
Poster Film Ngeri-Ngeri Sedap (Sumber: Media Indonesia)
Film – Film berhasil menjadi seni yang menggetarkan banyak insan. Mulai dari aksi kritik, hingga pentas megah yang menunjukkan mewahnya plot dan gagahnya karakter adalah bukti dari kebebasan dunia perfilman nusantara saat ini.
Salah satu film yang berhasil menggamit isu sensitif di tengah masyarakat adalah film besutan Bene Dion Radjagukguk, bertajuk Ngeri-Ngeri Sedap. Film yang berasal dari keresahan sang sutradara ini beraroma budaya Batak yang kental dan mengangkat isu yang sebelumnya jarang dibingkai.
Cerita dimulai dengan menyorot keresahan seorang ibu yang merindukan anak-anaknya yang tinggal di perantauan dan belum pernah kembali. Tika Panggabean sebagai Mak Domu menunjukkan sisi ibu sebagaimana adanya di tengah-tengah masyarakat. Lembut, pengertian, sabar, dan selalu menyuruh sang anak pulang apabila buah hatinya mulai lupa diri karena dunia perantauan yang begitu memesona.
Kesederhanaan yang ditunjukkan oleh sutradara dalam pembukaan film ini seolah membuat penonton terbuai dan sependapat dengan Mak Domu, bahwa suatu keharusan bagi seorang anak untuk pulang karena rindu tak bisa diselesaikan hanya melalui bayang-bayang foto.
Tidak lama setelah aksi bujuk oleh Mak Domu yang ternyata ditolak oleh anak-anaknya, muncullah ide yang meledak-ledak dari suaminya, Pak Domu (Arswendy). Pada satu sisi, Mak Domu tidak dapat mengendalikan kesibukan anaknya, dia hanya bisa setengah mati merindu. Sementara di sisi lain, bapak meletak ide yang brilian, tetapi menjebak.
Pada mulanya, Mak Domu tidak setuju dengan ide Pak Domu untuk berpura-pura bercerai agar anak mereka setuju untuk pulang. Bagi Mak Domu, rindu dan kebohongan berada di tempat yang berbeda dan dia memihak yang pertama.
Di sinilah awal mula kemunculan kekuatan Pak Domu. Bapak yang mampu mengendalikan segala sesuatu dan berlakon seperti manusia yang lihai menggunakan logika pikirnya. Pak Domu menyisipkan ancaman yang sejalan dengan keinginan hati Mak Domu sehingga membuat istrinya begitu saja setuju dan mengikutinya.
Sebenarnya, ini tidak serta-merta terjadi. Karena pertama, bapak adalah kunci dari segala ‘gerakan’ dalam sebuah keluarga patriarki. Kedua, bapak turut dimenangkan karena egonya yang menjelma bak bayi yang ditimang-timang apabila bersaing dengan pribadi yang ‘berbeda’ dengannya. Ketiga, dalam adat Batak, seorang istri harus hormat pada mertua dan suami.
Mulanya, semua berjalan sesuai dengan rencana. Namun, tidak ada bangkai yang tidak akan tercium. Domu sebagai anak sulung yang tinggal di Bandung, Gabe si anak tengah lulusan hukum tetapi berprofesi sebagai pelawak, dan Sahat anak terakhir yang setelah lulus justru tinggal di tempatnya KKN, akhirnya mengetahui skenario kedua orang tuanya.
Rasa terpukul ketiganya diimbuhi dengan keheranan pada adik perempuan mereka, Sarma yang diperankan oleh Ghita Bhebita, ternyata ikut serta dalam skenario tersebut.
Belum mencapai puncaknya, ternyata semua skenario epik itu adalah buatan Pak Domu. Karena terlampau sering dituruti egonya, akhirnya Pak Domu sering bertindak semena-mena.
Mak Domu dan Sarma selalu mematuhi semua perkataan Bapak, meskipun terkadang bertentangan dengan hati mereka. Bahkan, Sarma harus mengalah kepada adik dan abangnya untuk tetap tinggal di rumah dan menjaga kedua orangtuanya.
Akan tetapi, ketika semua terkuak, ada yang disebut sebagai ‘pihak yang dicari untuk disalahkan’. Mak Domu merasa tak punya pilihan selain menurut mengambil peran tersebut. Ia sering pula tidak dilibatkan dalam keputusan penting seolah keberadaannya hanyalah sebagai figuran.
Problematika tersebut tidak ditunjukkan secara terang-terangan, tetapi cukup dijelaskan dengan tajam bahwa terdapat unsur ketimpangan di sana. Hal inilah yang menciptakan relasi kuat antara alur cerita dengan dua juta penonton yang pada hari ke-64 telah disiram oleh budaya Batak melalui Film Ngeri-Ngeri Sedap.
Dewasa ini, persoalan patriarki digembleng oleh berbagai media agar dilantangkan dengan nyaring. Oleh karena itu, kehadiran film ini sebagai manifestasi dari isu rentan tersebut yang bagi sebagian orang masih samar-samar.
Film yang berhasil memborong tujuh penghargaan ini memberikan sebuah pemahaman yang bersinggungan dengan patriarki itu sendiri. Perempuan bukanlah kaum yang mengalah karena lemah, melainkan petarung yang sebenarnya lebih banyak diam sembari merancang strategi untuk bisa bergerak lebih kuat, cepat, dan tepat.
Terlepas dari stigma yang digelantungi oleh sekitar, perempuan adalah makhluk yang mampu meneropong situasi hingga begitu detail dan membuat sepak terjang yang mampu membolak-balik keadaan. Persis seperti keputusan Mak Domu yang akhirnya berhasil membuka pikiran suaminya agar mencoba untuk mengalah dan meminta maaf pada anak-anaknya.
Dalam dunia perfilman, Ngeri-Ngeri Sedap memberikan warna baru. Namun, tidak berarti tanpa kekurangan. Mereka yang bukan berasal dari Batak kental akan menanggapi substansi dari film secara parsial. Sedangkan mereka yang berdampingan dengan budaya Batak, lahir dan besar di tanah Batak, merasa bahwa kekurangan film ini jelas terletak pada pemakaian logat yang kurang tepat. Contohnya pemakaian kata ‘kalian’ dalam film, yang dalam budaya Batak seharusnya lebih menyentak dengan ‘kelen’.
Film Ngeri-Ngeri Sedap wajib masuk ke dalam list tontonan setiap orang. Film ini terbukti mampu memberikan tawa sekaligus air mata, mengajarkan cara untuk menghormati seluruh anggota keluarga, serta belajar untuk mengalah dan meruntuhkan ego pribadi. Selamat menonton!
Penulis: Naftaly Mitchell
Editor: Ayu Nisa’Usholihah, Hesti Dwi Arini



