Hantu Itu Bernama PKI

Simpatisan Partai Komunis Indonesia (Sumber: republika.co.id)

Peristiwa— PKI, sebuah kata yang muncul ketika suatu peristiwa politik terjadi. Kata tersebut membayangi kita semenjak terjadinya suatu coup tahun 1965 yang mengakibatkan terbunuhnya 6 perwira tinggi serta 1 perwira muda Angkatan Darat (AD) di Jakarta pada malam 30 September. Dalang dari kejadian tersebut tidak jelas hingga saat ini, namun menurut penelusuran Tirto.id, mulai tanggal 3 Oktober 1965 Partai Komunis Indonesia mulai dilirik sebagai dalang dari kudeta berdarah ini. Selanjutnya tuduhan dalang ini kemudian membesar hingga dibubarkannya partai tersebut pada 1966, setelah munculnya TAP MPRS No. XVIII tahun 1966.

Rezim Orde Baru kemudian berdiri mengganti rezim Soekarno. Pada masa inilah Soeharto berkuasa selama 32 tahun lamanya. Selama itu pula, narasi tentang PKI sebagai hal yang negatif terus didengungkan. Di kalangan akademisi terdapat Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan yang juga dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beliau menulis buku berjudul 40 Hari kegagalan G-30-S, 1 Oktober, 10 November 1965 dan The Coup Attempt of 30 September Movement in Indonesia. Keduanya lahir sebagai reaksi dari kemunculan Cornell Paper karya Ruth McVey dan Ben Anderson dari pusat studi Asia Tenggara Universitas Cornell. Buku karya beliau menjadi senjata orba untuk menghadapi tuduhan tentang siapa dalang dibalik kudeta berdarah tersebut. Berbeda pada kalangan masyarakat, orba meluncurkan sebuah film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI pada tahun 1984 serta sebuah buku berjudul Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Semua orang yang hidup di era tersebut pasti mengingat film Pengkhianatan yang tayang setiap 30 September. Masyarakat dari tingkat SD hingga pendidikan tinggi diwajibkan menonton film ini hingga melekat di memori mereka hingga sekarang, sementara buku bersampul putih keluaran sekretariat negara tersebut wajib dimiliki setiap perpustakaan, terutama di sekolah.

Pada pendidikan tinggi, terdapat Pendoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila atau disingkat P4. Setiap mahasiswa baru pada semester pertama mendapatkan P4 berdampingan dengan mata kuliah pendidikan Pancasila. Program ini dimulai tahun 1984 hingga jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Kegiatan berlangsung dengan mendengarkan ceramah tentang Pancasila, UUD 1945, dan GBHN selama total seratus jam dalam satu semester. Semua kegiatan tersebut pada dasarnya hanya digunakan untuk melancarkan kekuasaan Soeharto menghadapi kritik dari masyarakat. Propaganda ini hingga sekarang masih dapat dirasakan pada generasi yang pernah hidup di zaman tersebut, dan akan terus abadi dijaga oleh orang-orang yang menggunakannya demi kepentingan tertentu.

Masyarakat demo bubarkan PKI (Sumber: kompasiana.com)

PKI Zaman Now

Pemilu 2019 memang sudah berlalu, namun dampak yang diakibatkannya masih terasa hingga kini. Isu kebangkitan PKI menjadi isu lima tahunan atau jika terjadi suatu peristiwa politik. Jika ditarik ke belakang, isu tentang PKI muncul ketika pilpres 2014 berlangsung. Sebuah surat kabar bernama Obor Rakyat menerbitkan artikel tentang asal usul dari capres saat itu, Jokowi. Seperti yang dilansir dari Tirto.id, berdasarkan artikel berjudul “President Jokowi and The 2014 Obor Rakyat Controversy in Indonesia” disebutkan bahwa sang capres merupakan muslim yang menyimpang: keturunan Tionghoa dan simpatisan komunis.

Hal senada juga diungkapkan oleh kanal berita pojoksatu.id dimana disebutkan bahwa ayah dari Jokowi merupakan komandan OPR (Operasi Perlawanan Rakyat) yang pernah melarikan diri selama empat tahun di hutan merbabu hingga menyamar jadi ketua Satgas PDI, sementara ibunya merupakan Sekjen Gerwani. Walaupun disebutkan pula bahwa pihak Jokowi membantahnya, namun tidak sedikit pula yang percaya dengan pernyataan tersebut. Survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 16-26 Desember 2018, menyebutkan bahwa 23 persen koresponden menjawab pernah mendengar kabar tuduhan Jokowi beretnis Tionghoa dan 77 persen tidak pernah mendengar. Dari mereka yang pernah mendengar, 24 persen diantaranya percaya dengan berita tersebut. Sementara 18 persen koresponden percaya tentang kebangkitan PKI dengan 85 persen diantaranya menganggap hal tersebut merupakan ancaman bagi negara. Semenjak pesta demokrasi 2014 lalu, isu kebangkitan PKI tumbuh subur di kancah perpolitikan tanah air.

Bagaimana masyarakat menanggapinya?

Jika dilihat secara keseluruhan, masyarakat seakan terbagi menjadi golongan pro dan kontra. Bagi masyarakat yang pro, mereka bisa saja termakan dengan hoaks kebangkitan PKI dan ikut menyebarkannya. Media sosial menjadi tempat berita-berita bohong tersebar ke seantero Indonesia, bahkan dunia. Berdasarkan laporan dari dailysocial.id, tiga platform media sosial yang menyebarkan hoaks terbanyak pada tahun 2018 adalah Facebook (77.76%), Whatsapp (72.93%), dan Instagram (60.24%). Sementara CNN Indonesia menyebutkan bahwa terdapat banyak akun media sosial milik tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Tommy Soeharto, Tengku Zulkarnain, dan Fadli Zon yang memainkan isu tersebut pada periode 22-25 Mei 2020.

Dengan dibahasnya RUU HIP, maka isu ini semakin membesar dan PDIP lah yang menjadi sasarannya. Sebagai partai yang paling getol meloloskan RUU ini, tidak heran bila menjadi sasaran pada saat demo RUU HIP dilaksanakan di Jakarta hingga terjadi insiden pembakaran bendera pada 24 Juni lalu. Salah satu alasan dari serangan itu ialah salah satu kader partai banteng tersebut, yaitu Ribka Tjiptaning yang merupakan anak dari Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro, seorang anggota Biro Khusus PKI. Masyarakat mengenalnya melalui bukunya yang berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI. Tidak mengherankan banyak yang menggunakannya sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan, sesuai dengan pemikiran filsuf Niccolo Machiavelli dalam buku The Prince, “Lebih baik ditakuti daripada dicintai”.

Demonstrasi anti PKI (Sumber: koransulindo.com)

Sementara bagi mereka yang kontra, hanya menganggap isu tersebut sebagai alat politik semata. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam dalam dialog online “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” yang diadakan oleh Historia.id, menyebutkan bahwa terdapat beberapa pihak yang sengaja menggoyangkan masyarakat dengan mengatakan kebangkitan kembali komunisme. Hal tersebut didukung dengan fakta sejarah dimana partai tersebut telah bubar 54 tahun yang lalu serta propaganda yang dilancarkan oleh Orba selama 32 tahun.

Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2017 menunjukan sebanyak 86,8 persen koresponden tidak percaya kebangkitan PKI, sebanyak 12,6 persen koresponden percaya PKI sedang mencoba bangkit dan 0,6 persen menjawab tidak tahu. Namun kerusakan yang diakibatkan oleh propaganda orba tersebut hingga sekarang masih dapat dirasakan. PKI menjadi suara yang menakutkan dikalangan masyarakat sehingga terbentuklah sebuah stigma negatif yang dapat dilabelkan ke siapa saja. Asvi memberi contoh tiga orang yaitu: Ribka Tjiptaning, Okky Asokawati, dan Reza Rahadian. Ketiganya merupakan anak/cucu dari mantan tahanan politik era orde baru akibat G30S. Jika kita sudah mengetahui Ribka sebagai anak dari Anggota Biro Khusus PKI, lain cerita dengan Okky dan Reza. Okky Asokawati merupakan putri dari AKBP Anwas Tanuamidjaja, wakil gerakan 30 September atau orang kedua setelah Letkol Untung. Sementara Reza Rahadian memiliki nenek seorang aktivis dan anggota parlemen Indonesia bernama Francisca C. Fanggidaej. Saat kejadian, beliau sedang berkunjung ke Beijing sebagai delegasi Indonesia di Kongres Organisasi Wartawan Internasional. Akibatnya, dia tidak dapat kembali ke Indonesia dan hidup di pengasingan selama 40 tahun. Perlakukan Okky dan Reza tidak seperti Ribka yang merupakan anggota PDIP. Mungkin kesalahan dari dirinya hanyalah membuat buku yang berjudul mencolok dan menjadi anggota PDIP, sehingga digunakan sebagai sasaran untuk menjatuhkan partai berlambang banteng tersebut.

Namun apakah benar PKI akan bangkit dari kubur? Sejauh belum ada bukti yang memadai, isu itu hanyalah isu politik belaka yang digunakan untuk meraih kemenangan politik. Hingga sekarang, PKI bagaikan hantu yang terus menggentayangi Indonesia selama masyarakatnya masih memiliki pengaruh propaganda orba yang terus digunakan oleh politikus demi meraih kekuasaan.

Penulis             : Fidel Satrio Hadiyanto

Editor              : Winda N, Alfiansyah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top