
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengikuti rapat kerja Kementerian Kebudayaan dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan guna membahas rencana penulisan ulang sejarah pada Senin (26/5). (Sumber: Tempo.co)
Opini – Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Profesor Susanto Zuhdi menggelontorkan dana sebesar Rp9 miliar. Melibatkan 113 orang penulis yang terdiri dari berbagai latar belakang akademik, 20 editor jilid dan 3 editor umum (Tempo.co, 2025). Telah mencapai 70 persen pengerjaan, nantinya hasil penulisan ulang ini akan menjadi hadiah saat Dirgahayu Republik Indonesia (RI) ke-80 di Agustus mendatang. Menteri Kebudayaan 2024-2029, Fadli Zon mengatakan penulisan ini bagian dari urgensi untuk menghapus bias kolonial dan mengisi kekosongan sejarah selama 26 tahun terakhir.
Ini bukan tentang anggaran yang tidak besar, juga bukan tentang keterlibatan orang di dalamnya, tapi mengenai tujuan penulisan ulang. Apa urgensinya hingga seolah melebihi persoalan-persoalan lain yang harusnya turut dicampuri. Dengan 11 jilid draf penulisan yang sedang berjalan, apa sebetulnya yang ingin pemerintah ubah, selain dari kebelandaan sentris dan persoalan kolonialisme dalam sejarah kita? Faktanya, setelah rampung beberapa bab, orde baru mulai disetip, narasi tentang kerusuhan dan peristiwa kelam sebelum reformasi tak muncul dalam penulisan itu (ABC Indonesia, 2025).
Ulang Tahun ke-80 Kita Tak Perlu Sejarah Baru
Alasan klise Fadli Zon terkait dengan penulisan ulang sejarah sebagai hadiah di Agustus mendatang lebih mengarah pada sikap semena-mena. Sebagai eufemisme pengambil alihan kekuatan sejarah, untuk menentramkan masyarakat yang berpotensi buka suara. Pasalnya, masih banyak hal yang bisa dijadikan sebagai hadiah. Di antaranya adalah Pengesahan Undang-undang (UU) Perampasan Aset, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), UU Wilayah Adat, UU Polisi Republik Indonesia (Polri) dan masih banyak lagi.
Hal lain misalnya menepati janji Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka terkait penyediaan lapangan kerja, penyelesaian kasus-kasus yang melibatkan aparat negara, dan menghentikan perampasan ruang hidup melalui tambang, usaha ilegal milik pemerintah, ataupun yang di-beking oleh pemerintah. Sebuah hadiah yang lebih bernilai ketimbang pembuatan ulang sejarah.
Sampai hari ini, kita tak perlu sejarah baru. Negara mana yang membutuhkan sejarah baru? Untuk apa? Apakah kita miskin pengetahuan tentang negara sendiri? Buktinya, per hari ini, anak-anak muda blingsatan untuk tahu rupa dari perjalanan bangsa mereka. Oleh sebab itu literasi tumbuh liar di mana-mana, diskusi tentang masa-masa dahulu yang sebetulnya membuka pikiran mereka.
Penulisan ulang itu tidak melibatkan siapapun yang memang harus dilibatkan bila tak ingin ada kesalahpahaman. Lagi-lagi pemerintah senang memberi hadiah dadakan. Tiba-tiba saja ada titah dan pengumuman untuk perubahan ulang, walau dalam tanggapan Fadli Zon ia menyebutkan bahwa penulisan ulang ini sudah disepakati dalam rapat kerja Kementerian Kebudayaan dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Keadaan per hari ini mengundang banyak air mata dan bersimbah keprihatinan terhadap semua yang terjadi, tapi memikirkan bagaimana para penguasa bisa memainkan pena sesukanya di tengah penderitaan yang tak berujung ini semacam sebuah tindakan abai. Seolah mereka yang punya kepentingan dalam penulisan ulang itu mengejek keadaan kita hari ini. Sebab banyak yang harus dibenahi, banyak yang harus diobati baik secara metaforik maupun harfiah, tapi mengapa sejarah yang diobok-obok?
Anggaran 9 Miliar Tidak Banyak, Tapi Tidak Sedikit Bagi Kebutuhan Lain yang Lebih Penting
Uang sebesar Rp9 miliar yang tidak banyak menurut Fadli Zon nantinya akan menghasilkan 11 jilid buku sejarah yang baru:
- Sejarah Awal Nusantara
- Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina
- Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah
- Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi
- Respons terhadap Penjajahan
- Pergerakan Kebangsaan
- Perang Kemerdekaan Indonesia
- Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi
- Orde Baru (1967-1998)
- Era Reformasi (1999-2024)
- Faktaneka dan Indek
Bukankah kemarin kita sibuk mengefisiensi anggaran? Walau tanpa tujuan yang konkrit, imbas efisiensi itu benar-benar memengaruhi banyak hal yang lagi-lagi diabaikan oleh pemerintah. Lalu mengapa sekarang menggelindingkan dana sebanyak 9 miliar hanya untuk menulis ulang sejarah. Apakah sejarah yang kita tahu selama ini sangat miskin informasi? Apakah memang tidak ada lagi hal lain yang bisa dibenahi dan disuntikkan dana Rp9 miliar selain dari proyek penulisan ulang ini? Ada yang salah ketika kemarin habis-habisan pemotongan anggaran–lagi dan lagi, efisiensi adalah eufemisme untuk menandaskan dana kelembagaan–sedang hari ini, betapa sanggupnya manusia berdasi itu menggocek keuangan negara hanya untuk sebuah cerita yang ingin mereka bangun, mereka sebarkan, dan mereka dengar sendirian. Banyak yang bisa dilakukan dengan uang sebesar Rp9 miliar. Tapi pemerintah memilih jalan ninja untuk menguntungkan dan mempergemuk keadaan mereka.
Pernyataan ini bukan berarti sejarah tidak penting. Siapapun tahu, yang membuat bangsa ini setangguh dan sekokoh hari ini adalah sejarah. Berjilid-jilid perjalanan yang membuat Indonesia dikenal dunia dan semakin ternama, itu semua karena sejarah. Dalih apapun tak dapat mematahkan bahwa Indonesia hari ini, ada selain karena sejarah yang berdarah tapi juga tangguh. Masalahnya terletak dari penulisan ulang seolah semua yang diketahui selama ini adalah kesalahan.
Dalam wawancaranya Fadli Zon mengungkapkan ketakutannya akan generasi muda yang tak lagi mengenal Soekarno-Hatta sebagai proklamator kemerdekaan. “Dikira Sukarno Hatta itu satu nama, karena nama bandara Soekarno-Hatta. Apalagi disingkat Soetta sekarang,” ucapnya dikutip dari Tempo. Sebuah jawaban yang miskin hasrat perubahan.
Parno Menulis Sejarah Pemerintahan Jokowi
Menurut laporan Tempo, sejarah yang akan ditulis akan sampai pada masa pemerintah presiden ke-7, Joko Widodo. Hal ini dibenarkan oleh pemimpin penulisan ulang sejarah, Susanto Zuhdi.
Kepada Tempo ia mengatakan bahwa sejarah Indonesia akan ditulis ulang sampai dengan periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang baru saja selesai. Namun, Susanto menepis anggapan bahwa proyek ini sarat dengan kepentingan dan berpotensi bias karena menyangkut tokoh yang masih hidup dan belum genap setahun melipir dari bangku kekuasaan.
“Yang kami tulis itu masa pemerintahan, bukan Jokowi-nya. Kalau nulis Jokowi itu namanya tulis biografi,” dalih Susanto kepada Tempo. Sebuah elakan klise yang semakin mempertajam tujuan awal yang bersangkar di kepalanya.
Sesuai outline, Susanto mengatakan bahwa aspek yang disorot adalah kebijakan dan visi pemerintahan seperti gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Yang menurutnya hal ini bertumpu pada julukan Indonesia sejak lama, yakni sebagai penjelajah lautan.
“Jadi kami melihatnya sampai ke periode terakhir, konsisten enggak nih bangsa untuk menjaga kedaulatan lautnya? Nah, jadi tonggak-tonggak sejarah itu sebetulnya mau kita lihat,” pungkas Susanto.
Presiden Joko Widodo masih hidup dan pengaruhnya masih terasa hingga hari ini, sampai beberapa waktu lalu Indonesia digadang-gadang punya matahari kembar. Di tengah gejolak itu, pemerintah hendak membuat narasi tentang ‘pemerintahan’ Jokowi. Hanya sebatas masa memerintah dan tidak sampai melibatkan narasi individu, sebuah janji dari Susanto. Namun tampaknya hal tersebut sulit diurai karena semua orang tahu, kekuatan Jokowi masih mencengkeram bangsa ini. Terlebih Gibran, anaknya, menjadi wakil presiden yang tidak mungkin tidak sarat kepentingan.
Tidak peduli apapun bentuk kepentingan yang diutamakan, tentunya penulisan ulang sejarah akan membingkai Jokowi dalam frame yang baik dan indah, tanpa menorehkan apa sebenarnya yang belum tuntas dan masih perlu dibenahi. Sejarah tentu tidak hanya memotret hal baik saja, kan?
Tulis Ulang Sejarah Versi Bolong-bolong
Menurut laporan Tempo, Harry Truman Simanjuntak yang seharusnya berlakon sebagai editor utama dalam penulisan ulang sejarah, mengundurkan diri pada Rabu (22/1), dengan alasan pribadi dan perbedaan akademis di balik keputusannya. Hal ini tentu menimbulkan sugesti dan semacam kesimpulan spontan sebab belum genap 10 hari tim penulisan bekerja, Harry memilih untuk hengkang.
Hal lain yang tidak bisa diterima oleh Harry adalah penggunaan beberapa istilah yang seharusnya memerlukan waktu rembuk lebih panjang sebab sekali lagi, hal ini bersangkut paut dengan sejarah. Harry juga mengkritik bagaimana penulisan ulang sejarah pada masa Jokowi sedang yang bersangkutan masih ada, tentu akan menimbulkan bias dan sarat dengan kepentingan. Tidak mungkin kepentingan diabaikan sedangkan pihak yang berkuasa dan yang hendak dituliskan masih di depan mata.
Persoalan ini penting untuk dibingkai, mengapa seseorang seperti Harry yang berasal dari Pusat Prasejarah dan Austronesia memilih untuk mundur dalam penulisan tersebut? Istilah yang seperti apa dimaksudkan oleh Harry dan diabaikan dalam penulisan tersebut? Lalu bias yang bagaimana yang terbaca olehnya sehingga membuat keputusan keluar?
Siapapun tahu, terhitung lengsernya Soeharto, sejarah kita tak pernah rampung. Belum selesai dengan narasi keji tentang keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa 65 yang mengharuskan 3 juta nyawa melayang, lalu dugaan presiden terlama di Indonesia itu sebagai dalang dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada masa pemerintahannya, justru jadi sejarah yang harus dituntaskan. Tentu masih banyak sejarah lain yang tidak kalah pentingnya dengan tragedi-tragedi berdarah pada masa rezim orde baru.
Alih-alih melakukan hal yang diperlukan, pemerintah memilih untuk mendaur ulang sejarah yang sudah ada, dengan membuang semua yang menurut mereka sudah basi. Pasalnya, dalam jilid 9 tentang pemerintahan orde baru (1967-1998) ada banyak peristiwa yang hilang. Tuntutan reformasi, huru-hara kerusuhan 98, hingga agenda reformasi (ABC Indonesia, 2025). Tampaknya, ada sesuatu yang ingin disembunyikan, digelapkan dan bahkan dihilangkan. Sepertinya, pemerintah kita ketagihan setelah menghilangkan nyawa, maka kini serpihan sejarah.
Dalam jilid 10 diawali dengan masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada 1999, sementara jilid 9 berakhir pada peristiwa Lampung pada 1989. Tentu terdapat gap tahun yang besar, dalam 10 tahun yang sirna dalam jilid penulisan ulang tersebut, yang memungkinkan banyak peristiwa terjadi yang membentuk sejarah Indonesia. Namun, kemanakah dibuang potongan 10 tahun yang hilang itu?
Adapun hal-hal lain yang hilang dalam draf terbaru ialah: Kongres Perempuan pertama tahun 1928, Konferensi Asia-Afrika (1995) yang jadi cikal bakal gerakan non blok, lalu Asian Games 1962 di Jakarta, dan Ganefo 1963. Oleh sebab itu, draf ini ditentang oleh banyak pihak, mulai dari akademisi, sejarawan hingga aktivis.
Sejarawan, Asvi Warman Adam mengungkapkan penolakannya terhadap draf terbaru. Ia menilai penulisan ulang ini berupaya memanipulasi dengan memunculkan bagian yang menguntungkan suatu rezim saja. “Kami melihat konsep ini, atau menggolongkannya sebagai manipulasi sejarah. Manipulasi sejarah adalah menulis sejarah yang negatif & merugikan itu dihilangkan atau ditutupi, atau digelapkan,” terangnya.
Apa yang dikatakan oleh Asvi tidak salah, ada banyak yang hilang dalam draf penulisan ulang tersebut. Apakah setelah diobok maka sejarah kita berubah dan lenyap, bahkan untuk bagian krusial sekalipun. Besar harapannya, penulisan ulang ini tidak berupaya untuk menggenapi orderan beberapa pihak yang ingin diuntungkan, dan semoga bukan jadi alat untuk melegitimasikan kekuasaan sebuah rezim yang punya catatan berdarah.
Penulis: Naftaly Mitchell
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah
Referensi:
Tempo.co. (2025). Alasan Fadli Zon Soal Penulisan Ulang Sejarah: 26 Tahun Akhiri Kekosongan Sejarah. Diakses pada Sabtu, 31 Mei 2025 melalui laman URL https://nasional.tempo.co/read/2012509/alasan-fadli-zon-soal-penulisan-ulang-sejarah-26-tahun-akhiri-kekosongan-sejarah
Tempo.co (2025). Anggaran Rp 9 Miliar untuk 11 Jilid Buku Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Diakses pada Sabtu, 31 Mei 2025 melalui laman URL https://nasional.tempo.co/read/2012421/anggaran-rp-9-miliar-untuk-11-jilid-buku-penulisan-ulang-sejarah-indonesia
ABC Indonesia. (2025). Sejumlah Sejarawan, Akademisi, dan Aktivis HAM Menolak Draft Revisi Sejarah. Diakses pada Sabtu, 31 Mei 2025 melalui URL https://www.instagram.com/share/reel/BAUGiEsXsg
Tempo.co (2025). Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Sejarah Juga Memilih Topik. Diakses pada Sabtu, 31 Mei 2025 melalui URL https://tekno.tempo.co/read/2012068/ketua-tim-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-sejarah-juga-memilih-topik