FIB Undip Darurat Kekerasan Seksual: Oknum Dosen Terlibat, Mahasiswa Menggugat!

Warta Utama –  Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) diguncang skandal kekerasan seksual yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Kasus ini mencuat setelah “Wadah Aduan Antropologi” melaporkan tiga kasus kekerasan seksual sepanjang tahun ini di Program Studi (Prodi) Antropologi Sosial yang melibatkan dua oknum mahasiswa dan satu kasus yang menyeret oknum dosen. 

Sejumlah mahasiswa bereaksi keras dengan menggelar aksi boikot kelas sebagai simbolis bentuk perlawanan terhadap kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik. Aksi memblokade kelas secara langsung dilakukan pada Mata Kuliah Antropologi Pembangunan yang diampu oleh oknum dosen terlapor. Boikot pertama terjadi di Ruang A.3.3 untuk kelas A pada Senin (30/9), dan dilanjutkan pada Selasa (1/10) di Ruang C.4 untuk kelas B.

Selain boikot, mahasiswa juga melakukan aksi berupa pemasangan sejumlah poster dengan tulisan bertajuk “FIB Darurat Kekerasan Seksual” yang tersebar di seluruh mading FIB sebagai simbol perlawanan. Aksi tersebut juga dimasifkan melalui media sosial, dengan harapan bisa menarik perhatian lebih luas dan mendesak pihak birokrat agar segera bertindak tegas.

Respons Prodi Antropologi Sosial

Kepala Program Studi (Kaprodi) Antropologi Sosial, Dr. Suyanto, M.Si., memberikan tanggapannya terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ia memberikan keterangan bahwa pihak prodi telah melakukan tindakan cepat untuk menangani kasus tersebut. 

“Kasus ini sebenarnya terjadi minggu lalu, saya kebetulan berada di luar kota.  Saya dikabarin, dari prodi langsung action (segera diproses, red), bahkan pemrosesan itu sendiri yang menandatangani sekretaris prodi (sekprodi) karena butuh waktu cepat, pelaku sudah dilaporkan,” terang Dr. Suyanto. 

Meski demikian, Dr. Suyanto mengakui bahwa langkah-langkah yang diambil baru sebatas pelaporan ke fakultas, tanpa adanya keputusan konkret yang diambil terhadap oknum dosen yang terlibat. 

“Kami sudah melaporkan ini ke fakultas, tinggal menunggu tindakan dari fakultas. Saya sendiri tidak punya kapasitas untuk menjawab tindakan yang diambil fakultas. Prodi hanya bertanggung jawab untuk menyampaikan laporan,” imbuhnya. 

Tanggapan Dr. Suyanto terhadap aksi protes mahasiswa menuai reaksi positif. Ia menganggap bahwa apa yang dilakukan mahasiswa adalah bentuk solidaritas yang wajar, terutama mengingat pelakunya adalah seorang dosen.

“Menurut saya, apa yang dilakukan mahasiswa itu sebuah kewajaran. Bagaimana pun mereka punya solidaritas dengan sesama mahasiswa. Apalagi pelaku adalah dosen yang seharusnya bisa menjadi teladan dalam transfer pengetahuan dan sikap,” ungkap Dr. Suyanto. 

Kekerasan Seksual di Kampus: Fenomena yang Kian Marak

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen di FIB ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Undip. Sayangnya, kasus-kasus semacam ini kerap kali tidak mendapat sorotan serius dari pihak kampus, atau bahkan “ditutup-tutupi” dengan berbagai alasan birokratis. Beberapa pihak menilai, adanya ketidakjelasan dalam prosedur dan minimnya perlindungan terhadap korban membuat mahasiswa takut untuk melapor.

Dr. Suyanto mengakui bahwa dalam penanganan kasus kekerasan seksual, korban kerap kali merasa tidak aman untuk melapor secara langsung. 

“Mekanisme pelaporan sebenarnya sudah cukup aman, tapi memang korban sering kali tidak berani melaporkan sendiri karena kendala psikologis. Biasanya, mereka didampingi oleh teman dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ),” terang Dr. Suyanto

Meskipun sudah ada pendampingan, mahasiswa masih merasakan ketidakpastian terkait perlindungan hukum dan sanksi terhadap pelaku. Kendati dalam kasus yang sedang marak di FIB saat ini tidak ada perlindungan bagi pelaku, keputusan akhir yang belum pasti tetap berada di tangan universitas.

Kalo kasus yang sekarang tampaknya tidak ada perlindungan, itu yang saya amati. Dari prodi juga tidak ada perlindungan, dari fakultas juga saya lihat action-nya sudah nyata, keputusan finalnya kita serahkan pihak universitas,” ungkap Dr. Suyanto. 

Upaya Wadah Aduan Antropologi

Wadah Aduan Antropologi juga turut menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di FIB. Salsabila Harinda, mahasiswi Prodi Antropologi Sosial angkatan 2020 sekaligus pendamping Wadah Aduan Antropologi, membagikan keresahannya. 

Harinda menyebut bahwa laporan Wadah Aduan Antropologi telah diteruskan oleh pihak prodi ke dekanat. Namun, mulai dari rentang Mei hingga awal September 2024, belum ada tanggapan lebih lanjut dari Dekan FIB, Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum.

“Padahal, saya dan teman saya dari Wadah Aduan Antropologi itu selalu follow up, selalu datang ke dekanat. Seminggu itu minimal sekali kami menemui Pak Alam, tapi Pak Alam selalu ada alasan,” ungkap Harinda. 

Alasan yang diberikan pihak dekanat yaitu berupa kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengurus kasus hingga penyusunan satuan tugas (satgas) kekerasan seksual fakultas. 

Laporan baru dapat diterima setelah Wadah Aduan Antropologi menghubungi dan mendesak Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FIB, Eta Farmacelia Nurulhady, S.S., M.Hum., M.A., Ph.D. Dalam jangka waktu ini, muncul dua kasus baru di Prodi Antropologi Sosial. 

Laporan Wadah Aduan Antropologi akhirnya mendapatkan perhatian setelah Wakil Dekan I FIB, mendesak Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Undip untuk segera mengambil tindakan. Satgas PPKS yang sebelumnya terkesan lamban dalam merespons laporan, baru mulai memproses kasus setelah adanya desakan tersebut.

“Setelah adanya tekanan dari pihak Wakil Dekan I, akhirnya ada langkah konkret dari Satgas PPKS untuk mengundang korban kasus 1 dan 2. Sebelumnya, laporan kami seperti tidak diprioritaskan,” ungkap Harinda. 

Pada kasus ketiga belum dilakukan pemanggilan korban karena pihak Satgas PPKS Undip menyatakan bahwa terdapat perbedaan prosedur apabila pelaku juga berbeda. Pernyataan ini membuat Harinda merasa miris dan tidak puas karena berpotensi menguntungkan pelaku dosen. 

“Kami takutnya dengan kalimat ‘treatment berbeda’ itu justru bukan menguntungkan korban maupun mahasiswa, tapi malah memperbanyak korban,” komentar Harinda. 

Wadah Aduan Antropologi juga telah mempersiapkan langkah lanjutan apabila kasus kekerasan seksual di FIB tidak berubah signifikan. Publikasi peringatan darurat kekerasan seksual akan terus-menerus digaungkan melalui gerakan “akar rumput”. Bahkan, fakultas lain akan turut dilibatkan mengingat kasus kekerasan seksual telah menjadi isu di mana-mana. 

“Menurutku, gerakan ‘akar rumput’ ini bisa lebih efektif kalau misalnya nanti di pihak fakultas atau universitas tidak menjalankan penindakan kasus kekerasan seksual,” tukas Harinda. 

Lebih lanjut, ia berharap agar FIB dapat lebih transparan terhadap eksistensi Satgas PPKS. Mulai dari cara kerjanya, anggota di dalamnya, hingga proses keterbukaannya. Pihak fakultas juga diharapkan lebih proaktif dan melihat kasus dari perspektif korban. Harinda juga menyarankan agar mahasiswa dapat direkrut dalam Satgas PPKS fakultas agar memperbesar rasa nyaman dan kepercayaan mahasiswa lain. 

Komitmen dan Harapan Prodi Antropologi Sosial dalam Mewujudkan Lingkungan Akademik yang Aman.

Merespons kasus kekerasan seksual di FIB Undip, Prodi Antropologi Sosial akan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan akademik yang aman bagi mahasiswa. Salah satu langkah konkret yang akan diambil adalah menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus penanganan kekerasan seksual di tingkat prodi. 

Dr. Suyanto menjelaskan bahwa prodi kini tengah bekerja sama dengan salah satu dosen untuk menyusun SOP tersebut.

“Saat ini, prodi sedang meminta salah satu dosen untuk menyusun SOP penanganan kekerasan seksual. Harapannya, dengan adanya SOP ini, penanganan kasus bisa lebih cepat dan terstruktur, terutama di tingkat prodi,” jelas Dr. Suyanto.

Dalam pandangan Dr. Suyanto, langkah ini penting karena prodi merupakan unit yang paling dekat dengan mahasiswa. Dengan demikian, respons cepat bisa dilakukan langsung di tingkat prodi sebelum dilanjutkan ke fakultas.

“Harus ada tim khusus di tingkat prodi yang menangani kasus-kasus seperti ini. Prodi yang langsung berhubungan dengan mahasiswa, sehingga penanganannya bisa lebih cepat. Setelah itu, baru dilanjutkan ke fakultas, dan dari fakultas ke universitas,” tambahnya.

Selain upaya formal dari prodi, peran dosen dalam menjaga lingkungan akademik yang aman juga menjadi sorotan. Dr. Suyanto menekankan bahwa dosen harus memosisikan diri secara profesional dalam hubungan dengan mahasiswa. Ia menggarisbawahi pentingnya menjaga hubungan profesional antara dosen dan mahasiswa agar tidak terjadi penyalahgunaan kuasa.

“Dosen harus bisa memosisikan dirinya sebagai dosen. Status dosen adalah sebagai transfer pengetahuan dan sikap. Hubungan dengan mahasiswa harus tetap dalam kerangka profesional, tidak sampai pada tindakan-tindakan di luar batas seperti yang terjadi saat ini,” ungkap Dr. Suyanto.

Selain itu,  ia juga menambahkan langkah konkret yang akan dilakukan prodi, yaitu terkait  pemilahan ruang kerja antara dosen kontrak dan dosen tetap di FIB.  Langkah tersebut bertujuan untuk meminimalisasi potensi terjadinya kekerasan seksual, tidak hanya antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga antar-dosen senior dan junior. 

Atas insiden yang terjadi saat ini, Prodi Antropologi Sosial memberikan perhatian khusus terhadap pendampingan bagi mahasiswa korban kekerasan seksual. Dukungan psikologis yang diberikan mencakup pendampingan sejak awal pelaporan, hingga kasusnya diselesaikan. 

Dr. Suyanto memastikan bahwa korban mendapatkan pendampingan yang memadai untuk meminimalisasi dampak psikologis dari kejadian tersebut.

“Dukungan psikologis jelas, ya, dari prodi. Apalagi di Prodi Antropologi yang konsen ke antropologi psikologi. Dia (korban, red) sudah langsung didampingi sejak awal melapor, dan saat ini juga masih didampingi,” terang Dr. Suyanto.

Dr. Suyanto berharap agar kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan segera diselesaikan dengan langkah konkret. Ia menekankan pentingnya keputusan tegas dari pihak fakultas maupun universitas agar masalah ini tidak menjadi beban berlarut-larut di prodi.

“Harapan saya, kasus yang sekarang telah terjadi dan sudah dilaporkan oleh prodi untuk segera diselesaikan. Segera ada langkah konkret keputusan lembaga terkait dengan sanksi, sehingga nantinya tidak menjadi beban prodi,” pungkas Dr. Suyanto.

 

Reporter: M. Irham Maolana, Hildha Muhammad Tahir, K. M Khadizah Al Qubra, Rizki Fahrizal Aziz

Penulis: M. Irham Maolana, Hildha Muhammad Tahir

Editor: Ayu Nisa‘Usholihah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top