Joglo Pos – Mahasiswa kerap kali dikaitkan dengan kehidupan anak muda yang penuh dengan kebebasan dan kemudahan. Banyak yang menganggap bahwa kehidupan mahasiswa hanyalah sebatas belajar dan bersenang-senang. Hal ini dikarenakan jam belajar dan aturan yang lebih fleksibel sehingga memunculkan anggapan demikian.
Namun, dibalik anggapan itu, menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Tekanan dan harapan lingkungan yang tinggi mau tidak mau menjadi beban yang harus dipikul oleh mereka. Tujuannya tak lain adalah masa depan. Tak jarang hal ini berakibat pada kesehatan mental mereka.
Kasus mengakhiri hidup yang beberapa waktu lalu menimpa beberapa mahasiswa di Semarang, tentu menjadi pukulan telak bagi kita semua. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan mental di kalangan mahasiswa merupakan hal yang serius dan harus segera ditangani.
Meskipun dapat berujung pada pengakhiran hidup (suicide), nyatanya banyak dari mereka yang berhasil berjuang keluar dari lingkaran tersebut. Melalui tulisan ini, kami mencoba membagikan kisah dan perjuangan mereka melewati fase tersebut.
Dari Cemas Berkepanjangan hingga Sulit Memahami Realita
Tak dapat dipungkiri bahwa secara umum kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya gaya hidup, faktor biologis, pengalaman negatif seseorang dan lain sebagainya.
Faktor lain yang menjadi mempengaruhi kesehatan mental juga dituturkan oleh Kartika Sari Dewi yang merupakan dosen Psikologi Universitas Diponegoro. Menurut penuturannya, kesehatan mental dipengaruhi oleh interaksi antara kondisi biologis (genetik dan/hormon dan/kondisi medis), kondisi psikologis, serta kondisi sosialnya.
“Kerentanan stres yang dimiliki individu apabila bergesekan dengan tekanan lingkungan maka mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya. Artinya, kesehatan mental sangat dipengaruhi banyak faktor yang kompleks baik dari dalam diri individu maupun lingkungan eksternalnya,” katanya.
Cerita inspiratif pun kami dapatkan dari beberapa penyintas gangguan kesehatan mental, salah satunya Syahna Salsabila. Syahna merupakan mahasiswa aktif Undip yang sempat didiagnosa menderita depresi sedang dan Anxiety Disorder atau gangguan kecemasan.
Syahna mengungkapkan bahwa ia telah merasakan gejala penyakit ini sejak duduk di bangku sekolah yakni SMA. Ketika itu, dia kerap kali merasa cemas ketika bertemu dengan orang lain dan sangat memikirkan pandangan orang lain kepadanya. Hingga akhirnya kondisi Syahna semakin memburuk setelah menjadi mahasiswa.
Kehidupan bahagia yang sebelumnya dijalani Syahna dengan teman-temannya ketika menjadi mahasiswa baru berubah ketika dirinya berkonflik dengan teman-teman dekatnya.
“Awal mula pemicu waktu semester 3 ketika ada konflik dengan teman dekat sendiri. Mulanya masih temenan baik, tapi makin lama malah makin ada hal gaenak dan memicu pertengkaran yang akhirnya membuat aku nggak nyaman, merasa dimusuhi, dan aku dikambinghitamkan. Yaa begitu deh, bikin diriku jadi down dan malas buat bersosialisasi di kampus, aku merasa nggak punya temen,” ungkap Syahna.
Tanda dan gejala umum anxiety disorder (sumber: verywellhealth.com)
Cerita lain kami dapatkan dari Indriani Putri yang juga merupakan mahasiswa aktif Undip sekaligus penyintas gangguan kesehatan mental, Skizoafektif. Skizoafektif merupakan gangguan mental yang ditandai dengan gejala Skizofrenia yakni halusinasi dan gangguan suasana hati.
Sama halnya dengan Syahna, Indri juga mengungkapkan bahwa dirinya telah merasakan gejala gangguan kesehatan ketika duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) dan diperparah ketika diterima sebagai mahasiswa di Undip.
Selain itu, berasal dari keluarga yang kurang berpendidikan juga memberikan tekanan pada Indri terutama di bidang akademik. Keinginan untuk membanggakan orang tua lewat nilai menjadi salah satu penyebab perubahan karakter Indri menjadi lebih ambisius.
“Dari awal dari SMA aku ngerasa kayak aku punya tekanan akademik, itu ngasih aku push-out begitu apalagi ekspektasi masyarakat ke aku gitu. Aku terlahir dari orang tua yang buta huruf terus aku bisa kuliah, ekspektasi orang mungkin kayak ‘wah, kayaknya genius banget’ gitu kan dan nggak mungkin aku menggugurkan ekspektasi orang yang kayak gitu dong, kayak aku juga harus buktiin,” tutur Indri.
Indri juga menceritakan bahwa penyakitnya pernah kambuh ketika ia sedang mengikuti perkuliahan. Ketika itu ia sedang melakukan presentasi di depan teman-temannya dan mengalami halusinasi seakan-akan semua orang saat itu tidak menyukai dirinya. Seketika, Indri merasa dipojokkan oleh semua orang di dalam kelas saat itu.
Ilustrasi gangguan Skizoafektif (sumber: beranisehat.com)
Selain Syahna dan Indri, Chaira Nisaa mahasiswa aktif Undip juga membagikan pengalamannya kepada kami. Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini mengungkapkan bahwa gangguan kesehatan yang pernah dialaminya disebabkan oleh tekanan akademik dan kegiatannya di kampus.
Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran, tentunya Chaira sudah tidak asing dengan kegiatan praktik di laboratorium dan laporan yang menggunung. Ditambah lagi ketika itu, Chaira sedang aktif menjadi pengurus inti di beberapa kegiatan di dalam maupun luar kampus.
“Terus pernah juga waktu itu semester 5 kayaknya aku sempet yang kayak pengennya aku main aja, aku gak pengen pegang laptop gitu, aku udah kayak stres banget waktu itu desperate banget,” ujar Chaira.
Chaira juga bercerita bahwa kondisi tersebut sempat berdampak pada kesehatan tubuhnya karena harus dirawat di rumah sakit dan ketertinggalan akademik.
“Semester itu lagi banyak-banyaknya praktikum terus tugas individu banyak yang bener-bener pusing banget waktu itu. Dan waktu itu aku sakit Demam Berdarah dirawat dirumah sakit. Awalnya aku nggak ngerasa kalo aku sakit, aku tidur aja tapi aku demam. Jadi aku minum obat waktu itu terus ternyata nggak turun-turun, langsung dibawa kerumah sakit jadi aku bener-bener nggak pegang laporan seminggu jadi kan bener-bener numpuk banget kan. Aku jadinya tambah ngerasa ‘duh’ itu aku bener-bener nggak tidur dua hari,” katanya.
“Waktu itu juga pernah saat ujian aku sampai nggak fokus banget bahkan aku push myself buat ngasih yang terbaik hari ini tapi kenapa aku gabisa gitu,” tambahnya.
Ilustrasi stres (sumber: ruparupa.com)
Upayaku Untuk Sembuh
Perjalanan para penyintas gangguan kesehatan mental seperti Indri, Syahna, dan Chaira membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali pulih dan menerima keadaan.
Syahna bercerita bahwa ketika ia merasakan perbedaan dari dirinya, ia langsung memutuskan untuk mendatangi psikolog dan menceritakan keluhannya. Yang mengejutkan ternyata Syahna diharuskan melanjutkan pengobatannya ke psikiater.
“Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikolog. Sebenarnya bukan ga ada temen cerita sih, cuma aku nggak bisa cerita hal-hal yang mungkin itu bisa membebani mereka. Dan sebenarnya keluargaku tipe keluarga yang lengkap buat cerita, cuma lagi-lagi aku orangnya tidak enakan jadi lebih mengandalkan pergi ke psikolog. Terus waktu dapat kabar harus ke psikiater, aku ngerasa sedih sih ‘emang separah itu ya?’ ‘Kok bisa aku sampai kayak gini?’. Ada di waktu yang benar-benar down banget,” ujarnya.
Upayanya tersebut akhirnya mengharuskan Syahna untuk mengkonsumsi obat-obatan selama satu semester. Selain mendatangi tenaga profesional, Syahna juga menuturkan bahwa dirinya semakin mendekatkan diri pada keluarga, mencari kegiatan dan lingkungan yang baik, serta rutin berkonsultasi dengan tenaga profesional.
“Akhirnya aku mengobati diriku sendiri, aku minum obat, aku merehabilitasi diriku sendiri, dan setiap minggu aku rutin check up ke psikolog dan satu bulan sekali ke psikiater. Terus akhirnya naiklah ke semester 4. Ternyata pas semester 4 nih aku jadi lebih survive nih, karena aku menceritakan kondisiku ke keluargaku, mereka memberi dukungan moril dan berusaha lebih mendekatkan diri ke aku, dan aku merasa ‘oh iya ya yang sayang sama aku di kampus ngga cuma mereka loh, dan aku juga punya banyak teman’, mulai mengekspor banyak hal,” tutur Syahna.
Tak hanya Syahna, nyatanya Indri juga melakukan hal serupa dengan mendatangi tenaga profesional. Namun yang berbeda adalah Indri rutin melakukan kegiatan journaling atau menulis setiap kegiatan, peristiwa, ide, maupun perasaannya saat itu terjadi.
“Sampai aku memutuskan buat journaling karena menurut buku yang kubaca tentang psikoanalisis, untuk mengetahui kita sakit nggak sih di journaling, aku mulai tuh buat journaling gitu kayak sesimpel hari ini aku ngapain aja, hari ini aku ketemu sama siapa aja,” ungkap Indri.
Menariknya, melalui kegiatan tersebut dan pengobatan rutin dari tenaga profesional, Indri merasakan kemajuan dan sejak November 2023, dirinya dinyatakan sembuh dari Skizoafektif.
“Aku ngerasa kayak wow aku mengalami perubahan yang menurun secara kesehatan,” tandasnya.
Ilustrasi Journaling (sumber: verywellhealth.com)
Berbeda dengan Syahna dan Indri yang mengunjungi tenaga ahli, Chaira melakukan upaya lain untuk keluar dari lingkarang tersebut. Menurut penuturannya, ia berusaha untuk bercerita atau pembagian keluh kesahnya pada teman.
“Aku gabisa mikir waktu itu ‘aku harus ngapain ya’. Itu pusing banget sih waktu itu. Tapi abis itu aku cerita ke temenku sih, Akhirnya dari situ aku belajar buat cerita ke temen aku. Aku punya temen dari SMP, Tapi kita jauh cuma kita sering telponan. Dia ngajak aku ngomong terus akhirnya aku cerita sama dia. Pelan-pelan aku cerita dan setelah cerita aku ngerti benang ruwetnya tuh apa gitu,” kata Chaira.
“Kondisi sekarang aku udah lebih nyaman juga dan juga kayak udah oke sama sekarang. Udah jarang banget itu terjadi, kalau terjadi juga masih bisa aku kontrol gitu loh supaya perasaan itu nggak melebar jadi sebuah tekanan. i know what i have to do,” tambahnya.
Di Akhir ceritanya, Syahna, Indri, dan Chaira memberikan dukungannya kepada teman-teman diluar sana yang masih berjuang untuk sembuh dari gangguan kesehatan mental.
“Sesulit apapun masalah kamu, seberat apapun, dan serumit apapun pikiranmu. Jangan pernah berhenti buat berjuang, coba untuk bertahan hidup demi diri sendiri bisa bahagia. Sebab yang namanya pulih memang harus punya dorongan yang kuat dari diri sendiri. Jangan patah semangat buat terus belajar memaafkan, belajar untuk sabar, pun belajar mengikhlaskan hal-hal yang menyakiti. Terlebih bagiku paham akan keberadaan Tuhan yang senantiasa menemani akan lebih memudahkan untuk berpikir positif. Tetap semangat semuanya,” pesan Syahna.
“Jangan pernah terganggu dengan kalimat bahwa gangguan kesehatan mental itu nggak bisa sembuh karena semuanya akan balik ke kita, even itu nggak bisa sembuh cobalah untuk berikhtiar. Kalau misal kamu merasa orang lain ga cinta sama kamu maka jadilah menjadi diri sendiri yang mencintai diri sendiri dan berusaha mencintai orang lain, karena mungkin orang lain juga sama kayak kamu. diri sendiri karena mungkin jadi ciptakan apa yang belum kamu dapatkan,” pesan Indri.
“Ketika temen-temen lagi merasakan hal itu jangan merasa kalau kamu sendirian. Banyak hal yang masih kita gali buat diri kita kedepannya. Jangan putus asa walaupun posisi kita lagi sedih banget, it’s okay. Semua perasaan kita valid. Gimana caranya kita mau seneng kalau kita nggak ngerti keluar dari rasa sedih. Jangan ngerasa sendirian, kalian harus cari alasan untuk hidup,” tutup Chaira.
Ilustrasi (sumber: The Paw Print)
Reporter: Zahra Putri Rachmania, Adira Khania
Penulis: Zahra Putri Rachmania, Nilla Putri
Editor: Fahrina Alya Purnomo