Pembakaran keranda sebagai aksi simbolik menentang represifitas terhadap pers saat Aksi Kamisan Semarang di depan Gedung Polda Jawa Tengah pada Kamis (17/4) (Sumber: Manunggal)
Semarangan – Aksi Kamisan dengan tajuk “Seruan Aksi Solidaritas: Aparat Mental Tipis Takut Sama Jurnalis” menyoroti kasus-kasus kekerasan dan bentuk represifitas lainnya terhadap pers dan jurnalis. Aksi Kamisan dilakukan pada Kamis (17/4) sekitar pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) di depan Gedung Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng).
Aksi tersebut diwarnai oleh berbagai kegiatan yang bertitik kumpul di Patung Kuda, Universitas Diponegoro (Undip) Pleburan. Acara dimulai dengan jalan sambil bernyanyi bersama menuju Polda Jateng sebagai titik akhir sambil membawa poster yang salah satunya bertuliskan “JOURNALISM IS NOT A CRIME, BRUTALITY IS”.
Aksi dilakukan dengan rangkaian kegiatan:
- Longmarch dari area Patung Kuda Undip Pleburan hingga ke depan Gedung Polda Jateng. Longmarch dilakukan sambil membawa keranda dan disusul massa yang membawa poster.
- Berbaur dengan massa Aksi Kamisan dan mengadakan kegiatan teatrikal meniru adegan penempelengan wartawan selama kurang lebih 5 menit di depan Gedung Polda Jateng.
- Koordinator lapangan (Korlap) memoderatori pembacaan orasi-orasi:
- Pembukaan selama 5 menit
- Penyintas atau korban kekerasan terhadap pers masing-masing selama 3 menit
- Pewarta Foto Indonesia (PFI) selama 3 menit
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama 3 menit
- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia selama 3 menit
- Perempuan Jurnalis Jawa Tengah selama 3 menit
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) selama 3 menit
- Partisipan Aksi Kamisan selama 3 menit
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) selama 3 menit
- Bara Puan selama 3 menit
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selama 3 menit
- Teatrikal ending selama 10 menit dengan pembacaan narasi mengenai matinya demokrasi dan kekerasan terhadap jurnalis, pembakaran keranda, pelemparan Identity (ID) card, menebarkan bunga di atas keranda, dan menyalakan rokok
- Penutupan dengan melakukan pembacaan doa, pembacaan tuntutan, dan sayonara.
Aksi Kamisan ini dilakukan karena maraknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak terhadap para jurnalis oleh aparat kepolisian maupun mereka yang merasa berkuasa. Iwan Arifianto, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengemukakan bahwa telah terjadi 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis di sepanjang tahun 2025.
“Betul. Ketika ada jurnalis ditempeleng itu berarti demokrasi terancam. Karena empat pilar demokrasi salah satunya adalah kebebasan pers,” ungkap Iwan ketika diwawancarai oleh Awak Manunggal pada Kamis (17/4).
Meskipun kritik dilayangkan di ruang-ruang perlawanan, Iwan mengungkapkan bahwa polisi masih cenderung tutup telinga. Pimpinan yang seharusnya mengimbau bawahannya juga turut tak peduli dengan isu ini.
Menurut Iwan, aparat seharusnya memahami bahwa kerja-kerja jurnalis telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Pers No. 40 Tahun 1999. “Jangan asal ketemu wartawan kemudian ditempeleng. Itu tentu sangat melanggar UU Pers dan sebenarnya pelaku bisa dijerat oleh UU tersebut,” tegasnya.
Iwan dengan lantang juga mengajukan lima hal yang menjadi tuntutan Aksi Kamisan ini, yakni:
- Pecat aparat pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
- Ciptakan ruang aman untuk jurnalis.
- Aparat harus patuh dengan UU Pers.
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus bertanggung jawab kepada anggota yang melakukan kekerasan kepada jurnalis.
- Meminta perusahaan media melindungi jurnalis korban kekerasan.
Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi, Kompas Jateng, Raditya Mahendra Yasa menjelaskan mengenai hal-hal yang juga menjadi tuntutan paling penting dari diadakannya Aksi Kamisan tersebut, yaitu menolak segala intimidasi dari aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
“Yang pertama-tama adalah menolak sikap arogansi aparat kepolisian, TNI, menolak segala bentuk intimidasi, entah itu dari TNI, Polri, aparat negara, itu yang sebenarnya kita dorong untuk kita tolak,” kata Raditya.
Raditya juga menyebutkan salah satu tuntutan penting lainnya, yaitu mengenai kebebasan pers. Raditya menyoroti beberapa kasus represifitas, seperti teror-teror yang dialami oleh salah satu media terkenal di Indonesia.
Aksi Kamisan kali ini diwarnai dengan pembakaran keranda sebagai simbol pertentangan terhadap kekerasan atau represifitas terhadap pers. Raditya menjelaskan bahwa perilaku ajudan Kapolri yang memukul salah satu jurnalis saat meliput di Stasiun Tawang, Semarang tidak mencerminkan perilaku Polri yang seharusnya mengayomi dan melayani masyarakat.
“Katanya mereka mengayomi, melayani rakyat, bentuk-bentuk seperti itu kan ga tercermin. Dan itu juga bentuk arogansi. Itu yang harus digarisbawahi dan itu ga boleh dibenarkan dan ga boleh dilakukan,” kata Raditya.
Aksi tersebut juga dilakukan untuk menekan dan memberikan evaluasi kepada institusi Polri agar dapat membenahi diri.
“Kita melakukan aksi ini itu memang untuk menekan dan memberikan evaluasi kepada institusi Polri itu sendiri,” ucap Raditya.
Selain itu, represifitas yang dilakukan oleh Polri terhadap pers dianggap seolah-olah menghalangi pemberitaan.
“Tentu saja itu adalah hak kebebasan pers, terus hak pemberitaan. Itu kan dia seolah-olah menghalang-halangi pemberitaan. Kira-kira seperti itu,” ungkap Raditya.
Raditya kemudian menimpali bahwa seharusnya Polri yang melanggar kebebasan pers ini sudah seharusnya mendapatkan sanksi yang tegas dari institusi atas perbuatannya. Dalam Aksi Kamisan pada hari ini, ia juga turut berharap jajaran polisi akan melakukan evaluasi secara utuh terhadap tindakan yang mereka lakukan.
“Harapannya, polisi mengevaluasi seluruh jajarannya agar mereka melihat secara utuh, itu nggak benar, dari bagaimana mereka melakukan kekerasan, arogansi, dan intimidasi,” lanjut Raditya dengan tegas.
Kemudian, Raditya turut menjelaskan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi untuk melindungi kesejahteraan jurnalis melalui banyak cara, salah satunya dengan memanfaatkan media, misalnya dengan melakukan crowdfunding serta kolaborasi antar Non-Governmental Organization (NGO) maupun pemerintahan.
“Karena kesejahteraan jurnalis ini, sekarang kita yang memperjuangkan, tapi (red, di sisi lain) kita nggak ada yang memperjuangkan. Kira-kira itu seperti itu,” lanjut Raditya.
“Sore ini, hanya ada satu kata. Angkat kamera kalian tinggi-tinggi kawan-kawan jurnalis. Kita akan teriakkan, ‘Lawan! Lawan represi, lawan intimidasi, hidup jurnalis!’,” seru Raditya lantang dalam orasinya.
Maraknya aksi represifitas terhadap jurnalis kemudian menjadi bukti konkrit bahwa kesejahteraan pers di Indonesia masih kerap terabaikan. Jurnalis kerap mendapatkan intimidasi, pembungkaman, serta banyak ancaman lainnya.
Selain itu, dibutuhkan tindakan tegas dari para pemangku kepentingan untuk turut berpartisipasi dalam menjamin keamanan sekaligus meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Hal ini bertujuan agar kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia tetap terjunjung.
Aksi Kamisan tersebut tidak hanya dihadiri oleh para aktivis Kamisan, tetapi juga melibatkan jurnalis, mahasiswa, hingga elemen masyarakat sipil lainnya. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritas sipil dalam bersuara memperjuangkan keadilan bagi kesejahteraan jurnalis dan masyarakat.
Menurut salah satu mahasiswa, kepemimpinan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menampilkan bahwa pemerintahan mereka terkesan takut dan tidak menghargai hasil karya jurnalis hingga mengatai mereka sebagai bayaran. Hal tersebut dapat tergolong ke dalam logical fallacy, ketika terjadinya kesalahpahaman dan berujung dalam manipulasi, pengalihan isu hingga menjadikan argumentasi menjadi tidak logis. Perilaku tersebut tidak seharusnya dipertahankan oleh para pemegang kepentingan karena dapat menutup suara rakyat.
Baginya, pembungkaman terhadap masyarakat termasuk pers merupakan bentuk pembunuhan terhadap hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat. Dengan adanya Aksi Kamisan, masyarakat berharap para aparatur negara mampu berbenah, karena ketika aksi kamisan masih terus dilakukan, maka itu berarti para aparat belum benar-benar berbenah.
“Jadi sepanjang ada Aksi Kamisan, maka sepanjang itu pula ketidakadilan masih terus dilakukan oleh pemangku kepentingan di negara kita,” tutur salah satu mahasiswa ketika diwawancarai oleh Awak Manunggal pada Kamis (17/4).
Redaktur Suara Merdeka sekaligus Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan juga menegaskan bahwa seharusnya kejadian yang menimpa beberapa kawan jurnalis tidak mempengaruhi keberanian dan performa liputan para jurnalis lainnya. Hak tersebut dikarenakan hasil karya tulis jurnalis haruslah bersifat independen tanpa represif dari kaum berkepentingan dan akan berdampak bagi masyarakat.
“Karena jurnalis itu kan bekerja pada publik. Bukan pada satu dua orang. Kita bertanggung jawab pada masyarakat. Kalau produk Anda tidak benar, yang dirugikan siapa? Publik,” tegasnya.
Melalui orasinya, Aris juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebebasan yang semakin terancam di Indonesia.
“Ketika jurnalis diintimidasi, ketika kebebasan berpendapat dibungkam, ketika kebebasan akademik dihabisi, maka ini pertanda demokrasi di negeri ini sudah mati,” tegas Aris dengan lantang.
Di depan seluruh massa aksi Kamisan, Aris mengajak setiap elemen masyarakat untuk bersatu melawan rezim bobrok yang semakin menggila.
“Pada hari ini, kami mengajak kepada seluruh elemen masyarakat di Indonesia untuk bergandengan tangan, bergerak bersama untuk menegakkan keadilan, menegakkan demokrasi di negeri ini, menegakkan undang-undang dasar 45, di mana kebebasan berpendapat, berekspresi itu dijamin,”
Dalam rangka melindungi hak-hak jurnalis, AJI telah membuat pelatihan keamanan bagi jurnalis. AJI telah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menjamin keamanan fisik maupun digital bagi jurnalis ketika diharuskan meliput dengan risiko yang tinggi.
Aksi Kamisan diharapkan mampu meningkatkan solidaritas para jurnalis khususnya di kawasan Semarang. Aksi ini juga menjadi bentuk perlawanan terhadap pelanggaran hak jurnalis oleh aparat kepolisian. Meski kecil kemungkinannya, tetapi massa berharap suara-suara yang digaungkan sore itu bisa didengar dan dipahami oleh pihak yang dituju, yakni Polri.
Reporter: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah, Mitchell Naftaly, Hanifah Khairunisa, Alya Ruhadatul, Salwa Hunafa, Dhini Khairunnisa, Sintya Dewi Artha, Raisya Nurul Khairani
Penulis: Salwa Hunafa, Dhini Khairunnisa, Hanifah Khairunnisa, Raisya Nurul Khairani
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah

