Peristiwa – Senat Mahasiswa (SM) Universitas Diponegoro (Undip) menyelenggarakan Musyawarah Mahasiswa (Muswa) 2025 selama empat hari, yakni Sabtu (13/9), Minggu (14/9), Sabtu (20/9), dan Minggu (21/9). Muswa sebagai forum tertinggi mahasiswa di Undip dalam lingkup student government bertujuan untuk membahas konstitusi dan masalah-masalah urgent kemahasiswaan. Dalam Muswa tahun ini dibahas mengenai rancangan Peraturan Pokok Organisasi (PPO) 2025 sekaligus menyoroti wacana usulan pembentukan Mahkamah Mahasiswa (MM) dan Badan Audit Kemahasiswaan (BAK).
Muswa pertama digelar pada Sabtu (13/9) di Ruang Sidang Biro Administrasi Akademik (BAA) Lantai 2 Gedung Senat Akademik-Majelis Wali Amanat (SA-MWA) dengan agenda pembahasan Tata Tertib dan Rancangan PPO. Pembahasan Rancangan PPO berlanjut Minggu (14/9) di tempat yang sama. Pada Sabtu (20/9) forum berpindah ke Ruang H304 Gedung H Fakultas Hukum (FH) Undip untuk melanjutkan pembahasan, lalu ditutup pada Minggu (21/9) dengan pembahasan lanjutan PPO serta wacana pembentukan MM dan BAK.
Berbeda dengan Muswa 2024 yang gagal karena tak pernah memenuhi kuota forum (kuorum), Muswa tahun ini berhasil membuat para delegasi hadir dalam forum. Hal ini tentu saja tidak lepas dari upaya dan evaluasi yang telah dilakukan oleh SM Undip.
“Ada beberapa upaya yang kami sudah lakukan dan kami evaluasi dari tahun lalu: kami terjun dan turun langsung ke teman-teman organisasi kemahasiswaan (ormawa) secara langsung di fakultas… di awal tahun kami melakukan sowan kepada teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),” ujar Zahra Aurellia atau akrab disapa Ara selaku Ketua SM Undip 2025.
Ia menambahkan bahwa jumlah UKM kini bertambah menjadi 49 dan kunjungan tatap muka itu dimaksudkan untuk membangun awareness menjelang Muswa. Namun, Ara mengakui proses yang mereka lakukan belum sempurna, “Kami mengupayakan di awal tahun itu untuk kita sowan satu-satu… cuman memang sayangnya kami belum sempat menuntaskan seluruh sowan tersebut.” Selain sowan, SM Undip juga menggelar roadshow ke setiap fakultas dan sekolah vokasi serta mempublikasikan draf dan kajian pembahasan Muswa di media sosial agar peserta lebih siap saat forum berlangsung.
Salah satu peserta forum Muswa yang tidak ingin disebutkan namanya mengapresiasi atas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh SM Undip di tahun ini, “Mereka secara bertahap meskipun belum sempurna hari ini sudah mau untuk membuka komunikasi. Memang itu sesuatu yang cukup progresif karena diakui tahun lalu tidak ada.”
Namun peserta tersebut menyoroti kelemahan pelaksanaan, di mana pemetaan roadshow dinilai belum terarah sehingga fokus hanya ke fakultas—UKM dan lembaga lain seringkali terlewat. “UKM akhirnya tidak begitu terlibat karena memang tidak pernah diputerin juga oleh senat,” tambahnya.
Di balik keberhasilan Muswa Undip 2025 yang mencapai kuorum, ada satu topik yang mencuri perhatian peserta forum: wacana pembentukan MM dan BAK. Kedua usulan ini kembali diangkat SM Undip dengan alasan kuat dari tiga aspek: teoritis, yuridis, dan sosiologis.
Menurut SM Undip, secara teoritis dan yuridis keberadaan MM sebenarnya sudah punya pijakan. Dalam PPO sebelumnya, MM sudah tercantum di ketentuan umum, meski hanya sebatas definisi tanpa realisasi kelembagaan.
“Ini janggal. Kalau memang tidak disepakati, seharusnya dari awal tidak dicantumkan di ketentuan umum. Karena sudah ada, maka jadi tanggung jawab kita untuk menuntaskan pembahasannya. Apakah akhirnya disepakati atau tidak, itu yang harus jelas,” ungkap Ara.
Secara sosiologis, sejumlah kasus menunjukkan kebutuhan akan lembaga yudikatif mahasiswa. Salah satunya adalah kasus Orientasi Diponegoro Muda (ODM) 2023. Karena MM belum ada, hasil investigasi akhirnya diserahkan ke rektorat, bukan ke lembaga internal mahasiswa. Begitu pula pada Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2024, sengketa hasil pemira ditangani oleh Tim Yudisial (TY) ad hoc yang dibentuk dalam waktu singkat. Hakim-hakimnya dipilih perwakilan fakultas tanpa standar kualifikasi tertentu.
“Hal ini rawan jadi politis, karena siapa pun bisa ditunjuk tanpa punya bekal pengetahuan tentang yudikatif,” jelas Ara
Dengan adanya MM permanen, pemilihan hakim bisa dilakukan lebih selektif dan berbasis standar. Misalnya, hakim mahasiswa wajib sudah menempuh mata kuliah Hukum Acara. Dengan begitu, fungsi penyelesaian sengketa bisa lebih berjangka panjang, profesional, dan tidak lagi sekadar ad hoc.
Selain MM, SM Undip juga mendorong lahirnya BAK. Wacana ini relatif baru, muncul sejak tahun lalu, dan berangkat dari persoalan tata kelola administratif serta keuangan organisasi mahasiswa yang dinilai masih berantakan.
“Setiap tahun mekanisme bisa berubah-ubah, tidak ada standar yang pakem. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), UKM, bahkan Senat sendiri merasakan langsung dampaknya,” kata narasumber.
Fungsi BAK, lanjutnya, tidak hanya sebatas mengaudit ketika ada dugaan penyelewengan anggaran. Lebih dari itu, hasil audit bisa dijadikan rekomendasi untuk perbaikan tata kelola ke depan.
Meski SM Undip menegaskan urgensi pembentukan MM dan BAK, wacana tersebut justru menjadi perdebatan paling panas dalam Muswa tahun ini. Sejumlah ormawa menyampaikan penolakan dengan argumen yang beragam. Salah satunya adalah Imam Morezki Bastanta Manihuruk selaku Ketua BEM FH 2025.
Imam menggarisbawahi bahwa keberadaan MM dinilai belum mampu menjawab kebutuhan nyata di lingkungan mahasiswa. Menurutnya, perbedaan putusan antara lembaga mahasiswa dengan kebijakan rektorat berpotensi menimbulkan dualisme, sebagaimana yang sempat terjadi di kampus lain. Ia juga menilai fungsi MM terlalu terfokus pada sengketa pemira, sementara konflik antar-ormawa maupun wanprestasi antarlembaga mahasiswa yang lebih mendesak justru tidak terjawab. Lebih jauh, Imam menilai argumentasi trias politica yang kerap digunakan sebagai pembenaran pendirian MM belum cukup kuat.
“Dalam konsep trias politica itu kita tidak melihat ada tangan-tangan Tuhan,” ujar Imam. Yang ia maksud dengan “tangan-tangan Tuhan” adalah posisi rektor dan dekanat yang tetap memiliki kuasa penuh atas ormawa. Menurutnya, keberadaan otoritas tersebut membuat MM sulit benar-benar berdiri independen. Selain itu, Imam menilai apabila setelah dibentuk MM hanya difokuskan pada penyelesaian sengketa Pemira, maka keberadaannya menjadi tidak relevan. Sebab, mekanisme penyelesaian sengketa Pemira sebenarnya sudah ada.
Tidak hanya MM, BEM FH juga menolak pembentukan BAK. Ada dua alasan utama yang dikemukakan. Pertama, keberadaan BAK dianggap tumpang tindih dengan Satuan Pengendali Internal (SPI) yang sudah lebih dulu berwenang melakukan audit. Kedua, sistem laporan BAK dinilai belum memenuhi prinsip transparansi. Versi audit yang diterima mahasiswa berbeda dengan versi rigid yang hanya diserahkan ke lembaga tertentu, sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan akuntabilitas dana mahasiswa. BEM FH menegaskan bahwa mahasiswa sebagai pembayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) berhak mengetahui laporan audit secara penuh.
Sementara itu, perspektif penolakan lain datang dari salah satu peserta delegasi yang tidak ingin disebutkan namanya. Menurutnya, perdebatan mengenai MM tidak bisa semata-mata berhenti pada aspek teoritis seperti trias politica. Ia menilai wacana tersebut harus dilihat dari aspek teknis, kesiapan substansi, hingga rekam jejak penyelenggaraan pemira selama ini. Dalam pandangannya, SM Undip sebagai pengusul belum menunjukkan kesiapan teknis maupun konsep yang matang untuk menjamin independensi MM.
Ia juga menyinggung masalah track record pemira yang masih dipenuhi persoalan afiliasi dan keberpihakan. Ia menilai, sebelum terburu-buru membentuk lembaga baru, masalah mendasar pada elemen-elemen penyelenggara pemira seperti Komisi Penyelenggara Pemilihan Raya (KPPR), Badan Penyelenggara Pemilihan Raya (BPPR), dan TY perlu terlebih dahulu dibenahi. Jika perangkat yang sudah ada saja masih menghadapi permasalahan serius, maka pembentukan MM dikhawatirkan hanya menambah kompleksitas.
Selain itu, ia menyoroti keterbatasan sumber daya manusia. Menurutnya, perekrutan panitia pemira saja kerap kelabakan, apalagi jika harus menambah satu lembaga baru. Karena itu, ia menegaskan bahwa urgensi pembentukan MM belum terjawab secara konkret.
Rafi Ridha Tockary selaku Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) 2025 juga menolak pembentukan MM, tetapi ia sangat menyayangkan sikap penolakan teman-teman forum terhadap pembentukan BAK.
“Kalau untuk BAK, aku sampaikan secara lantang di forum bahwa aku sangat menyayangkan penolakannya. Setiap hari mahasiswa Undip menuntut transparansi keuangan, baik di BEM Undip maupun di ormawa. Tapi ironisnya, ketika ada satu badan yang bisa menginvestigasi hal tersebut, justru ditolak hanya karena beberapa alasan,” ujar Tockary.
Ia menilai terdapat dua alasan utama penolakan BAK. Pertama, kebodohan atau ketidakpahaman orang-orang yang melakukan voting. Kedua, ketakutan. Ketakutan untuk melampirkan pertanggungjawaban, ketakutan untuk diinvestigasi keuangannya, dan ketakutan untuk belajar menyesuaikan diri. Padahal, kalau tidak paham, mestinya bertanya, bukan menolak.
Menurut Tockary, keberadaan BAK sangat penting untuk membersihkan dan memperbaiki tata kelola keuangan ormawa. Hal ini sekaligus menjawab opini publik bahwa jabatan di ormawa sering dianggap rawan disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti proses voting di forum yang dinilai tidak sepenuhnya transparan. “Banyak keputusan yang tiba-tiba berubah, hingga akhirnya hasil voting berbalik arah. Saya tidak mempermasalahkan hasil akhir, tapi yang penting adalah apakah teman-teman benar-benar memilih dengan pemahaman atau tidak,” tandasnya.
Salah satu momen yang menjadi pertanyaan dalam forum pembahasan adalah ketika wacana MM akhirnya tidak jadi dibawa ke tahap voting. Menurut Ara, saat proses pembahasan berjalan alot. Sejak siang hingga menjelang malam, argumentasi pro dan kontra terus mengemuka. Bahkan, saat opsi voting telah diajukan dan disepakati, forum kembali terganggu oleh interupsi.
“Setiap kita mau voting itu pasti ada yang nyela. Ada yang nyela, tidak sepakat, tidak sepakat, tidak sepakat, dan setiap ada yang menyela itu tidak mau voting intinya,” jelas Ara.
Secara prosedural, presidium sebenarnya bisa saja melanjutkan voting secara tegas. Namun, SM Undip menilai kondisi forum saat itu tidak kondusif dan banyak pihak yang belum siap menerima keberadaan MM.
“Kami memandang kalau ternyata memang banyak sekali yang belum sepakat sama MM. Daripada niat baik ini akhirnya gagal total, ya sudah, akhirnya kami memutuskan untuk mencabut opsi,” pungkasnya.
Selain polemik soal MM dan BAK, Muswa 2025 juga melahirkan perubahan penting dalam mekanisme pemilihan Ketua Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA-UM). Jika sebelumnya Ketua MWA-UM dipilih oleh Badan Pemilihan (Banlih), kini disepakati bahwa proses pemilihannya akan dilakukan melalui voting langsung oleh mahasiswa, serupa dengan pemilihan Ketua BEM.
Perubahan ini disambut positif oleh sejumlah delegasi forum. Seorang peserta yang enggan disebutkan namanya menilai langkah ini sebagai upaya konkret untuk menguatkan legitimasi MWA-UM sebagai representasi mahasiswa.
“Cukup sepakat ya, karena memang dari tahun ke tahun MWA-UM selalu melakukan roadshow ke fakultas. Kalau dia tidak dipilih mahasiswa, mending roadshow ke Banlih saja, tidak perlu ke fakultas. Nyatanya kan roadshow tetap dilakukan ke mahasiswa,” ujarnya.
Menurutnya, mekanisme lama membuat posisi MWA-UM terasa janggal. Ia hadir di tengah mahasiswa, tetapi proses pemilihannya tertutup dan hanya melibatkan Banlih. Kondisi itu turut memperkuat jarak antara mahasiswa dengan MWA-UM, bahkan membuat lembaga ini relatif asing di kalangan mahasiswa biasa.
“MWA-UM tidak begitu dikenal oleh mahasiswa, wajar, karena pemilihannya juga tidak pernah melibatkan mahasiswa. Jadi ketika sekarang MWA-UM dipilih langsung, mungkin masalah ini bisa teratasi secara bertahap. Mahasiswa akan lebih peduli dengan MWA-UM dan proses roadshow pemira juga jadi lebih bermakna,” tambahnya.
Namun, di balik sejumlah keputusan penting yang lahir dari Muswa 2025, forum ini juga masih sarat kepentingan. Pertanyaan pun muncul: benarkah Muswa hadir sebagai wadah aspirasi mahasiswa, atau justru menjadi panggung bagi kepentingan kelompok tertentu?
“Sebenarnya secara gamblang dan secara kasat mata terjadi. Akhirnya memang terpolarisasi kalau kita melihat pandangan kontra datang dari pihak-pihak siapa, kemudian pandangan-pandangan pro datang dari pihak-pihak siapa,” ujar salah satu delegasi.
Menurut pandangannya sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah karena memang masing-masing dari mereka membawa rasionalisasi-rasionalisasinya. Hanya saja, ia menyoroti bahwa peserta delegasi yang datang untuk mewakili nama fakultas atau lembaga masing-masing kurang mempertimbangkan masukan-masukan dari mahasiswa fakultas ataupun anggota lembaganya.
“Jadi masih ada kepentingan tertentu karena pendapat kawan-kawan yang mewakili muswa kebanyakan adalah pendapat individu yang memang secara kebetulan dia adalah delegasi. Jadi seakan-akan yang dibawakan adalah pembawaan fakultas,” tambahnya.
Imam menilai bahwa kepentingan dalam forum semacam Muswa memang tidak bisa dihindari. “Kalau ditanya apakah kemungkinan ada tujuan untuk politik, khususnya organisasi ekstra, menurutku sangat mungkin. Namun balik lagi, namanya pembentukan peraturan itu harus melihat political will-nya, apakah mungkin atau tidak. Dan apakah wajar atau tidak, menurutku sangat wajar. Cuma masalahnya adalah apakah kepentingan ekstra itu mengutamakan keinginan mahasiswa atau tidak. Kalau tidak, nah itu yang jadi masalah,” jelasnya.
Terlepas dari adanya sarat kepentingan dalam Muswa, Imam menyayangkan atas sikap SM Undip usai gagalnya pembentukan MM dan BAK. Dalam akhir forum, salah satu SM Undip menyebut “inilah jeleknya demokrasi.” Ia menjelaskan, dalam demokrasi satu suara orang yang paham memang sama dengan satu suara orang yang tidak paham, tetapi pernyataan tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa mereka yang tidak memilih MM dan BAK dianggap tidak paham. Karena itu, Imam menegaskan agar demokrasi tidak dijelekkan hanya karena kalah, sebab kehadiran forum Muswa sendiri juga merupakan hasil dari demokrasi. Ia bahkan sempat melempar pertanyaan kepada forum terkait mekanisme pemilihan Ketua BEM.
“Bahkan saya menanyakan, apakah nanti sepakat bahwasannya Ketua BEM dipilih dari hasil musyawarah? Dan di situ tidak ada yang berani menjawab untuk sepakat. Karena artinya, pada akhirnya student government yang harus kita anut adalah demokrasi,” lanjutnya.
Menanggapi hal itu, SM Undip memberikan klarifikasi. Mereka menjelaskan bahwa pernyataan soal “jeleknya demokrasi” sebenarnya bukan disampaikan oleh seluruh perwakilan, melainkan oleh salah satu anggota SM Undip setelah proses voting. Hal ini dinilai kontradiktif karena usulan mekanisme voting sendiri justru datang dari SM Undip.
Ara mengakui bahwa ucapan tersebut muncul lebih karena dorongan emosi sesaat, bukan sikap resmi lembaga. Ia menegaskan bahwa hasil voting tetap merupakan bentuk dari demokrasi yang harus dihargai, sehingga seharusnya diterima secara gentleman tanpa perlu menjelekkan mekanismenya. Pada saat itu, ia pun langsung menegur rekannya agar tidak mengeluarkan pernyataan serupa.
Lebih lanjut, klarifikasi ini juga menekankan bahwa sikap SM Undip adalah menerima hasil forum apa adanya. Pandangan yang sempat keluar dari salah satu anggota dianggap sebatas opini pribadi, bukan representasi lembaga.
Di luar polemik tersebut, Muswa 2025 juga menyisakan sejumlah catatan evaluasi dari berbagai pihak. Imam menyampaikan lima catatan evaluasi terhadap jalannya Muswa 2025. Pertama, ia menekankan bahwa Muswa seharusnya benar-benar menjadi forum perwakilan mahasiswa. Orientasinya harus pada mahasiswa, bukan pada kepentingan ketua organisasi semata. Kehadiran para pimpinan di kursi forum, menurutnya, hanyalah mandat dari mahasiswa yang mereka wakili. Kedua, forum ini seharusnya memberi ruang bagi aspirasi. Ia mengkritik narasi yang kerap muncul untuk “jangan memperlama musyawarah mahasiswa.” Padahal, menurutnya, tujuan forum adalah mendengarkan pandangan, bukan sekadar mengejar kecepatan sidang. Ketiga, Imam berharap Muswa lebih mengedepankan substansi. Ia menyoroti banyaknya kesalahan pemahaman dari sebagian pimpinan ormawa, misalnya penyebutan “amandemen undang-undang” yang sebenarnya tidak tepat, karena yang bisa diamandemen hanyalah undang-undang dasar. Ia juga mencontohkan perdebatan mengenai PPO yang disebut tidak boleh konkret, padahal seharusnya bisa saja konkret. Bagi dia, hal ini menunjukkan perlunya kecerdasan argumentasi dari para pimpinan ormawa.
Keempat, ia menyoroti masalah ketepatan waktu. Proses forum kerap terhambat karena keterlambatan dan menunggu kuorum akibat ketidakhadiran sebagian pimpinan ormawa. Terakhir, ia menegaskan pentingnya partisipasi yang bermakna. Dari pengamatannya, risalah sidang kerap didominasi oleh suara orang-orang tertentu saja, padahal terdapat 48 UKM, sekolah vokasi, dan 11 fakultas yang seharusnya turut aktif menyampaikan pandangan. Karena itu, ia berharap Muswa tidak sekadar menjadi ajang partisipasi formal, melainkan benar-benar mencerminkan keterlibatan substantif seluruh elemen mahasiswa.
Dari sisi peserta forum, evaluasi juga disampaikan oleh Tockary. Ia menilai presidium yang memimpin jalannya Muswa masih kurang tegas dalam menjaga marwah forum. Hal ini terlihat dari adanya tindakan-tindakan seperti izin tanpa menyampaikan, meninggalkan forum tanpa konfirmasi, hingga tidak mengirimkan perwakilan. Padahal, menurutnya, kehadiran dalam forum merupakan mandat untuk mewakili suara mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun organisasi.
Selain itu, Tockary juga menyoroti penyelenggara yang dinilai belum sempurna dalam mengatur jalannya forum. Kondisi ini, pada akhirnya, membuat kepentingan mahasiswa secara umum yang harus dikorbankan.
Ia pun menekankan perlunya partisipasi yang lebih merata dan meluas, tidak hanya terbatas pada pimpinan ormawa atau kelompok tertentu saja. Menurutnya, seluruh mahasiswa Undip seharusnya memahami isu-isu yang dibahas dalam Muswa, termasuk bagaimana topik tersebut dibumikan dan disosialisasikan. Dengan begitu, forum benar-benar menjadi ruang pendidikan politik dan demokrasi bagi seluruh mahasiswa, bukan hanya elit organisasi semata.
Kritik pedas juga datang dari salah satu delegasi peserta Muswa. Ia menyoroti kecenderungan forum yang kerap “ditunggangi” kepentingan, tetapi miskin pendekatan empiris. Delegasi tersebut mempertanyakan apakah SM Undip pernah benar-benar melakukan survei untuk mengetahui kebutuhan mahasiswa, bukan sekadar mengandalkan kajian teoritis seperti trias politica.
Menurutnya, meskipun SM Undip patut diapresiasi karena kuat dalam aspek teori, kelemahan justru terlihat ketika harus membaca persoalan aktual di lapangan. Ia mengaku memiliki ekspektasi bahwa Muswa kali ini menghadirkan terobosan baru dibanding tahun-tahun sebelumnya yang gagal membentuk MM. Namun, kenyataannya tidak ada perbedaan berarti selain keberhasilan mengadakan roadshow pra-Muswa. Delegasi itu menegaskan, tidak adanya data konkret ataupun kajian empiris yang benar-benar menyentuh kebutuhan mahasiswa membuat forum ini kehilangan daya substantifnya. Ia berharap, ke depan SM Undip mampu melaksanakan persiapan berbasis riset mahasiswa secara lebih luas—misalnya melalui survei—bukan hanya mengandalkan public hearing yang partisipasinya minim. Dengan cara itu, Muswa bisa lebih dekat pada realitas mahasiswa, bukan hanya wacana normatif di tataran elitis.
Sementara itu, evaluasi juga datang dari pihak penyelenggara, yakni SM Undip. Mereka mengakui masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, terutama terkait teknis pelaksanaan. Karena Muswa tahun ini ada yang digelar secara daring, SM Undip menilai persiapan teknis seharusnya bisa lebih matang—mulai dari kualitas perangkat, tempat, hingga dukungan aplikasi. Harapannya, ke depan penyelenggara mampu memberikan pengalaman forum yang lebih maksimal bagi peserta.
Dari sisi substansi, SM Undip juga mengakui adanya kekurangan dalam sosialisasi. Roadshow ke fakultas memang sudah dilakukan, tetapi penyebaran informasi ke UKM dinilai belum berjalan masif. Padahal, menurut mereka, seharusnya seluruh elemen ormawa, baik di tingkat fakultas maupun UKM, mendapat pemahaman yang sama mengenai agenda Muswa.
Lebih jauh, SM Undip menyoroti rendahnya kesadaran peserta. Mereka menilai banyak ormawa yang masih acuh tak acuh terhadap forum yang membahas konstitusi mahasiswa ini. Tidak sedikit yang datang terlambat, meninggalkan forum, atau terjebak dalam perdebatan yang tidak substansial. Hal ini, menurut SM Undip, sangat disayangkan mengingat forum Muswa seharusnya menjadi ruang argumentasi intelektual yang didukung dengan kajian dan sosialisasi yang sudah disiapkan sebelumnya.
Oleh karena itu, SM Undip berharap, siapapun yang kelak melanjutkan estafet kepemimpinan dapat menyadari pentingnya amanah sebagai peserta penuh Muswa. Mereka menegaskan bahwa setiap elemen ormawa memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan pembahasan secara substansial dan menjaga marwah forum agar benar-benar mencerminkan kepentingan mahasiswa.
Reporter: Nuzulul Magfiroh, Salwa Hunafa, Asiyah Tsabita
Penulis: Nuzulul Magfiroh
Editor: Nurjannah, Naftaly Mitchell