Peristiwa – Seiring dengan maraknya isu kekerasan seksual di kampus, Universitas Diponegoro (Undip) turut menerbitkan Draf Rancangan Rektor Universitas Diponegoro terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Hal ini menjadi langkah awal yang konkret dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman serta terbebas dari isu kekerasan seksual. Namun, pasca diterbitkannya draf tersebut, terdapat catatan kritis beberapa pasal dari Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Angkatan 2019, Angela Augusta dan beberapa rekannya yang diunggah melalui laman Instagram pribadi pada Minggu (13/02). Harapannya, catatan tersebut dapat menjadi saran agar Peraturan Rektor tentang PPKS di Undip dapat mengakomodasi segala kebutuhan yang diperlukan dalam penanganan isu PPKS ini.
Pada Kamis (17/2), awak Manunggal mewawancarai Angela untuk memberikan penjelasan analisis mengenai beberapa pasal yang dikritisinya. Catatan kritis pertama terdapat pada Pasal 1 ayat 19, pasal tersebut berisi tentang Sistem Pelayanan Terpadu (SPT) sebagai sebuah sistem layanan dan tindakan yang terkoordinasi dan terintegrasi. Menurut Catatan Kritis Draf Rancangan Pertor, seharusnya ada penjelasan mengenai alur pembentukan dan mekanisme dari SPT tersebut yang dapat berupa SOP atau bentuk lain.
Menurut catatan Draf Rancangan Pertor tentang PPKS, alur pembentukan mekanisme yang ideal ialah dengan mengintegrasikan antara SPT dan Unit Layanan Terpadu (ULT) agar komponen serta unsur dari SPT dan ULT, seperti beberapa dosen, mahasiswa, serta unsur-unsur lain dapat dicantumkan dan diatur secara spesifik.
“Harapannya ketika komposisi dari unsur ini sudah jelas maka akan lebih memudahkan Pertor dalam proses pembentukan dengan melibatkan lebih banyak unsur baik dari dosen, mahasiswa, dan lain-lain,” ujar Angela. Ia juga menambahkan, untuk unsur yang ideal, sebenarnya yang terpenting jelas harus ada perwakilan dari kampus, dalam hal ini bisa dari dosen, ahli yang memang punya perspektif yang sama, yaitu perspektif korban, baik itu secara hukum, psikologis, atau apa pun, dan unsur mahasiswa baik itu lembaga ataupun tidak.
Catatan kritis yang kedua, yaitu pada pasal 1 angka 20 mengenai Unit Layanan Terpadu (ULT), yang merupakan tempat pelayanan bagi masyarakat Undip mengenai informasi dan laporan dugaan kekerasan seksual. Pembentukan ULT ini harus bisa menjamin keamanan data-data terkait kekerasan seksual, misal identitas korban dan hal-hal lain yang memang sangat penting untuk bisa dijaga kerahasiaannya.
Catatan kritis ketiga, yaitu pada pasal 3 memuat definisi kekerasan seksual masih bersifat umum jika dibandingkan dengan Permendikbudristek No. 30. Definisi kekerasan seksual dari Draf Rancangan Pertor saat ini masih mengacu pada RRU PKS tahun 2017, sedangkan hingga saat ini RUU PKS masih belum disahkan menjadi UU. Oleh sebab itu, RUU PKS belum bisa menjadi rujukan sepenuhnya.
Selain itu, definisi kekerasan seksual yang dimuat di dalam Draf Rancangan Pertor hanya menyangkut tentang kekerasan fisik dan nonfisik. Catatan Kritis Draf Rancangan Pertor mengkritisi bahwa ruang lingkup dari kekerasan seksual tersebut masih sangat general jika dibandingkan Permedikbudristek No. 30. Definisi kekerasan seksual tersebut juga belum mencakup Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), tindakan perpeloncoan, tindakan merendahkan seseorang karena bias gender, dan tindakan kekerasan seksual lain yang kerap ditemui dalam ruang kampus.
“Tindakan-tindakan tersebut perlu sekali dituangkan dalam bentuk peraturan, karena ketika dituang dalam bentuk peraturan artinya di situ ada suatu keharusan dari pihak direktorat dan masyarakat Undip untuk bisa mematuhi itu, untuk bisa mencegah hal-hal yang tidak dapat terjadi itu berulang kembali,” jelas Angela. Ia membubuhkan bahwa definisi mengenai kekerasan seksual yang lebih spesifik sudah tercantum di dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021, sehingga Draf Rancangan Pertor dapat mengakomodir dari definisi tersebut.
Catatan kritis keempat, yaitu pada Pasal 7 ayat 4, terkait harapan agar dapat terjadinya kemudahan akses dari ULT dan SPT. Perlu pembentukan Standard Operating Procedure (SPO) secara terpadu untuk menjelaskan alur sistem SPT serta kewenangan yang dimiliki oleh ULT.
“Agar penanganan kekerasan seksual apalagi kalau sudah terjadi, tindak lanjut dari tindak kekerasan seksual itu berlangsung secara praktis dan mengakomodir kepentingan korban,” tambah Angela.
Catatan kritis kelima, yaitu pasal 15 terkait harapan akomodasi pendampingan korban jarak jauh. Untuk mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual, perlu diperhatikan lebih lanjut jenis pendampingan seperti apa yang dibutuhkan oleh korban. Pendampingan dapat berupa pendampingan psikologis, pendampingan hukum, dan sebagainya.
“Apabila dalam persidangan korban perlu bersaksi, jangan sampai ada pengulangan berulang kali untuk korban menyampaikan kronologi,” tutur Angela. Karena, ketika korban menyampaikan kronologi dan menceritakan ulang hal-hal yang mungkin sangat traumatis, hal itu akan memengaruhi kondisi psikis korban. “Sehingga, segala jenis pendampingan dalam persidangan dan hal lain itu tidak memicu atau memperburuk keadaan dari korban,” imbuh mahasiswa Fakultas Hukum tersebut.
Menurut Angela, dibuatnya Draf Rancangan Pertor ini menjadi sebuah langkah preventif kekerasan seksual yang sangat baik bagi Undip. Sebab, memang perlu sekali diadakan sebuah aturan hukum yang secara tegas dapat menangani kekerasan seksual yang terjadi di lingkup Undip.
Angela berharap bahwa draf ini dapat sesegera mungkin disahkan dan mampu mengakomodir kebutuhan sivitas akademik Undip sehingga itu dapat menjadi suatu langkah preventif yang sangat baik. Setelah disahkan, perlu adanya edukasi dan sosialisasi dari peraturan untuk dikawal bersama agar implementasinya dapat meningkatkan awareness mengenai kekerasan seksual dan dapat mengakomodir kebutuhan sivitas akademik, terutama korban dari kekerasan seksual.
Reporter: Sukriwan R, Siti Latifatu S
Penulis: Sukriwan R, Siti Latifatu S
Editor: Rafika Immanuela, Malahayati Damayanti F