Sampul depan dan belakang buku Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas karya Ignatius Aditya Adhiyatmaka, diterbitkan oleh Binatang Press!. (Sumber: binatangpress.com)
Buku – “Jangan campuradukkan kesenian dengan urusan politik!” demikianlah kira-kira komentar yang pernah saya baca tentang parodi atas lagu “Gala Bunga Matahari” yang ditulis dan dinyanyikan oleh Sal Priadi. Lagu yang viral pada tahun 2024 bersamaan dengan ramainya tagar #KawalPutusanMK ini diparodikan menjadi “Gala Bunga Oligarki”. Jui Purwoto (vokalis) dan Dhany Nugroho (gitaris) menulis dalam takarir akun Instagram mereka (@juipurwoto dan @dhany_nug) bahwa parodi lagu tersebut adalah usaha untuk turut memeriahkan suasana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Parodi lagu itu pun ramai dan mendapatkan berbagai tanggapan, salah satunya komentar di atas. Bertolak dari komentar itu, muncul sebuah pertanyaan: apakah kesenian sudah bercampur dengan politik? Lebih jauh lagi, dapatkah kesenian dan politik dipisahkan? Masyarakat umum boleh menjawab “ya”, tetapi sejarah menyatakan dengan tegas “tidak” atas pertanyaan tersebut.
Kesenian senantiasa berjalan beriringan dengan politik, berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, dan kerap kali saling memanfaatkan demi kepentingan sebuah golongan. Kondisi semacam ini sudah lama terjadi di Indonesia sehingga kesenian Indonesia, mulai dari proses penciptaan sampai penyebaran dan konsumsinya dalam masyarakat, menjadi produk kebudayaan yang sangat politis. Sejarah sastra Indonesia modern, misalnya, dipenuhi dengan pertikaian politis-ideologis sejak awal kemunculannya, bahkan pertikaian tersebut cenderung hegemonik. Karya sastra Bacaan Liar tidak lebih menonjol dibandingkan karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an, serta ideologi realisme sosialis (dianut seniman-seniman Lekra) yang bertarung dengan ideologi humanisme universal (dianut para penanda tangan Manifes Kebudayaan) pada akhirnya “dibumihanguskan” setelah peristiwa 30 September 1965 adalah dua contoh dari banyak contoh lain.
Dalam ranah musik populer Indonesia, buku Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas yang ditulis Ignatius Aditya Adhiyatmaka dan diterbitkan Binatang Press! merekam sejarah musik populer Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga tahun 1969 yang sudah sangat erat hubungannya dengan politik pada masa itu. Misalnya, pada masa kolonialisme, musik keroncong identik dengan lagu bertemakan perjuangan dan kemerdekaan Indonesia karena digunakan untuk menyebarkan gagasan nasionalisme dan melawan kolonialisme. Tujuan itu membuat pemerintah kolonial Belanda menyita dan melarang peredaran musik keroncong (baca bab “Ketika Keroncong Menjadi Bahan Bakar Semangat Revolusi”). Pada masa pemerintahan Jepang pun, musik keroncong yang rancak (cepat dan bersemangat) dilarang karena dianggap mengandung unsur Barat dan membangkitkan semangat pemuda sehingga menimbulkan pemberontakan (Sari, 2015:142).
Buku ini pada dasarnya terdiri atas tiga bagian yang dibagi berdasarkan periode pemerintahan politik di Indonesia. Bagian pertama (“Pra-1960-an”) yang terdiri atas lima bab berisi tentang awal mula kemunculan musik populer Indonesia; peran musik populer selama masa kolonialisme, revolusi Indonesia, dan Era Demokrasi Parlementer; serta diva andalan label rekaman zaman dahulu yang kemudian dirangkum dalam linimasa musik populer Indonesia dari tahun 1903 sampai 1959. Tahun 1959 dipilih sebagai tahun yang membatasi pembahasan pada bagian pertama. Sebab, pada 17 Agustus 1959, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sukarno menyampaikan pidato berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang menjadi dasar Manifesto Politik (Manipol)/Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia (USDEK) untuk menanggapi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu. Salah satu masalahnya adalah kaum muda Indonesia pada masa itu lebih suka gaya kebarat-baratan, termasuk selera musik mereka.
Kita sendiri tahu bahwa Sukarno adalah seorang anti-imperialis. Menurut Sukarno, musik Barat seperti “The Beatles” adalah bentuk baru imperialisme kebudayaan. Ia mencemooh musik-musik Barat semacam itu sebagai “ngak-ngik-ngok”. Konsekuensinya, musik-musik Barat seperti rock n’ roll dan jaz dilarang pemutarannya. Musik ala Amerika Latin seperti cha-cha-cha, mumba, dan rambo juga dilarang. Bahkan, gaya rambut ala The Beatles dan sasak juga jadi sasaran (Setiawan, 2022).
Transisi sistem politik dari Demokrasi Parlementer (1945–1959) ke Demokrasi Terpimpin (1959–1965), yang ditandai lewat pidato kenegaraan Sukarno itu, digunakan dalam pembagian buku ini. Pada bagian “1960–1965”, muncul berbagai peraturan yang mengatur perkembangan musik populer Indonesia. Sebagai contoh, musisi-musisi yang mengandung nama Barat diminta untuk menggantinya dengan unsur-unsur keindonesiaan, antara lain Jack Lemmers menjadi Jack Lesmana serta Benny Mus van Diest menjadi Benny Mustafa. Selain itu, Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai satu-satunya radio milik negara turut memainkan peran penting dalam menjaga moral bangsa Indonesia. Sukarno tampaknya paham betul bahwa media massa berpengaruh luas untuk menyebarkan pengetahuan sesuai keinginannya sebagai penguasa.
Yang terjadi selanjutnya adalah penyesuaian gaya bermusik para musisi dengan peraturan Manipol/USDEK tersebut sehingga mereka tidak diintervensi pemerintah Orde Lama. Salah satu bentuk penyesuaian tersebut ialah pencampuran unsur musik dari luar negeri dengan musik tradisional di Indonesia. Melalui hibrida tersebut, musik populer Indonesia era 1960-an yang berusaha tidak diintervensi pemerintah justru mulai menemukan gaya tersendiri. Tegangan antara konvensi (tradisionalitas) dengan inovasi (modernitas), sebuah konsep dasar dalam sastra, tampaknya juga diterapkan dalam musik populer Indonesia. Coba dengarkan lagu “Gambang Suling/Suwe Ora Jamu” hasil interpretasi Nick Mamahit atau lagu “Bengawan Solo” yang diinterpretasi Oslan Husein. Bagaimana kesan kalian?
Keadaan di atas berbanding terbalik dengan keadaan pada awal masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Bagian ketiga dalam buku ini (“1965–1969”) menjelaskan bahwa langkah depolitisasi (pelarangan terhadap kegiatan politik di luar pemerintahan) yang dilakukan Orde Baru mengubah arah pandang masyarakat yang awalnya cenderung ke ranah politik berubah ke ranah ekonomis. Kalangan anak muda pun dituntut untuk tidak aktif berpolitik, tetapi mengikuti perkembangan mode di luar negeri, khususnya Barat, termasuk selera musik mereka yang awalnya dilarang pada masa Orde Lama.
Transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, yang turut mengubah berbagai peraturan dan larangan dalam ranah musik populer, tentunya membingungkan masyarakat karena tidak ada pemberitahuan resmi yang jelas. Oleh sebab itulah—ini menariknya— pemerintah Orde Baru melakukan sosialisasi tentang sikap pemerintah terhadap musik populer melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melalui Badan Koordinator Seni (BKS Kostrad), ABRI—selain menjadi pihak pertama yang merangkul para pelaku musik populer Indonesia—juga menjadi agen kebudayaan yang sering mengadakan pertunjukan musik populer bertajuk Panggung Prajurit yang mengundang musisi nasional dan internasional. Panggung Prajurit hadir supaya tercipta kesatuan paham antara ABRI dengan masyarakat dalam operasi penumpasan orang atau organisasi yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Pertunjukan Panggung Prajurit jelas menguntungkan para pelaku musik populer Indonesia karena mereka menemukan nuansa kebebasan berekspresi yang ditahan selama masa pemerintahan Orde Lama. Tanpa mereka ketahui, ada legitimasi kekerasan yang dilakukan ABRI terhadap orang atau organisasi yang dicurigai terafiliasi PKI. Pada kesempatan selanjutnya, ABRI turut mengundang band internasional seperti “The Blue Diamonds” ke Indonesia untuk memerangi komunisme secara terselubung. Selain itu, ABRI bekerja sama dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan RRI untuk menyebarkan program hiburan musik seperti Kamera Ria (di TVRI) dan Panggung Prajurit (di RRI). Dengan begitu, seakan memiliki tugas lain, ABRI pun merasa memiliki tanggung jawab di wilayah kesenian.
Apa yang dilakukan ABRI pada masa pemerintahan Orde Baru terasa sangat relevan jika kita hubungkan dengan kondisi politik Indonesia pada masa sekarang, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Nyatanya, sejak masa Orde Baru, ABRI tidak hanya memegang kekuatan pertahanan negara, tetapi juga bertugas sebagai pengatur negara sebagaimana tugas masyarakat sipil. Dalam konteks ini, ABRI pada masa Orde Baru turut masuk ke wilayah kesenian, khususnya musik populer, untuk melegitimasi kekerasan terhadap orang-orang yang dicurigai anggota PKI. Memang, pada masa kemunculan Panggung Prajurit tersebut, secara hukum belum ada istilah “dwifungsi ABRI” karena baru dilegalkan oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1982. Akan tetapi, dwifungsi ABRI pada hakikatnya sudah diterapkan sejak awal pemerintahan Orde Baru—sebagaimana tergambar pada penjelasan di atas.
Judul tulisan ini diambil dari salah satu judul bab di bagian kedua dalam buku ini. “Dibimbing” berarti “diatur”, maka sejatinya musik populer kita sudah diatur negara dari awal kemunculannya sampai sekarang.
Mungkin, pada masa sekarang, tidak ada lagi pertunjukan musik populer yang diselenggarakan Tentara Republik Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) semacam Panggung Prajurit. Mungkin juga, tidak ada band-band plat merah yang pernah ada pada masa Orde Baru, seperti “The Pro’s” dari Pertamina, “Electrica” dari Perusahaan Listrik Nasional (PLN), “The Brims” dari Korps Brigade Mobil (Brimob), atau “D’Lloyd” dari Djakarta Lloyd. Namun, upaya pembungkaman karya seni yang dilakukan institusi kepolisian—seperti intimidasi polisi kepada band Sukatani karena lagu “Bayar, Bayar, Bayar”—ditambah dengan pengesahan Undang-Undang Tentara Republik Indonesia (UU TNI) menandakan adanya upaya mengatur karya seni sesuai keinginan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah hendak memisahkan karya seni atau kesenian dengan politik seperti yang berhasil dicapai Soeharto pada masa pemerintahannya.
Jadi, siapkah kita “dibimbing” negara untuk sekian kalinya? Siapkah kesenian kita dimanfaatkan negara yang katanya demi rakyat, padahal demi kepentingannya sendiri? Jika tidak siap dan tidak mau: teruslah berjuang dan teruslah melawan. Demi kesenian yang bebas dan kebebasan itu sendiri.
Penulis: William Bradley Christianto
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah
Referensi:
Adhiyatmaka, Ignatius Aditya. 2021. Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas: Perjalanan Musik Pop Indonesia 1960–1969. Jakarta: Binatang Press!
Sari, Dani Ratna. 2015. “Perkembangan Musik Keroncong di Surakarta Tahun 1960–1990”. Jurnal Avatara, 3(2), hlm. 139–152. Diterbitkan pada 28 Mei 2015, diakses pada 21 April 2025 melalui ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/11654.
Setiawan, Andri. 2022. “Razia Rambut The Beatles dan Sasak”. www.historia.id. Dimuat pada 27 Juni 2022, diakses pada 24 April 2025 melalui https://historia.id/kultur/articles/razia-rambut-the-beatles-dan-sasak-6lg51/page/1.