Berkenalan dengan Si Mahal “Thalassemia”

Bagi sebagian pembaca istilah thalassemia mungkin tak lagi asing, akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari kita mungkin belum terlalu familiar dengan si mahal “Thalassemia”. Meskipun tak setenar leukimia, nyatanya thalassemia merupakan kelainan genetik terbanyak di dunia. Hampir 300 ribu bayi dilahirkan dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalassemia merupakan penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika sehingga protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak dapat berfungsi secara normal.

Thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan melalui gen (gen globin beta) yang terletak pada kromosom sebelas. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Pada manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan, disebut dengan pembawa sifat thalassemia beta.

Individu yang membawa sifat thalassemia (thalasemia minor) tampak normal (sehat), sebab masih mempunyai satu belah gen yang dapat berfungsi dengan baik. Seorang pembawa sifat thalassemia (thalassemia minor) jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia mayor. Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemi. Jadi untuk lebih mudahnya, misalnya apabila si kumbang (pembawa sifat thalasemia) menikah dengan si mawar (pembawa sifat thalasemia), maka kemungkingkan besar anak dari pasangan tersebut akan mengalami thalasemia.

Ciri-ciri penyakit thalassemia mayor umumnya akan muncul sebelum penderita berumur dua tahun. Kemudian ciri-ciri penyakit thalasesmia mayor yaitu anemia berat, kepucatan, sering infeksi, nafsu makan yang buruk, kegagalan perkembangan, penyakit kuning yang muncul di kulit hingga mata, dan pembesaran organ.

Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian transfusi darah guna mempertahankan kadar hemoglobin di atas 10 g/dl. Transfusi darah bukan hanya dilakukan sekali atau dua kali, akan tetapi anak-anak yang mengalami thalassemia bisa jadi harus melakukan transfusi darah sebulan sekali (tergantung kondisi tubuh) dan transfusi darah ini dilakukan seumur hidup.

Tranfusi darah bagi penderita thalasemia bisa dikatakan sebagai bomerang. Transfusi secara berulang inilah yang memunculkan permasalahan baru, salah satunya meningkatnya kadar zat besi dalam darah. Penimbunan zat besi ini mengakibatkan terganggunya fungsi hati, jantung, kulit, kelenjar endokrin dan lain sebagainya. Penimpunan zat besi sebenarnya dapat dikurangi dengan pemberian obat khelasi besi yang diberikan selama 5 hari dalam 1 minggu melalui pompa suntikan (syringe-pump), akan tetapi saat ini obat-obat yang digunakan untuk mengurangi zat besi dalam tubuh penderita thalassemia sudah mulai beragam tidak hanya berupa suntikkan.

Mengapa thalasemia di sebut sebagai salah satu penyakit “mahal”? Ya karena memang biaya yang dikeluarkan untuk melakukan transfusi darah, biaya rumah sakit dan biaya untuk pembelian obat khelasi tidaklah murah. Hingga muncul cuitan “Yang kaya bisa menjadi miskin, apalagi yang miskin?”. Paling tidak, seorang penderita thalassemia mayor membutuhkan biaya minimal Rp 10 juta per bulan. Bahkan berdasarkan laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pembiayaan thalasemia sejak 2014-2017 telah mencapai Rp1,8 triliun. Penyakit ini tercatat di peringkat nomor lima sebagai penyakit yang paling boros menghabiskan anggaran BPJS setelah penyakit jantung, stoke, diabetes, dan kanker. Dari sini kita bisa mulai menyimpulkan apakah penyakit ini memang bisa dijuluki sebagai penyakit mahal. Setidaknya dengan adanya BPJS orang tua dari anak-anak penderita thalassemia bisa terbantu dari segi pembiayaan.

Penyakit thalasemia dapat dicegah, yaitu dengan cara melakukan tes darah terlebih dahulu sebelum menikah. Pasangan yang akan menikah baiknya melakukan tes darah terlebih dahulu guna mengetahui apakah diantara keduanya merupakan pembawa sifat thalassemia (thalasemia minor). Apabila keduanya terbukti sebagai pembawa sifat thalassemia (thalassemia minor), maka kemungkinan besar anak dari pasangan tersebut akan mengalami thalassemia mayor. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati, kalau masih bisa dicegah mengapa tidak? (Deni/dari berbagai sumber).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top