Ilustrasi Nisan, Kemiskinan dan Orasi (Sumber: Canva)
Sastra – Dengarlah bait-bait ini,
Kalau ayahku tiada dan ibuku pergi/ maka kujerang luka untuk menggugat kepelikan hidup/ Seandainya nyawaku dipinjam merpati/ kubiarkan luka dan diri saling kecup/
DUA SETAN GAGAH ITU MENATAPKU DENGAN PENUH CELA dari balik tirai kehidupan. Memamerkan percakapannya dengan Tuhan yang penuh tuntutan dan mala.
“Kau lihat kah anak-anak-Ku yang berada di Kabanjahe? Betapa taat dan pekerja kerasnya mereka.” Tuhan membuka percakapan.
Dua sejoli itu terbahak, “ulurkanlah tangan-Mu sekali saja. Jadikan kami berdua sebagai garda depan yang bertanggung jawab atas kesedihan. Lihat nanti, apakah mereka masih berpihak pada-Mu.”
“Lakukanlah sesuai keinginanmu. Hanya … sayangkan nyawa mereka.”
Mereka menuturkan percakapan sederhana itu padaku di malam ketika Bapak dan Ibu bercerai. Mungkinkah masalah hidup ini sejalan dengan cita-cita iblis setelah mandat berada di pundaknya?
Malam itu, Ibu tertidur dipeluk oleh air mata. Beberapa jam lalu Bapak memutuskan untuk pergi karena tak lagi sanggup hidup dalam pesta kemiskinan. Aku tak tahu apakah cinta mereka sudah habis, atau kesabaran Bapak yang telah tandas. Yang aku tahu, sejak hari itu, aku tak bisa diam dan terus mengejar Ibu dengan pertanyaan, “ke mana Bapak pergi?”
Keesokan harinya setelah Bapak tak lagi di rumah, terdengar bunyi gerupuh warga, menyampaikan kabar duka bahwa Pak Site meninggal dunia. Dia ditemukan tergantung di sebuah pohon tempatku dan kawan-kawan berteduh saat lelah bermain. Sore harinya, warga desa memakaikan kain panjang bercorak batik, begitu megah dan mewah. Tapi apa daya, keistimewaan bisa didapatkan Pak Site setelah nyawanya mengelana entah ke mana.
Harus kuakui, dia begitu takut menghadapi hidup sehingga meninggalkan keluarganya bahkan tanpa pamit. Lebih baik baginya menjadi pecundang atas hidup daripada beradu dengan perkara-perkara yang membuatnya harus membayar utang kepada lintah darat. Kelak aku tahu bahwa lintah darat di tempat kami saat itu sangatlah bengis, setiap warga yang meminjam akan diberkahi dengan uang panas sekaligus tali untuk kapanpun mereka mau mengakhiri hidup.
Kalau Pak Site, memilih meninggalkan dunia ini dan pergi ke kehidupan yang lebih baik, maka Bapak memilih meninggalkan Aku dan Ibu. Penyebab keduanya pergi adalah sama: Bapak yang merasa bahwa kemarau semakin garang dan tak ada lagi yang bisa dimakan, lalu dia memutuskan untuk menyerah. Pak Site yang terjerat utang untuk menuntaskan kerugian panennya justru lari dari lintah darat. Keduanya mendesakku untuk merangkai sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan; mengapa mereka melarikan diri dengan cara yang berbeda? Ke mana perginya Bapak dan Pak Site? Seberapa berat beban yang mereka pikul sehingga memutuskan untuk lebih baik meninggalkan apa yang mereka anggap pantas untuk ditinggalkan.
Dalam kesedihan yang mendalam, Ibu tetap berusaha menyekolahkanku. Biar perut kelaparan tapi selalu Ibu memiliki uang untuk tagihan biaya sekolah. Kelak, ini yang membuatku begitu terpana akan dua hal: kegigihan Ibu, dan tuntutannya agar aku bisa sekolah setinggi mungkin. Suatu hari, di perjalanan sekolah, ada anak-anak kucel berselimut debu kendaraan. Begitu lusuh, mata mereka sayu dan bibir mereka pucat.
“Kenapa mereka, Bu?” Aku bertanya sambil menggoyangkan tangan ibu yang menggenggamku.
“Belum makan.”
“Nanti kita kasih mereka makan, ya, Bu.”
“Pakai apa? Semak belukar? Dua hari ini kamu cuma makan ubi.”
“Mengapa mereka tak makan?” Aku masih cerewet.
“Miskin. Macam kita.”
Saat itu, usiaku baru sepuluh tahun. Belum begitu dewasa, tapi sudah paham konsep kaya dan miskin. Detik setelah ibu melancarkan kalimatnya, ada kesedihan yang mendidih di balik dadaku.
Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan kalimat Ibu. Dua tahun kemudian, santer kabar bahwa Bapak mati terlindas truk. Alasannya sederhana: dia mabuk tinggi dengan pakaian compang-camping. Berteriak minta makan dan tak ada yang meladeni, hanya kepala truk yang menciumnya yang seolah peduli.
Semua terangkai begitu jelas di kepalaku dan terasa sangat dekat juga runtut. Itulah yang akhirnya menjadi bekalku begitu skeptis dengan semua yang hidup suguhkan. Kalau aku tak percaya kemiskinan, sama halnya dengan kekayaan. Aku juga tak percaya pada janji-janji petinggi daerahku yang hendak memberangus kemiskinan karena tetap saja ada anak jalanan bermata perih menahan lapar. Itu terus mengikutiku seperti bredel rantai yang tak ingin lepas dan menjeratku hingga ke bangku kuliah. Begitu sering aku menyatakan ketidaksukaan secara terang-terangan dan mengumbar kegagalan orang-orang di atas sana, yang hanya tahu ongkang-ongkang kaki dan justru membiarkan kemiskinan merajalela.
Terlebih di kampusku ketika dipertemukan dalam sebuah organisasi mahasiswa yang membebaskan kami menulis maka semakin beringas lah aku untuk menyampaikan ketidakpuasanku. Semua kutuntut untuk jadi sempurna. Pantang sedikit regulasi berubah, aku mempertanyakan urgensinya, dampaknya dan siapa yang terlibat di dalamnya. Bersama dosen aku juga sering beradu lidah terkait hal remeh-temeh yang sebetulnya ada jawabannya tapi karena keras kepalaku, kuanggap sebagai satu hal yang tak boleh terjawab begitu saja.
Teman-temanku satu dua mendukung dan memihakku, tidak sedikit juga yang menganggap aku bodoh karena selalu jadi pihak oposisi atas segala sesuatu. Hingga di masa akhir perkuliahan, aku terlibat dalam sebuah organisasi masyarakat yang agendanya tentang membela pihak yang tertindas. Aku blingsatan setiap kali hendak turun ke jalan, menyusun agenda dan membuat tuntutan.
Ada sebuah kampung di dekat kampusku bernama Kampung Keling. Di sana semuanya ada kecuali kebahagiaan dan kecukupan. Mendesak kepentingan mereka pada pemerintah adalah salah satu agenda terdekat. Saat malam di mana kami digebuk oleh diskusi, tinggallah aku berdua dengan karibku.
“Kau memburu sesuatu yang berbau masa lalu. Aksi kritismu adalah tumbalnya,” ujarnya sembari merangkul bahuku.
“Kenapa? Siapa lagi yang mengancam kali ini?”
Pertanyaan itu kuajukan karena tiga bulan terakhir kami jadi buronan yang siap untuk dikarungkan kapanpun aparat mau. Entah siapa pelapor, tetapi satu yang pasti: akulah permulaan segalanya. Lebih tepatnya, tulisanku.
“Biar kuberi tahu noktah hitammu. Semester awal kau menulis terkait ketimpangan kekayaan dosen dan jam mengajarnya. Semester dua kau mengkritik limbah kampus yang mengganggu warga. Semester tiga kau jadi oposisi terkait peraturan tata ruang kota, kukatakan sekali lagi, musuhmu langsung wali kota kita. Semester empat, kau mengkritik kesediaan rektor untuk membuka diri pada mahasiswa, kau tahu sendiri beliau sakit parah. Semester lima kau menggugat birokrasi kampus setiap kali meminjam ini dan itu. Semester enam kau beradu dengan jutaan warga Medan terkait siapa yang akan jadi gubernur. Jadi, kau masih bertanya siapa yang mengancam?” Wajah temanku tampak sangat serius. Tidak kuberi jawab apapun setelah dia membeberkan dosa-dosaku. Pergi lalu sunyi.
Aku kehilangan arah, sampai pada akhirnya rasa putus asa itu membawaku berlabuh ke makam Bapak. Untuk kedua kalinya setelah waktu menuntunku dewasa. Kupandang semut merah yang berhilir mudik menciumi nisan bapak. Tiba-tiba muncul seseorang dari seberang makam dan berusaha mendekatiku untuk duduk berhadapan denganku.
“Apa kabar, Rudang?” Tanyanya hampir tak terdengar karena berlomba dengan deru angin sore.
“Bagaimana hidup tanpa bapak? Ada yang berubah?”
Hujan! Pipiku hujan deras.
“Lanangku tak akan jadi garang kalau bukan karena kehidupan, kan?” Dia berpindah tempat, di sebelahku, “ada hal-hal yang membentukmu untuk jadi gila. Tapi tak berarti kau boleh menggerus semua hal hanya karena luka.”
Aku ingin menjawabnya, karena aku kenal betul wajah itu.
“Dari surga aku disibukkan dengan aksi kritismu. Nak, membumilah. Kritikmu adalah bukti kau krisis identitas.”
Burung gereja berpulang.
“Bapak tak pernah pergi. Kau yang merasa dihakimi dengan kematianku. Jangan jahat pada apapun dan siapapun. Hidup ini bukan persidangan siapa salah atau benar.”
Tiba-tiba rinduku berlomba dengan air mata.
“Jangan jadikan kematianku sebagai propagandamu dengan segala yang matamu lihat. Jangan berontak dengan alasan melangit. Kau hidup di dunia, bila membela, berusahalah rasional dengan alasan paling baik. Anakku tak akan jadi kejam hanya dengan kata-kata, kan?”
Sesaat kemudian, dia menghilang begitu saja. Menguap dibawa langit sisa senja. Aku sudah bersimbah air mata. Kerah bajuku basah. Bapak … adakah kau harumi tulisanku yang menuntut keadilan itu? Tapi katamu aku harus rasional dalam memberi kritik dan jangan jadi propagandis atas sesuatu yang bukan bagian dari diriku. Di mana letakku di antara banyak hal yang kutuntut?
Tidak cukup hanya bapak yang jadi begitu peduli denganku, padahal lama dia telah berpulang, adalah seorang yang sangat kuhormati di organisasi kami, kupanggil dia penyair karena matanya adalah kamus bagiku.
“Apa sebetulnya yang kau gugat dalam tulisanmu? Mengapa kau menguarkan bau tubuh binatang dalam jiwa agar semua orang tahu bahwa kau merdeka?” tanyanya dengan tatapan seorang ayah. Tatapan yang sendu dan kurindu.
“Mengkritik juga harus menggunakan nurani. Jangan sampai kau menabrak palang etika.”
Masih tak kujawab. Bukan karena aku menentang, tapi tatapan tajam itu sudah memutilasiku lebih dulu.
“Kau selalu berseberangan dengan aturan, karena sangkamu si pembuat akan menjeratmu ke sebuah kelam kembali.” Anak panah pertama.
“Aku senang ketika kau mengkritik semua hal yang ditangkap matamu. Tapi jangan lupa, mengkritik juga harus membumikan diri.” Anak panah kedua lebih dalam.
“Silakan kritik apapun yang menurutmu harus rasional. Hidup manusia adalah berpikir. Satu pesanku, jangan sampai kau lupa bahwa tak semua regulasi adalah musuh. Sesekali coba masuki arena permainan yang selama ini kau tentang. Barangkali kau akan paham bahwa kehidupan ini lebih dari sekadar kau jadi pembangkang. Rasionalitas itu manis.”
Aku tak punya kata-kata. Semua sudah dihisap oleh raut wajah kebapakan miliknya dan aku keluar dengan sempoyongan. Bapak, ada sesuatu yang terasa begitu ngilu di relung hatiku. Memijat-mijat nadi dan membuatku mendadak rindu padamu. Sayup-sayup bait sajak lanjutan kudengar merdu dan mengiris hati.
Setelah kematian, tak ada lagi kemesraan/ sia-sia selesai bersetubuh dengan perkara/
Memburu nama/ menjemput gagal/ menyita kewarasan/
Kau bangun lagi … padahal selalu ingin mati
Penulis: Mitchell Naftaly
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah


