Di Semarang, Kami Dihukum Karena Tidak Mendengar Imbauan Polisi

Potret kericuhan saat demonstrasi Omnibus Law Oktober 2020 lalu. (Sumber: Nur Chamim/Jawa Pos Radar Semarang)

Perjalanan – Tengah hari tepat di tanggal 8 Juni 2021, Izra dan Ahya berjalan memunggungi gedung Pengadilan Negeri untuk menemui kawan-kawannya di luar yang sudah sedari pagi diguyur panas matahari, menunggu putusan pengadilan. Pers yang juga menunggu, segera berkerumun melemparkan pertanyaan bertubi-tubi memburu keterangan dan kabar pada kuasa hukum terdakwa.

Sambil menunggu Igo dan Akhru yang masih menjalankan sidang pada sesi selanjutnya, massa aksi bersama-sama menyanyikan larik-larik perlawanan. Salah satunya, menyanyikan syair “Apa Guna” yang ditulis oleh sastrawan-cum-aktivis yang hilang pada tahun 1998, Wiji Thukul. Pada saat menyanyi, massa aksi sengaja mengarahkan pengeras suara ke gedung Pengadilan Negeri, yang di sana juga terlihat aparat kepolisian sedang berjaga.

Di desa-desa rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna punya ilmu tinggi

Kalau hanya untuk mengibuli

Salah satu massa aksi yang hadir, menantang polisi untuk memberikan pendapat mereka tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dia bersedia memberikan uang tunai satu juta rupiah bagi polisi yang melakukannya. Namun, tidak ada satupun polisi yang mengambil alih pengeras suara untuk berbicara.

Setelah keempat terdakwa berkumpul, secara bergantian mereka mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang selalu mendukung mereka. Walaupun dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim, mereka tetap merasa bangga karena telah menjadi bagian dari pejuang demokrasi yang menggunakan dan memperjuangkan hak mereka. Aksi solidaritas itu diakhiri dengan memandikan salah satu massa aksi dengan air kembang, sebagai simbol penyucian Pengadilan Negeri dari aura-aura jahat dan doa bersama.

Majelis Hakim memutuskan mereka berempat bersalah karena telah melanggar pasal 216 KUHP. Mereka dianggap bersalah karena tidak menuruti himbauan yang diberikan oleh aparat kepolisian. Pasal ini, sebagaimana disampaikan Direktur LBH Semarang, Eti Oktaviani, adalah pasal karet yang terakhir digunakan di zaman Orde Baru untuk mengkriminalisasi.

Mereka berempat divonis pidana penjara tiga bulan dengan enam bulan masa percobaan. Artinya, jika dalam waktu enam bulan mereka tidak melakukan tindakan melanggar hukum, mereka tidak akan dipenjara.

Keempat mahasiswa tersebut adalah Mukhammad Akhru Muflikhun (Udinus), Igo Adri Hernandi (Undip), Izra Rayyan Fawaidz dan Nur Achya Affifudin (Unissula). Kisah mereka bermula pada 7 Oktober 2020.

Hari itu, mahasiswa, buruh, dan lapisan masyarakat sipil dari seluruh penjuru Jawa Tengah berkumpul di Kantor Gubenur dan DPRD Jawa Tengah untuk membatalkan pengesahan Omnibus Law yang ketok palu dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Dewan Perwakilan Rakyat mengebut pengesahan yang mulanya akan diselenggarakan pada 8 Oktober 2020. Banyak pihak yang menganggap bahwa Omnibus Law mengandung banyak masalah, baik dalam sektor ketenagakerjaan, lingkungan hidup, pers, juga pendidikan (https://tirto.id/daftar-pasal-bermasalah-dan-kontroversi-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-f5AU). Dengan tujuan dan alasan yang sama, Igo, Izra, Akhru, dan Achya berangkat mengikuti kata hatinya untuk mengikuti demonstrasi hari itu.

Bagi Izra yang seorang pencinta alam, dia tidak sanggup membayangkan bagaimana jika nanti para petani yang sering dia temui setiap mendaki gunung, masyarakat pesisir yang memberikannya tumpangan ketika menyusuri pantai, dan para pemandu goa yang mengiringinya agar tidak tersesat, serta jutaan masyarakat yang bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam. Baginya, Omnibus Law hanya akan memperparah kerusakan lingkungan karena ditariknya kewenangan perizinan pengelolaan ke pemerintah pusat dan memperlonggar ketentuan mengenai AMDAL.

“Kalau kepentingan usaha menyingkirkan kepentingan lingkungan, tentu hal ini harus ditolak oleh nurani siapapun. Bahkan, hal ini dapat membahayakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi industri. Lingkungan hidup semestinya dikelola dengan sehati-hati mungkin, demi keberlangsungan generasi penerus,” tutur Izra dalam nota pembelaanya.

Bagi Achya, Omnibus Law akan menimbulkan ketidakadilan bagi buruh. Menurutnya, Omnibus Law menyebabkan  kebijakan upah minimum tidak lagi melibatkan partisipasi, melainkan diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, upah minimum Jawa Tengah sudah sangat rendah dibanding provinsi lain. Selain itu, pekerja kontrak akan semakin banyak, sehingga tidak mendapatkan jaminan di masa tua.

“Generasi seangkatan saya, yang nanti akan menjadi pekerja, tentu saja akan sangat terdampak. Omnibus Law membuat kita menjadi budak di negara kita sendiri,” ucap Izra membacakan nota pembelaannya.

Istilah Omnibus Law pertama kali muncul dalam pidato Presiden Joko Widodo dalam pelantikan periode keduanya (20/10/2019). Ia mengatakan akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, UU Pemberdayaan UKM (https://jeo.kompas.com/amp/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024). Omnibus Law dinilai dapat merevisi puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMKM.

Pukul 10 pagi itu, Igo berangkat menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah, setelah terlebih dahulu menjemput teman masa kecilnya, Akhru, yang jarak rumah antara keduanya cukup dekat. Mereka sudah sepakat untuk berangkat bersama menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah. Sebelum berangkat, mereka menyempatkan diri untuk sarapan mengisi perut terlebih dahulu.

Sekitar pukul 11 siang, seusai sarapan, mereka berangkat dari Salatiga. Mereka sampai di Tri Lomba Juang sekitar pukul 12.

“Awalnya aku cuma mau antar Akhru aja ke Tri Lomba Juang, ke temen-temennya di Udinus. Tapi, dari pada bulak-balik, aku sekalian aja ikut sama Udinus. Dari pada nanti terpisah sama Akhru,” terang Igo.

Mereka kemudian didata oleh koordinator dari Udinus. Mereka diberikan pita berwarna merah di lengannya untuk menandai bahwa mereka bagian dari massa aksi.

Lewat tengah hari, setelah sholat zuhur, mereka berdua beserta rombongan dari Udinus melakukan long march menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah melalui Taman Indonesia Kaya. Sesampainya di sana, mereka melihat bahwa pagar Kantor Gubernur sudah rubuh. Mereka segera bergabung dengan massa aksi yang sudah melimpah ruah memadati jalanan membunyikan dalil-dalil perlawanan. Igo dan Akhru dengan tertib mengikuti agenda demonstrasi, mulai dari menyanyikan lagu-lagu perlawanan, hingga mendengarkan orasi-orasi penuh semangat yang diteriakan dari mobil komando.

Kerusuhan Dalam Demonstrasi.

Selepas Ashar, agenda demonstrasi yang damai, berubah menjadi petaka kerusuhan. Massa aksi mulai melempar benda-benda tumpul ke dalam gedung. Ada yang melempar botol, batu, dan bom asap. Massa aksi juga memecahkan pot-pot tanaman yang ada di pinggir jalan.

“Lempar, lempar, lempar”, teriakan-teriakan provokatif terdengar.

Ahya dan Izra menolak bercerita ketika kami hubungi. Mereka mengarahkan kami untuk meminta penjelasan pada kuasa hukumnya, Ignatius Rhadite.

“Ahya dan Izra sempat melihat, beberapa orang yang tidak seperti mahasiswa. Segerombolan orang ini tidak menggunakan atribut mahasiswa maupun buruh. Mereka menggunakan jaket yang menutupi seluruh tubuhnya dan buff. Orang-orang ini yang meminta massa aksi untuk melempar,” jelas Rhadite.

Izra tidak tahu iblis macam apa yang merasukinya, dia terpancing untuk melakukan hal yang sama. Dia spontan melihat sekeliling untuk mencari benda yang bisa dilempar. Melihat ada kerikil di dekat kakinya, dia kemudian ikut melempar ke dalam gedung. Dia juga mengambil traffic cone, dan melemparinya melewati pagar gedung. Sedangkan Achya mengambil baskom makanan anjing K-9 dan melemparinya. Semua lemparan yang mereka lakukan mendarat begitu saja di tanah tanpa mengenai apapun.

Di sisi lain, seorang massa aksi yang berdiri di atas mobil komando berusaha memperingati kawan-kawannya. Di antara botol minuman dan batu kerikil yang berterbangan ke arah gedung, dia berusaha menenangkan massa aksi.

“Walaupun udara panas, kepala kita harus tetap dingin, kawan-kawan,” kata orang itu berulang-ulang.

Massa aksi yang sependapat dengan komando, juga berusaha menenangkan kawan-kawannya. Mereka menyanyikan lagu untuk mengingatkan kawannya akan agar mewaspadai orang yang memprovokasi.

“Hati-hati. Hati-hati. Hati-hati provokasi,” massa aksi bersenandung. Lagu yang nadanya persis dengan lagu Iwak Peyek karya Trio Macan

Polisi juga berusaha mengingatkan aksi massa untuk berunjuk rasa dengan damai.

“Kita jaga Kota Semarang ini agar tetap aman. Karena ini adalah kota kita, karena ini adalah kota kita. Jangan sampai kota kita disusupi oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk membuat kota kita menjadi rusuh, untuk membuat kota kita menjadi rusak,” ucap seorang polisi dari mobil komando milik mereka.

Ketika kerusuhan terjadi, Akhru sempat mengabari teman-temannya di Udinus bahwa dia dan Igo akan pulang. Hal ini dia lakukan agar jika nanti terpisah, tidak dicari oleh teman-temannya. Mereka berdua juga melepas pita yang sebelumnya melingkari lengannya kemudian ikut melempar kerikil ke dalam gedung.

“Aku juga ikut ngelempar batu. Gak inget ngelempar berapa, banyak banget. Aku berhenti karena takut, punya feeling ada yang ngeliatin,” aku Akhru.

Igo juga mengakui bahwa dirinya ikut melempari batu ke dalam gedung. “Ada yang memprovokasi, nyuruh ngelempar. Waktu itu aku spontan ngelempar batu, tapi cuma dua kali. Aku berhenti karena ada bapak-bapak, yang sebelumnya aku bantu untuk membagikan minuman, ngingetin aku untuk berhenti.”

Polisi yang gatal dengan kelakuan massa aksi, kemudian memutuskan untuk melakukan tindakan keras. Aparat kepolisian menyemprot massa aksi dengan water canon. Tak cukup itu, polisi juga menembakan gas air mata. Massa aksi seketika buyar. Mereka berlari tunggang-langgang ke segala arah menghindari serbuan polisi.

Igo dan Akhru memutuskan untuk lari ke Jalan Gergaji Pelem. Mereka memutuskan untuk kembali Tri Lomba Juang yang menjadi titik kumpul mereka lewat jalan memutar. Di depan SMAN 1 Semarang, mereka melihat ada polisi yang mengawasi mereka. Igo dan Akhru seketika was-was.

Yang mereka takutkan pun terjadi. Di depan SMKN 4 Semarang, pukul 5 sore, polisi menangkap mereka. Awalnya, mereka masih beralasan jika mereka hanya membeli baju di sekitar situ. Polisi tak mudah percaya, dan memeriksa ponsel mereka. Ketika polisi memeriksa ponsel mereka, dada mereka terasa panas. Takut.

Igo dan Akhru mampus, polisi menemukan grup WhatsApp untuk koordinasi demo. Polisi juga menemukan video yang diambil Igo ketika demonstrasi. Tanpa ba-bi-bu, polisi mengangkut mereka dan membawanya ke gedung DPRD Jawa Tengah.

Igo dan Akhru, bersama seorang lain dibawa menggunakan mobil. Dalam perjalanan menuju DPRD, polisi menendang telinga Akhru dari samping. Polisi membabi buta memukul dan menendangi Akhru. Dia hanya bisa menangkis dan melindungi kepalanya menggunakan tangan. Namun dari tiga orang di dalam mobil, hanya Akhru saja yang mengalami tindak kekerasan.

yo, ga ngerti juga Mas kenapa cuma aku aja yang dipukuli,” jelas Akhru.

Polisi lain yang tak tega melihat itu, kemudian menghentikannya. Dia menarik temannya dan memintanya untuk berhenti memukuli Akhru. Sesampainya di Gedung DPRD, Igo dan Akhru diminta bergabung dengan ratusan orang lain.

Sedangkan Izra, ketika demonstrasi rusuh, lari menjauh ke Simpang Lima bersama kelompoknya. Menjelang matahari tenggelam, Izra dan teman-temannya memutuskan untuk pulang. Mereka kemudian menuju patung kuda Pleburan untuk mengambil motor yang mereka parkirkan di sana.

“Kemudian ada anggota brimob yang menarik Izra, sambil bilang ‘iki pelakune, iki pelakune’,” Rhadite menceritakan kembali apa yang dialami Izra.

Teman-temannya seketika melihat. Mereka berusaha menghentikan polisi dan membela Izra yang akan ditangkap.

 

Penulis: Muhsin Sabilillah, mahasiswa Prodi Sastra Indonesia 2019

Editor: Aslamatur Rizqiyah, Dyah Satiti

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top