Logo Hari Film Nasional (HFN) ke-75 dengan slogan “Sejuta Kisah, Satu Indonesia” yang diluncurkan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada Selasa (4/2). (Sumber: bpi.or.id)
Apresiasi – Siapa yang tidak pernah menonton film? Setiap orang, saya yakin, pernah menonton film meski kadang tak menyukainya—entah karena ceritanya tidak menarik, akting pemainnya mentah, atau adegannya terasa menggelikan. Meski begitu, orang tak jera menonton film. Sebab bagaimanapun, film kerap menembus perasaan dan mendobrak pikiran, di samping memanjakan mata dan telinga. Dengan kata lain, melalui film yang kita nikmati, kita dapat melepaskan emosi sehingga mampu meringankan beban psikologis.
Pada dasarnya, menikmati jenis kesenian apa pun—tidak hanya film—merupakan kebutuhan utama umat manusia. Sapardi Djoko Damono bahkan menegaskan, pada zaman yang nafsu utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan duniawi, manusia tidak dapat melepaskan diri dari kesenian (2021:40). Boleh dikatakan, kita akan mati tanpa hadirnya kesenian. Itu menandakan bahwa kesenian, meskipun diciptakan oleh seniman, tidak hanya milik mereka, tetapi juga milik kita bersama agar kita tetap beradab dan tetap waras, di tengah zaman yang serbainstan.
Demikianlah film, sebagai salah satu bentuk kesenian, yang juga milik kita bersama. Kita selalu menontonnya, beberapa membuatnya, bahkan memperingatinya setiap tahun dalam skala global dan nasional. Di Indonesia, setiap tahunnya, Hari Film Nasional (HFN) diperingati setiap tanggal 30 Maret. Tanggal tersebut dipilih untuk mengingat hari pertama produksi film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail (Ningsih, 2023). Selain disutradarai oleh orang Indonesia, film tersebut juga diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan melaksanakan syuting di Indonesia. Alasan lain yang memperkuat pemilihan tanggal tersebut adalah film Darah dan Doa, secara ideologis, merepresentasikan kesadaran identitas nasional dan rasa kebangsaan, terutama pasca-Revolusi Indonesia.
Meskipun pemilihan tanggal 30 Maret diwarnai perdebatan sebelum disahkan oleh Presiden B.J. Habibie sebagai peringatan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 25 Tahun 1999, HFN masih dirayakan sampai sekarang. Pada tahun ini, dalam rangka merayakan 75 tahun HFN, Badan Perfilman Indonesia (BPI) meluncurkan logo baru dan slogan “Sejuta Kisah, Satu Indonesia”.
Merujuk dari laman BPI pada Kamis (20/3), Ketua Umum BPI, Gunawan Pangguru mengatakan bahwa logo HFN yang baru merepresentasikan perjalanan panjang industri film Indonesia selama 75 tahun, sedangkan slogan tersebut menegaskan film sebagai ruang kolaborasi bagi setiap pihak (sineas, penonton, akademisi, dan sebagainya) untuk memperjuangkan kemajuan film nasional. Namun, apakah “film nasional” itu?
Pertanyaan demikianlah yang semestinya diajukan setiap kali kita memperingati HFN. Kata “nasional” bisa jadi tidak hanya merujuk pada skala peringatannya, tetapi juga merujuk pada muatan politis yang terdapat dalam istilah “film nasional”. Darmawan (2017:116) menyatakan bahwa istilah “film nasional” dan “Hari Film Nasional” sangat ideologis, sangat politis, dan penuh kemelesetan faktual. Pemaknaan yang terlampau sempit atas istilah tersebut berpotensi menyebabkan banyak film, dalam sejarah film Indonesia, yang tidak tergolong film nasional atau film Indonesia. Mengapa?
Mari tengok kembali alasan tanggal hari pertama produksi film Darah dan Doa—30 Maret 1950—dipilih sebagai titik awal peringatan HFN: (1) disutradarai oleh orang Indonesia; (2) diproduksi oleh perusahaan film Indonesia; (3) melaksanakan syuting di Indonesia; dan (4) memuat kesadaran identitas nasional dan rasa kebangsaan. Keempat alasan tersebut menyiratkan bahwa pemaknaan “film nasional” atau “film Indonesia”, menurut pandangan Pasaribu (2017:72), sudah terlampau etno-nasionalistis sehingga terungkaplah ciri film Indonesia: nasionalistis, idealistis, dan dibuat oleh orang asli Indonesia alias pribumi. Maka, jangan kaget ketika ada film yang mengisahkan peristiwa sejarah di Indonesia, tetapi disutradarai oleh orang non-Indonesia tidak diterima sebagai film nasional atau film Indonesia. Misalnya, Film Jagal dan Senyap yang disutradarai Joshua Oppenheimer.
Begitu pun, ketika ada film yang memenuhi keempat kriteria di atas, tetapi isi atau materi dalam film tersebut terlalu mengupas sejarah kelam bangsa kita sehingga dilarang tayang karena berpotensi mengganggu ketertiban umum. Ingin contoh? Film Eksil yang disutradarai Lola Amaria sempat batal tayang di Samarinda pada Kamis (22/2/2024) sehingga, untuk menayangkannya, pihak pengelola CJ Group, Golden Harvest, Village Roadshow (CGV) Cinemas Plaza Mulia—yang menjadi tempat acara nonton bersama itu—harus mengantongi surat izin keramaian dari Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda. Pada waktu yang sama, kita baru saja melaksanakan Pemilihan Presiden yang dalam kontestasinya amat menggerahkan. Bukankah motif politisnya sangat jelas jika dikaitkan?
Adanya pelarangan tayang sebuah film, terutama di Indonesia, tidak mengagetkan. Hal ini menandakan film sebagai media kesenian yang memiliki citra visual-auditif kuat sehingga dapat memengaruhi persepsi dan pendapat masyarakat atas suatu hal. Bahkan, Pemerintah Orde Baru turut menggunakan film sebagai media propaganda untuk melegitimasi antikomunisme dan kekerasan terhadap orang (yang dianggap) kiri, misalnya lewat film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) garapan Arifin C. Noer.
Kembali ke hakikat “film nasional” atau “film Indonesia” yang selama ini dimaknai terlalu sempit, pemaknaan tersebut jelas akan memarginalkan keberagaman film Indonesia yang ada pada masa lalu, pada masa sekarang, dan yang akan hadir pada masa depan. Istilah “film nasional” semestinya lepas dari kepentingan politis-ideologis yang buruk sehingga khazanah perfilman Indonesia dapat makin kaya. Ungkapan J.B. Kristanto bahwa “menonton film, menonton Indonesia” dapat kita terapkan. Dalam keberagaman kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang amat masif saat ini, kita dapat membayangkan Indonesia dari berbagai perspektif melalui film. Kecenderungan lokalitas dalam film Indonesia akhir-akhir ini, setidaknya, menggambarkan bahwa kita menerima keberagaman itu.
Akhirnya, mengutip kalimat penutup esai Darmawan: menonton film adalah menonton Indonesia; merayakan film adalah merayakan keragaman Indonesia—dengan segala kemungkinan baru yang bisa ditawarkan oleh kekinian kita.
Penulis: William Bradley Christianto
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah
Referensi:
Anonim. 2024. “Film Eksil batal tayang di Samarinda karena ‘tak ada izin keramaian’ – ‘Spirit Orde Baru masih bergentayangan’”. www.bbc.com. Diunggah pada 23 Februari 2024, diakses pada 22 Maret 2025 melalui www.bbc.com/indonesia/articles/ce9557v5zvno.
Damono, Sapardi Djoko. 2021. Sastra dan Pendidikan. Yogyakarta: Pabrik Tulisan.
Darmawan, Hikmat. 2017. “Hari Film Indonesia: Membayangkan Kembali Indonesia”. Dimuat dalam buku Merayakan Film Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Humas BPI. “Peluncuran Logo Hari Film Nasional”. www.bpi.or.id. Diunggah pada 4 Februari 2025, diakses pada 20 Maret 2025 melalui www.bpi.or.id/berita-82-Peluncuran_Logo_Hari_Film_Nasional.html.
Ningsih, Widya Lestari. 2023. “Sejarah Hari Film Nasional 30 Maret”. www.kompas.com. Diunggah pada 30 Maret 2023, diakses pada 19 Maret 2025 melalui www.kompas.com/stori/read/2023/03/30/190000679/sejarah-hari-film-nasional-30-maret.
Pasaribu, Adrian Jonathan. 2017. “Mempertanyakan Film Nasional”. Dimuat dalam buku Merayakan Film Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.