Diskusi Publik dengan Wali Kota Semarang: Bicara Pergerakan dan Perempuan Hingga Isu Lingkungan

Wali Kota Semarang dalam Sambutannya pada Acara Diskusi Publik: Kepemimpinan Perempuan Dalam Arah Pembangunan Kota Semarang 5 Tahun ke Depan di Gedung Profesor Soedarto pada Minggu (4/5). (Sumber: Manunggal)

Warta Utama – Universitas Diponegoro (Undip) kedatangan Wali Kota Semarang 2024-2029, Dr. Agustina Wilujeng Pramestuti, SS,. pada Minggu (4/5) di Gedung Profesor (Prof.) Soedarto, Tembalang dalam kegiatan Diskusi Publik bertajuk “Kepemimpinan Perempuan dalam Arah Pembangunan Kota Semarang 5 Tahun ke Depan.” Kegiatan ini diinisiasikan oleh aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se- Universitas Diponegoro (Undip) dan dihadiri oleh segenap mahasiswa Undip.

 

Dalam sambutannya, Agustina selaku wali kota terpilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menyampaikan ucapan terima kasihnya karena eksistensi mahasiswa yang tergabung dalam BEM, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), komunitas maupun organisasi ekstra kampus, atas peran dalam menyuarakan isu-isu keadilan, lingkungan, pendidikan dan hak masyarakat melalui cara-cara yang santun.

 

“Ini membuktikan bahwa Undip tetap hadir bukan hanya sebagai pengamat tapi sebagai pelaku dalam pembangunan bangsa,” jelas Agustina.

 

Pada kegiatan pembuka, Agustina menyampaikan materi terlebih dahulu dalam kurun waktu kurang-lebih 10 menit, di mana isinya menyampaikan bahwa Undip merupakan markas besar para kaum intelektual dan lahirnya para pemimpin bangsa. Selalu melibatkan diri dalam pembangunan dan tidak hanya berdasar pada omongan. Agustina juga menyinggung isu feminin karena bercermin pada dirinya yang saat ini menjadi wali kota perempuan di Kota Semarang

 

Diskusi ini disambut hangat oleh mahasiswa dengan menyampaikan aspirasi dan pertanyaan secara elegan, sopan dan santun. Agustina yang menerima pertanyaan juga menjawab dengan bertolak melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode 5 tahun yang mengambil semua suara, dan inisiatif dan mengenali terkait kebijakan yang dilakukan pemerintah kota selama ini sudah betul-betul jadi kebutuhan para pemuda termasuk mahasiswa.

 

Diskusi ini dibagi menjadi beberapa sesi pertanyaan. Pada sesi pertama, seorang mahasiswa biasa, Pasi (red: nama samaran) menanyakan eksistensi transportasi di Kota Semarang yang sebetulnya masih terbilang kurang. Terlebih bagi para mahasiswa di daerah Tembalang, di mana mobilisasi yang luas belum diimbangi dengan transportasi publik yang memadai.

 

Agustina menjawab bahwa transportasi publik yang masuk ke wilayah Tembalang memang masih terbatas. Hal ini karena anggaran juga tidak besar alokasinya terlebih saat ini sudah dikenai efisiensi. Harapannya, ada investor yang mau masuk dan memberikan dana, atau penghematan anggaran dengan bijak sehingga bisa dilimpahkan ke transportasi umum di seputar Tembalang. 

 

“Ya, mohon maaf memang Bus Rapid Transit (BRT) kita jumlahnya kurang banyak. Mudah-mudahan anggaran kita cukup, sehingga nanti bisa membeli bis tambahan, atau ada investor akan lebih bagus, sehingga kita hanya perlu biaya operasionalnya,” jelas Agustina

 

Pada wawancara terpisah, Pasi mengatakan bahwa jawaban Agustina selaku wali kota merupakan sebuah usaha untuk menyampaikan serta memetakan pendapat. Hal ini tidak sepenuhnya benar ataupun salah karena ia baru menjabat dalam kurun waktu beberapa bulan saja. 

 

“Tapi untuk jawabannya sendiri, menurut saya mungkin untuk beberapa persoalan ya karena kan beliau belum menjabat dalam periode setahun- dua tahun, ya mungkin masih banyak lah ya PR yang bisa beliau selesaikan, kita belum bisa menilai evaluasi kinerja beliau,” pungkas Pasi.

 

Ia juga turut mengapresiasi kehadiran wali kota selaku pemangku kebijakan di ranah kampus karena yang seharusnya duduk bersama mahasiswa adalah orang-orang seperti Agustin. Pasi menyebut demikian karena belakangan marak berita aparat masuk ke kampus. 

 

“Jujur ini merupakan gebrakan terbaru ya dari Bu Agustina yang mungkin tadi juga udah dijelaskan beliau emang kayak spontan gitu ya, gak sebulan ke sini. Tapi ini memang menunjukkan bahwa itikad beliau pengen diskusi sama mahasiswa,” tutupnya. 

 

Pertanyaan lain disampaikan oleh salah seorang anggota BEM Fakultas Sains dan Matematika (FSM), Ganda,  terkait isu lingkungan di mana aktivitas industri di beberapa tempat di Semarang masih mencemari lingkungan pengawasannya belum mumpuni. Ia menyampaikan bahwa hal ini beririsan dengan isu pesisir, kemudian menanyakan langkah konkret dari seorang wali kota yang membawahi langsung daerah yang tercemar.

 

Agustina menjawab pasti, bahwa untuk ke depannya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) akan berkonsentrasi pada hal pencemaran pula, terlebih kasus yang beririsan dengan pencemaran tanah oleh logam berat. Ia juga menyampaikan permohonan maaf karena sistem program kerja daerah biasanya selisih setahun antara penganggaran program dan pencairan dana. Adakalanya, hal ini pula yang menyulitkan untuk langsung mengeksekusi sebuah program.

 

“Saya mohon maaf mengapa kok ketika ada protes/masukan tidak bisa langsung dieksekusi, itulah sistem ketatanegaraan keuangan kita, jadi agenda yang akan dilaksanakan tahun ini, itu sudah direncanakan tahun lalu,” tutur Agustina.

 

Pada kenyataannya, dalam sistem peralihan pemerintahan, seseorang yang terpilih sesuai dengan hasil pemungutan suara, baru bisa melaksanakan perubahan di tempat daerahnya memerintah, ialah empat bulan sejak saat pelantikan. Maka, Agustina berjanji akan menjadikan permasalahan lingkungan sebagai salah satu konsentrasi untuk mewujudkan tagline kampanyenya: menjadi pusat perekonomian yang maju, berkeadilan sosial.

 

Mengenai isu fasilitas budaya dan bagaimana pengaruh budaya di Kota Semarang sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Annelies Yahya menyampaikan aspirasinya terkait kurangnya peminat fasilitas dan kelayakan wisata budaya di Kota Semarang 

 

Nah kami ingin meminta solusi dan aksi dari Ibu selaku wali kota Semarang dan kami memiliki banyak harapan terhadap pengembangan budaya yang terus diperhatikan pemerintah daerah,” tanya Annelies.

 

Agustina menjawab bahwa budaya bukan sekadar tarian, nyanyian dan pakaian. Sebab ada cara hidup, cara berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Secara kasatmata pembangunan fasilitas budaya yang akan menggandeng para seniman, akan jadi salah satu agenda, guna mengedepankan isu wisata budaya. Namun di samping itu, mulai dari gaya hidup dan berperilaku, semestinya mulai diperhatikan.

 

Agustina mengaitkan dengan isu kreak yang ada di Semarang. Keamanan lahir karena budaya. Kala media sibuk menggembar-gemborkan soal kreak, maka sebagai orang yang tinggal di Semarang membantah dengan mengunjungi tempat-tempat yang ada di Semarang. Kalau malam, bisa berkunjung ke Simpang Lima dan berkeliling, juga singgah ke tempat wisata yang nantinya akan dibangun secara bertahap. Bahkan dengan dua konsep yakni konservatif bagi seniman senior, dan modern bagi anak muda zaman sekarang.

 

Dalam wawancara terpisah dengan Annelies, ia menyampaikan kepuasannya akan jawaban Agustina terkait pertanyaan yang ditujukan kepada wali kota Semarang itu.

 

“Sebetulnya dari perspektif Ibu Agustin sendiri, yang selaku walikota dari fakultas saya itu memang saya memuaskan. Dari sudut pandang beliau ini sebagai seorang budayawan juga ini menjawab banyak sekali pertanyaan dalam benak saya,” tutur Annelies.

 

Pertanyaan lain menjawab seputar bagaimana bertahan menjadi seorang perempuan di era hari ini. Dengan amat sederhana Agustina menjelaskan bahwa perempuan berjuang dan bekerja keras adalah untuk setara, bukan menandingi. Maka kerjakan apapun yang ada di depan mata karena tak ada yang bisa menghambat selain diri sendiri. Di era sekarang, menjadi perempuan punya tantangan tersendiri.Oleh sebab itu, menjadi cerdas dan kreatif merupakan salah satu senjata utama untuk tetap bertahan.

 

Pertanyaan sesi terakhir ditutup oleh Adam Firdaus, Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) yang berkecimpung dalam Bidang Sosial Politik (Sospol) BEM Undip 2025  menanyakan bagaimana tanggapan Agustina terkait pergerakan yang melibatkan mahasiswa, juga persoalan Hari Buruh pada Kamis (1/5) yang diduga sempat terjadi tindakan anarkis.

 

Seperti di awal, Agustina menyampaikan rasa bangga dan terima kasihnya akan naluri mahasiswa yang mau bersuara. Dan turun ke jalan merupakan salah satu cara untuk tetap menggemakan kebenaran. Dalam pandangan Agustina, mahasiswa sebagai agen perubahan sepatutnya turut bergerak dalam aksi demi aksi yang juga melibatkan masyarakat. Melalui pergerakan tersebut, perubahan dipupuk.

 

Mengenai kejadian pada May Day di Semarang, Agustina percaya bahwa Undip tidak terlibat dalam tindakan tidak etis itu. Sebagai alumni yang satu almamater, ia yakin mahasiswa Undip tidak mungkin nekad dan kurang hati-hati dalam berperilaku. Wali Kota Semarang itu juga menyampaikan bahwa ia berada di Balai kota pada hari tersebut untuk berjaga dan berwaspada serta turut merayakan hari buruh bersama.

 

“Saya percaya Undip tidak mungkin terlibat dalam tindakan semena-mena seperti itu. Kita semua tahu, siapapun tahulah. Sebab ada banyak cara untuk bersuara,” tegas Agustin.

 

Diskusi publik ini menjadi wadah dan gebrakan baru dari salah seorang pemangku kebijakan. Di mana semestinya kampus dihadiri oleh orang-orang seperti Agustina untuk berdiskusi..

 

Harapannya, akan lebih sering lagi diadakan diskusi-diskusi seperti ini untuk membuka pikiran, mencerdaskan jawaban serta merealisasikan harapan terkait kebijakan dan tantangan untuk membangun Semarang yang lebih baik, serta menggandeng mahasiswa untuk melakukan perubahan. 

 

Reporter: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah, Mitchell Naftaly

Penulis: Mitchell Naftaly

Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top