Sastra
Barangkali, tak ada yang lebih paramarta
dari ribuan air mata purba dalam riwayat jejak juang di kaki Jepara
Jejak reminisensi arkais melukis adorasi seorang srikandi mengikis patriarki
—dari mayapada Jepara, ia kobarkan pawaka emansipasi
di tubuh janabijana yang menjalar di sekujur dada pertiwi
serupa malam kelam yang niscaya menjelma zikir air mata kaum hawa anak pribumi;
Kartini berdikari bak indurasmi
di tengah gulita yang ranum melolong hak asasi.
Barangkali, puan tempo purba tak ubahnya nestapa yang tertawan di balik jeruji dapur
yang konon, biar butir-butir beras tak lagi menjelma bubur
atau ‘tuk sekadar tidur di atas kasur serupa pelacur
sebab,
pendidikan semata-mata tong kosong seorang puan yang tengah melindur.
III.
Namun, jejak juang Kartini melawan stigma jentaka senantiasa bertandang
melangitkan frasa yang tak ubahnya bianglala selepas hujan, “habis gelap terbitlah terang!”
meretas segala asumsi tak berkorelasi di atas tanah anarki yang kian pincang
menaikkan harkat perempuan yang acap kali dipandang serupa pecundang.
IV.
Kini, sayap-sayap emansipasi telah membentangkan tonggak peradaban pertiwi
tak ada lagi riuh diskriminasi jua sengketa antara kesetaraan hak perempuan dan laki-laki
paripurnalah jejak juang Kartini meretas segala paham patriarki
: hingga laksmi namanya terukir dalam mahakarya nan abadi.
“Sebab, pada hakikatnya kita ialah sama–terlahir dari rahim ibu yang suci dan tumbuh dari asi yang diberkati”
Semarang, 2024.
SELAMAT HARI KARTINI!
Penulis: M. Irham Maolana
Editor: Hesti Dwi Arini