjadi dua, yaitu desa di utara Pantura dan selatan Pantura. 

Kedua segmen ini mempunyai masalah masing-masing. Sehingga terkesan hanya “menambal” yang rusak, sehingga akar masalahnya tidak terselesaikan.

Rencana pemerintah untuk menyediakan pompa air senilai 500 juta untuk satu titik genangan, juga dinilai Thohir sebagai solusi yang belum maksimal. Menurutnya, pemerintah tidak memikirkan biaya operasional.

“Saya berani jamin 90 hari kelar jika para dewan mau mendengarkan suara-suara rakyat yang terdampak air rob dan pompa air yang bernilai 500 juta itu digunakan secara maksimal dengan biaya operasional ditanggung oleh pemerintah”, pungkasnya.

Artikel ini merupakan hasil liputan bersama LPM se-Semarang Raya dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup

 

Reporter: Ilham Wira Yuhda, Albertus Bima Adi, Adelia Putri Utami, Fahrina Alya Purnomo

Penulis: Ilham Wira Yuhda, Albertus Bima Adi

Editor: Fahrina Alya Purnomo

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top