Ironi ketimpangan di negeri ini ketika orang kelas atas tak biasa menyantap kudapan harian petani. (Sumber: Mojok.co)
Sastra – Malam ini aku memakan kudapan yang disediakan oleh Ibuku dengan sepenuh hati. Singkong rebus hasil Bapak berladang siang tadi kugigit dengan hati-hati karena suhunya yang masih panas baru keluar dari perebusan.
Di luar sana terdengar Bapak sedang menelepon seseorang menggunakan handphone bututnya yang ia dapatkan dari lungsuran tetangga karena Bapak sering membantu di ladang mereka.
“Kakak terancam ndak bisa lanjut kuliah, Buk,” ucap Bapak menghampiri kami yang sedang bersantai di ruang tamu merangkap ruang tengah itu.
Ibuk tampak kaget, “Lho, kok bisa, Pak? Bukannya Kakak sudah dapat beasiswa dari pemerintah sampai lulus nanti?”
Bapak dengan wajahnya yang sedikit kusut mencoba memberikan pengertian pada Ibuk.
“Barusan Kakak telepon, katanya akan ada pemangkasan anggaran dari pemerintah untuk efisiensi, Buk, buat utang negara sama program makan gratis seperti di sekolah Adek,” tukas Bapak.
Aku tertegun mendengarnya. Bagaimana bisa pemerintah melakukan efisiensi dengan memotong anggaran pendidikan? Sebagai siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang juga menginginkan pendidikan tinggi, hati kecilku jelas menolak hal tersebut. Keluargaku bukan dari kalangan konglomerat. Untuk sehari-hari saja kami pontang-panting, apalagi untuk sekolah ke pendidikan tinggi. Kami hanya bisa mengandalkan beasiswa.
Aku masih ingat tiga tahun lalu saat kakakku masih berada di rumah. Ia belajar dengan tekun karena mempunyai banyak cita-cita; salah satunya menjadi sarjana dan menaikkan derajat keluarga. Saat itu kuingat kami sekeluarga–Ibu, Bapak, Aku, Kakak–bersorak setelah mengetahui Kakak berhasil lolos seleksi dan mendapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Saat itu kami bangga karena impian untuk menjadi sukses akan segera terangkai.
Namun, lain halnya dengan hari ini. Saat kakak tengah menjalani perkuliahannya, saat semua impian kami hampir berada di titik temu menuju kenyataan, pemerintah mulai mengoyak-ngoyak kami dengan segala keputusan sepihaknya. Efek efisiensi katanya? Lantas bagaimana dengan kami si kaum marjinal yang tak pernah tersentuh ataupun menyentuh ‘mereka’ kaum priyayi?
Bahkan ini bukan satu-satunya kebijakan yang nyeleneh dari mereka. Tiga hari lalu, Nek Idah, tetanggaku, seorang nenek tua yang tinggal sendiri harus kehilangan nyawanya karena mengantre gas elpiji yang disembunyikan mereka.
Efisiensi katanya? Apa yang mereka efisiensikan? Siapa yang ingin mereka sejahterakan? Rakyat kecil atau orang-orang penggila kekuasaan di Istana Negara sana?
Hari demi hari kurasa semakin tersayat oleh pemerintahan sendiri. Bahkan mereka mengoar-ngoarkan untuk segera membayar pajak disaat infrastruktur yang kami terima tak ada yang berubah. Apa benar kami banting tulang hanya untuk memperkaya orang kaya?
Mendengar percakapan Ibu dan Bapak tentang Kakak dan perkuliahannya membuatku tak bisa tidur. Carut marutnya negara ini sungguh menyiksaku, menyiksa keluargaku, dan menyiksa kaum menengah ke bawah yang mayoritas ada di Indonesia.
Kalau boleh aku berharap, aku hanya ingin pemerintah memberikan belas kasihan dan memakai logika sehat dalam memberikan segala keputusan untuk kami. Bisakah mereka berhenti untuk menyiksa kami–yang sebenarnya sudah tersiksa dengan menjadi miskin?
Apakah harapan sederhana itu tak pernah dapat terealisasikan karena kami hidup di negara yang tak punya telinga untuk mendengar rintihan rakyatnya? Ataukah mereka sengaja menutup telinga dan memilih menari di atas penderitaan kami semua?
Penulis: Nurjannah
Editor: Nuzulul Magfiroh