Meski Diguyur Hujan, BEM Unissula Tetap Menanti Kapolda Jateng untuk Audiensi Terbuka

Semarangan – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang melakukan Aksi Tuntutan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Mimbar Bebas di depan Kantor Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah pada Senin (13/10). 

Aksi simbolik ini dimulai pukul 16.00 hingga pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat (WIB), yang hanya diikuti oleh BEM KM Unissula saja, dan pukul 16.40 WIB terjadi hujan lebat yang mengguyur Semarang, tetapi peserta aksi tetap bertahan di depan kantor Polda. 

Peserta aksi secara bergantian berorasi, menyampaikan keresahan serta protes terhadap kinerja-kinerja buruk polisi. Presiden Mahasiswa BEM KM Unissula, Wiyu Ghaniy Allathif Yudistira menyampaikan bahwa beberapa hari sebelum aksi, pihak BEM KM Unissula sudah mengajukan surat, baik secara offline maupun online serta turut mengundang Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Tengah, Irjen Pol. Ribut Hari Wibowo dalam audiensi dan diskusi terbuka yang dilaksanakan pada Senin kemarin. 

BEM KM Unissula telah membuat kajian dan membawanya secara fisik saat aksi untuk diserahkan kepada Kapolda Jawa Tengah saat audiensi. Namun, sampai mereka bubar, Hari Wibowo tak kunjung turun menemui. Adapun poin tuntutan dari kajian yang telah dilaksanakan:

  1. Transparansi penuh dalam kasus berat lokas (seperti Closed Circuit Television (CCTV), visum, saksi, kronologi) harus dibuka kepada publik
  2. Sanksi yang adil dan tegas terhadap oknum aparat
  3. Perlindungan hak pendidikan bagi mahasiswa yang mengalami kasus demo
  4. Perlindungan saksi dan korban
  5. Evaluasi prosedur penggunaan kekuasaan meliputi revisi pengamanan demo, penggunaan senjata, penangkapan massa agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
  6. Percepatan proses hukum dan publikasi program, seperti gelar perkara, penyidikan, tuntutan, dan putusan harus ada jadwal jelas dan diumumkan ke publik
  7. Libatkan masyarakat dan pengawasan eksternal yakni kampus, organisasi mahasiswa, lembaga HAM diberi ruang pengawas

Secara konsep, kegiatan ini merupakan sebuah perawatan untuk napas panjang perjuangan. Dalam aksi ini dilakukan orasi, diskusi, dan audiensi dengan estimasi sekitar 30 orang saja , sehingga membuat aksi ini berbeda dari aksi-aksi biasanya. 

“Saya tuh menerapkan ke teman-teman Unissula tuh sedikit nggak masalah, yang penting konsisten. Terus nggak seremonial, jadi bener-benar kawalnya tuh sampai selesai,” tutur Ghaniy.

Dalam aksi ini tentu tidak ada koordinator lapangan dan sebagainya, karena memang tujuan utamanya adalah untuk menancapkan pemahaman yang dalam kepada peserta aksi terkait permasalahan yang tertuang dalam kajian, serta menunggu Kapolda Jawa Tengah untuk melakukan audiensi.

Hal ini bukan tanpa tujuan, melainkan hendak melihat sejauh apa sebenarnya polisi menanggapi setiap protes, bahkan untuk aksi damai sekalipun. Karena selama ini, instansi yang diberi nilai bintang satu oleh BEM Unissula ini melalui sebuah penyerahan piagam, berkoar-koar soal anarkisme sehingga berujung pada penangkapan semena-mena, pemukulan dan pembubaran paksa setiap kali aksi. Ghaniy mencoba kembali ke awal September kala ada aksi damai, polisi juga tidak turut hadir.

“Padahal polisi tuh kemarin aksi anarkis katanya mereka kan nggak suka aksi anarkis, mereka marah-marah, mereka akhirnya menangkap, mukul-mukul. Nah ini kita coba buat aksi damai lagi, hadir nggak? Nggak hadir! Emang kuping mereka tuh kuping tuli!” keluh Ghaniy.

Runtutan acara BEM KM Unissula selama melakukan aksi adalah berorasi, berdiskusi – karena mereka membawa beberapa buku, melakukan aksi simbolik seperti tabur bunga sebagai simbol matinya keadilan, salat magrib bersama dan penyerahan piagam satire kepada polisi yang berjaga.

Sempat diguyur hujan, BEM KM Unissula tetap bertahan dan memutuskan untuk melanjutkan aksi sampai Kapolda Jawa Tengah benar-benar menemui mereka untuk melakukan audiensi. Namun sampai mereka bubar, tak ada satupun yang menghampiri.

“Karena memang tajuknya aksi simbolik dan mimbar bebas, bukan aksi pada umumnya, karena coba kita tuh pengen audiensi lah. Mereka tuh gimana sih menjawab tantangan reformasi Polri,” harap Ghaniy.

Ghaniy juga menyampaikan bahwa ia sudah mencoba untuk menghubungi dan menyampaikan info aksi kepada rekan-rekan BEM lainnya, tapi  pada hari pelaksanaan aksi, tidak ada satupun yang datang. Bagi Unissula bukan suatu masalah.

“Sudah… sudah saya kasih tahu, tapi kalau nggak ada yang mau, ya udah, Unissula siap gerak sendiri. Ya menghubungi yang ada di grup, grup Semarang Raya. Yang membersamai ya monggo, kalau nggak ya monggo,” pungkasnya.

Aksi simbolik ini bak pedang bermata dua, ada harapan sekaligus kemarahan. Melihat situasi per hari ini, betapa bobroknya institusi yang katanya mengayomi, tapi punya banyak nokta merah, Unissula menyampaikan keduanya dalam aksi kali ini.

“Kita sedih lah, ya, banyak kekurangan di polisi. Kita pengen mengevaluasi besar-besaran, jangan sombong, lah. Karena ya pasti ada namanya power syndrome. Nah bagi saya melihat hari ini kepolisian secara kelembagaan itu merasa di atas angin,” kata Ghaniy.

Jumlah mereka bisa dihitung jari, cuaca memberi salam melalui rinai hujan, dan Kapolda Jawa Tengah tak kunjung turun menemui mereka yang jumlahnya sedikit. Yang tak akan ada potensi kacau. Tak mungkin ada kerusuhan, tapi nyatanya, polisi masih memilih tutup telinga dan acuh. Aksi simbolik ini sebagai perawatan untuk sebuah nyawa perjuangan. Tidak harus selalu dalam jumlah yang besar-terkesan meledak, tapi sebenarnya seremonial.

Reporter: Alya Nabilah, Hanifa Khairunnisa, Naftaly Mitchell

Penulis: Naftaly Mitchell

Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah

Scroll to Top