Kebijakan Food Truck (Sumber: Unggahan Akun Instagram @undip.official)
Warta Utama – Pada Jumat, (13/9), Universitas Diponegoro (Undip) melalui unggahan akun Instagram resmi @undip.official merilis kebijakan baru terkait pembagian food truck. Kebijakan ini menuai protes dari sejumlah mahasiswa yang merasa ketentuan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) tidak adil.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2024, yang akan berlaku mulai 1 Oktober 2024, pembagian food truck di lingkungan Undip akan mengalami perubahan signifikan. Mengacu pada hasil monitoring dan evaluasi dari pihak universitas, kebijakan baru ini menetapkan bahwa hanya mahasiswa dengan UKT golongan 1 hingga 3 serta penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang berhak mengajukan tiket food truck.
Kebijakan ini dikhususkan untuk kampus utama di Semarang dan tidak berlaku untuk Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) dan Jepara.
Langkah ini diambil untuk memastikan distribusi bantuan food truck lebih tepat sasaran. Pihak universitas berharap dapat memberikan dukungan yang lebih fokus pada mahasiswa yang dianggap paling membutuhkan.
Meski niat di balik kebijakan ini adalah untuk membantu mahasiswa dengan kemampuan finansial terbatas, berbagai reaksi dari kalangan mahasiswa menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak diterima dengan baik. Banyak yang merasa bahwa ketentuan tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi mahasiswa yang sebenarnya.
Dimas, salah satu mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) menyatakan kekecewaannya terkait ketidakadilan dalam kebijakan ini.
“Cukup mengecewakan karena menciptakan perbedaan perlakuan antarmahasiswa. Semua mahasiswa berhak mendapatkan fasilitas kampus ini, terutama karena mahasiswa dari golongan UKT atas sudah membayar mahal,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kasus penentuan golongan UKT yang tidak tepat sasaran, yang berdampak tidak hanya pada golongan tertentu tetapi juga seluruh mahasiswa.
Seorang mahasiswa melalui akun X @undipmfs menulis, “emosi bet gue, monitoring & evaluasi dulu noh UKT dengan kemampuan mahasiswa yang sebenarnya! Katanya Undip bermanfaat.”
Kritik seperti ini menyoroti kesenjangan yang dirasakan oleh sebagian mahasiswa antara sistem penetapan UKT dan situasi ekonomi keluarga mereka. Mahasiswa golongan 4 ke atas merasa kebijakan food truck ini tidak adil, karena mereka pun mengklaim bahwa beban UKT yang tinggi telah menguras keuangan mereka, tetapi tidak dianggap layak untuk mendapatkan bantuan food truck.
Salah satu mahasiswa Fakultas Teknik (FT) yang tidak ingin disebutkan namanya menyuarakan, “Kalau buat aturan, jangan hanya dikhususkan buat golongan 1 sampai 3. Itu namanya diskriminasi terhadap mahasiswa golongan 4 ke atas. Uang saku dari orang tua harus bisa dialihkan ke hal lain jika bisa berhemat dengan food truck.”
“Pemberian makanan gratis bisa dianggap ‘100000/10,’ alias sangat penting untuk semua mahasiswa yang minat dan sesuai kebutuhan tanpa memandang UKT,” tambah Wisnu, mahasiswa lain dari FT.
Bagi mereka, akses terhadap food truck dinilai sebagai salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran sehari-hari, yang dianggap adil dan penting di tengah biaya kuliah dan kebutuhan lainnya yang besar. Kebijakan ini seharusnya merata karena fokusnya pada kebutuhan dasar, bukan kemampuan finansial.
Komentar lain menambahkan, “Tolong banget, ini kebijakan food truck bisa dibatalin aja ga? Lo pikir golongan 3 ke atas kaya semua? Justru yang harusnya dapat food truck itu golongan 3 ke atas karena sudah terkuras banyak buat bayar UKT.”
Keluhan ini mencerminkan realitas bahwa banyak mahasiswa yang berada di golongan UKT lebih tinggi merasa terjebak dalam kebijakan yang tidak memperhitungkan kondisi ekonomi riil mereka. Sistem penentuan UKT seringkali dianggap kurang transparan dan fleksibel dalam menangkap kondisi finansial yang sesungguhnya.
Masalah ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sistem UKT di berbagai universitas di Indonesia, termasuk di Undip, kerap menjadi sumber kontroversi. Banyak mahasiswa merasa bahwa penetapan golongan UKT sering kali tidak mencerminkan kemampuan ekonomi yang sebenarnya dan malah memberikan beban keuangan yang berlebihan pada keluarga.
Salah satu mahasiswa lain bahkan menyatakan, “sakit banget lihat kebijakan food truck sekarang. Gak semua golongan 4 ke atas kaya-kaya. UKT-ku nggak sesuai sama kondisi ekonomiku.”
Reaksi-reaksi semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan food truck yang terbaru justru membuka kembali perdebatan tentang sistem UKT itu sendiri. Mahasiswa mendesak agar kebijakan bantuan semacam ini perlu lebih fleksibel dan memperhitungkan kondisi mahasiswa yang berada di luar kategori penerima manfaat, tetapi tetap memerlukan bantuan. Kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial di kalangan mahasiswa.
“Mahasiswa yang merasa tidak diikutsertakan dalam kebijakan ini bisa merasa dipinggirkan, menciptakan jarak antara kelompok-kelompok mahasiswa berdasarkan ekonomi,” kata Dimas.
Protes mahasiswa ini menjadi tantangan bagi Undip untuk meninjau ulang kebijakan yang diterapkan. Meskipun kebijakan food truck bertujuan untuk membantu mereka yang paling membutuhkan, universitas harus menghadapi kenyataan bahwa banyak mahasiswa merasa sistem yang ada saat ini tidak adil.
Pada akhirnya, kebijakan seperti food truck yang seharusnya meringankan beban mahasiswa, jangan sampai justru memperparah ketidakpuasan terhadap sistem yang ada. Mahasiswa berharap ada perubahan nyata dalam kebijakan ini, agar manfaat yang dimaksudkan benar-benar dirasakan oleh semua yang membutuhkan.
Sampai berita ini terbit, awak Manunggal masih berusaha meminta keterangan lebih lanjut kepada pihak universitas mengenai kejelasan dari kebijakan terbaru tersebut. Postingan akun Instagram @undip.official yang merilis kebijakan baru terkait pembagian food truck telah dihapus pada Sabtu, (14/9). Hal ini menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa mengenai alasan di balik penghapusan unggahan tersebut dan kelanjutan dari kebijakan yang sempat diumumkan.
Reporter: Nuzulul Magfiroh
Penulis: Nuzulul Magfiroh
Editor: Hesti Dwi Arini, Ayu Nisa’Usholihah