
Punk, nama yang tak asing bagi sebagian besar orang. Mungkin di benak kita saat mendengar istilah itu, akan terlintas bayangan tentang musik yang keras dengan tempo yang cepat serta anak-anak muda berpenampilan kurang ajar dan mencolok.
Namun, bagi Bagus Widianto dan para punggawa Kendeng Squad lainnya, punk bukan hanya sekedar tampilan dan alunan musik yang sedemikian rupa. Bagi mereka, punk adalah bahan bakar yang digunakan bersama para petani Kendeng dalam melawan aktivitas pertambangan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara.
Kendeng Squad adalah sebuah grup musik punk rock asal Sukolilo, Kabupaten Pati yang beranggotakan Bagus Widianto sebagai vokalis dan gitaris, Ragil sebagai gitaris bas, dan Falah sebagai drumer. Grup musik ini telah menelurkan lagu-lagu bertemakan perlawanan seperti, “Berani Bertani”, “Lawan Rasisme”, “Mars Kendeng”, “Polisi Kelewatan”, dan masih banyak lagi.
Kendeng Squad bermula dari keinginan Bagus Widi untuk melakukan bentuk pergerakan lain selain aksi-aksi demonstrasi yang sudah sering mereka lakukan. Demonstrasi yang kerap diinisiasi oleh petani-petani Kendeng lainnya ini tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Lewat syair mengena dalam lagu-lagunya, Kendeng Squad menunggangi harmoni musik yang gahar sambil menyuarakan isu perlawanan terkait.
“Aku mendirikan KendengSquad itu karena gunung-ku mau dikeruk, terus aku gimana kalau melawan tidak hanya aksi-aksi doang, (tapi, red) bikin karya lagu, bikin band, jadilah Kendengsquad. Termasuk musik perlawanan tentang kerusakan lingkungan. Soalnya Kota Pati itu lumbung petani, tidak hanya milik industri,” tutur Bagus Widi dalam film dokumenter Ibu Bumi.
Berbicara laku kreatifnya, Kendeng Squad bisa dibilang agak eksperimentalis. Salah satu video klip lagu mereka yang berjudul “Berani Bertani” banyak mengandung unsur-unsur noninstrumen musik, seperti suara deru buldozer, percik aliran irigasi sawah, gemuruh penambangan, suara pabrik, dan bahkan bahana ledakan dinamit.
Bunyi-bunyian itu merepresentasikan realitas kebudayaan di lingkungan hidup mereka yang agraris dan diberkahi dengan sumber air melimpah. Sayangnya, harus dibayang-bayangi oleh teror penambangan yang mengancam fungsi bukit-bukit kapur Kendeng sebagai penyimpan air raksasa.
“Aku mencocokkan suara-suara pabrik, ledakan tambang, suara air yang digunakan untuk mengairi sawah, supaya masyarakat tidak hanya mengenal musikku tapi agar menjaga (lingkungan Kendeng, red) itu,” imbuh Bagus Widi.
Tak hanya menyuguhkan tema-tema yang serius, Kendeng Squad juga memiliki selera humor yang pas dengan kehidupan pedesaan yang jujur dan apa adanya. Hal itu tercerap pada lagu dan video klip “Kliwon” yang bercerita tentang sapi peliharaan Bagus Widi yang lahir pada Senin Kliwon.
Mengenai produktivitas sebagai musisi, Bagus Widi yang juga seorang petani ini mengaku Kendeng Squad telah banyak melakukan performa keliling kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Umumnya mereka mengisi gigs yang diselenggarakan oleh kolektif-kolektif seni, bahkan pada pandemi sekalipun. Seperti pada 5 September 2020 silam, Kendeng Squad sukses menggetarkan panggung kolektif Runks Pride di kafe Q-Lap Gribig, Kabupaten Kudus.
Meskipun untuk sementara Kendeng Squad “vakum” karena para personilnya sibuk dengan pekerjaan utama masing-masing, Bagus Widi optimis menuturkan bahwa grup musiknya bakal segera meluncurkan kumpulan rekaman perdana mereka.
“Aku duwe rencana bikin mini album, isinya delapan lagu,” timpal Bagus Widi mengakhiri obrolan dengan awak Manunggal, Sabtu (27/2) sore.
Penulis : Anasta Caesar Ibrahima, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya 2019
Editor : Aslamatur Rizqiyah, Dyah Satiti



