
Kover album YURA yang dirilis tahun 2014, dengan hitsnya “Cinta dan Rahasia”. (Sumber: Spotify.com).
Musik – Bagi para penggemar musik pop Indonesia, mendengar nama Glenn Fredly dan Yura Yunita pastilah bukan hal yang asing. Hasil karya-karya mereka tak sebatas bertengger di platform musik saja, melainkan juga hadir dalam platform hiburan masa kini, seperti TikTok. Terakhir kali, lagu “Sedih Tak Berujung” – Glenn Fredly dan “Risalah Hati – Yura Yunita (Dewa cover), sempat menjadi tren backsound di aplikasi TikTok. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya mereka telah banyak didengar oleh khalayak umum. Namun, apakah kalian pernah mendengar karya hasil duet mereka? Sebagai salah satu masterpiece—pada masa itu, sekitar tahun 2014-an. Lagu tersebut bertajuk “Cinta dan Rahasia”, satu-satunya lagu dalam album YURA yang dinyanyikan secara duo.
Biasanya, lagu-lagu yang bertema antagonis—meski yang antagonis tak selalu buruk (antagonis dinamis), menggunakan diksi-diksi yang menimbulkan adanya relasi kuasa di dalamnya. Misalnya dalam lagu “Suit Suit He He (Gadis Sexy)” atau “Aku Cinta Kau dan Dia”, kedua lagu tersebut memakai progresi chord mayor dan dibalut dengan lirik-lirik yang mengobjektifikasi, sehingga menciptakan kesan bahwa lagu antagonis akan selalu berdiri dengan lirik dan nada yang menimbulkan superioritas dalam diri pelaku. Berbeda dengan lagu antagonis Indonesia pada umumnya, “Cinta dan Rahasia” diaransemen dengan karakter yang jauh lebih catchy, di mana hal ini adalah ide yang luar biasa. Menciptakan lagu yang antagonis tetapi terdengar soft spoken, bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, Glenn dan Yura berhasil menciptakan dan membawakannya.
“Cinta dan Rahasia” telah diputar sebanyak 168 juta kali di platform YouTube dan 200 juta di Spotify, menunjukkan betapa suksesnya lagu ini. Di balik kesuksesan lagu tersebut, ada ironi yang hidup di dalamnya. Lalu, apa ironi yang tumbuh itu?
Lagu yang terdiri dari 2 verse, sebuah chorus, dan repetitif ini, secara garis besar menceritakan mengenai dilema cinta yang tengah dialami oleh pelaku. Memang, ketika mencari definisi dari cinta itu tak pernah ada habisnya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Kahlil Gibran—penyair asal Lebanon, amatlah sukar untuk merumuskan cinta dalam kata-kata, tetapi akan lebih penting apabila cinta itu dialami dan dihayati oleh masing-masing orang. Menilik dari pernyataan Kahlil Gibran, sudah dapat dipastikan bahwa masing-masing orang akan memiliki definisi cinta mereka sendiri. Namun, definisi cinta ini dicederai oleh lagu “Cinta dan Rahasia”, bagaimana bisa?
Terakhir kutatap
mata indahmu dibawah bintang bintang
Terbelah hatiku
antara cinta dan rahasia
Kucinta padamu
namun kau milik sahabatku
Dilema hatiku
Andai kubisa berkata sejujurnya
Jangan kau pilih dia
Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia
Bukan kuingin merebutmu
Dari sahabatku
Namun kau tahu
Cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
Dalam karyanya—The Prophet, Kahlil Gibran menjelaskan bahwa aspek kebebasan dalam cinta memiliki dua makna. Pertama, bebas memilih seseorang yang ingin dicintainya, kedua—kemandirian dalam hubungan. Memang, mencintai seseorang adalah hak yang paling asasi dan sangat tidak bisa diintervensi. Tetapi, bila melihat lagu “Cinta dan Rahasia” di atas, apakah telah “memenuhi” aspek kebebasan cinta yang diutarakan oleh Kahlil?
Perkara cinta memang tidak bisa timbul begitu saja, tetapi ia akan tumbuh karena terbiasa. Seperti pepatah Jawa yang kerap kita dengar, witing tresno jalaran seko kulina. Nah, jalaran dalam lagu ini tidak merujuk pada hubungan yang sehat. Pada verse, “Terakhir, kutatap mata indahmu di bawah bintang-bintang” —pelaku memiliki track record dengan orang yang ditaksirnya, dalam hal ini adalah sebagai teman yang ditaksir. Kemudian, dipertegas dalam verse selanjutnya, “Terbelah hatiku, antara cinta dan rahasia”, pelaku mulai merasakan kegoyahan dalam dirinya. Mulai timbul benih-benih antara cinta—rasa suka dalam dirinya dan sebuah rahasia, sesuatu hal yang tak bisa diutarakan.
Jika ditilik melalui aspek kebebasan cinta yang digagas oleh Kahlil Gibran, memang benar mencintai adalah hal yang paling asasi dan tidak bisa diintervensi, tetapi tiada artinya apabila kebebasan tidak ditimpali dengan akal sehat. Dalam chorus, terlihat bahwa idealisme pelaku mulai muncul. Demi memuaskan hatinya, ia ingin kekasih sahabatnya menjadi miliknya. Suatu hal yang tragis apabila menjadi sahabatnya. Bayangkan saja, hubungan mereka (sahabat pelaku-kekasihnya) telah berjalan lama, melewati berbagai ombak yang menghadang, malah muncul tsunami yang disebabkan oleh sahabatnya sendiri.
Alih-alih tsunami itu berhenti, justru menghantam lebih kencang. Dalam chorus kedua, “Pilihlah aku yang mampu mencintamu lebih dari dia”–menunjukkan superioritas yang dimiliki oleh pelaku, di mana ia merasa bisa memberikan cinta yang lebih ketimbang sahabatnya. Kemudian, antagonisme pelaku semakin terlihat dalam lirik “Namun kau tahu, Cinta tak bisa tak bisa kau salahkan”, dengan dalih cinta adalah sebuah kebebasan, pelaku menjadikan cinta sebagai tameng akan kebodohannya. Tentu, sebuah kebodohan yang tidak bisa ditolerir apabila hal ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, apalagi dilakukan kepada sahabatnya sendiri. Lagu ini secara aransemen memang simpel dan bagus, hingga bisa disebut masterpiece, tetapi penulis sangat menolak keras isinya. Entah bagaimana bisa orang yang paling anda percaya, malah menaruh rasa pada seseorang yang sangat kamu sayangi, tindak kejahatan mana yang bisa menandingi hal ini?
Lagu “Cinta dan Rahasia” dari segi aransemen memang cukup apik dan diksinya catchy, tapi yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai kita—pendengar malah mempraktikkan isi lagunya, memangnya mau mengemban label traitor?
Selamat mendengarkan!
Penulis: Benedictus Wegig Andaru Surya
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah
Referensi:
Gibran, Kahlil. (2017). Almustafa. Diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta: Bentang Pustaka.



