BEM: Dilema Antara Kontribusi atau Eksistensi

Aksi solidaritas terhadap kriminalisasi terhadap mahasiswa yang diselenggarakan BEM dari berbagai kampus di Semarang Juni silam. (Sumber: Manunggal)

Opini – Zaman saya masih maba dulu, melihat anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seperti anggota pahlawan. Bagaimana mereka berorasi di atas panggung stadion saat penutupan orientasi mahasiswa baru dengan suara yang berapi-api, kepalan tangan yang diacungkan dengan semangat, serta untaian kalimat yang – entah saya yang terlalu no life saat SMA atau bagaimana – rasanya begitu asing didengar namun unik. Dengan urat di pelipis yang terlihat agak menonjol di bawah terik matahari Semarang yang mesti diakui sangat panas pada pukul 12 siang, satu orang berpidato panjang mengenai bagaimana peran mahasiswa, bagaimana keadaan negara, juga bagaimana seharusnya kita sebagai mahasiswa menanggapinya. Sedangkan teman-temannya yang lain di belakang meramaikan dengan kalimat “Hidup Mahasiswa!” “Hidup Rakyat Indonesia!” dan kalimat membara lainnya.

Pun pamor organisasi yang ada di setiap perguruan tinggi itu semakin meningkat dengan adanya aksi menentang kebijakan pemerintah di akhir tahun 2019 dan aksi-aksi lainnya yang akhir-akhir ini kembali gencar dilaksanakan meski dilaksanakan secara daring. Beberapa presiden mahasiswa (presma) melejit namanya karena diundang ke salah satu acara televisi kondang yang seringnya berisi perdebatan sengit antar orang penting. Maka, BEM semakin terlihat keren di mata saya dan bertekad untuk menjadi bagian dari mereka begitu pendaftarannya dibuka. Namun, begitu pendaftaran telah dibuka, tekad dan niat tersebut menguap seiring dengan rasa mager saya yang meningkat drastis untuk mengurus berbagai berkas dan rasa cemas yang menghampiri karena takut menghadapi tes wawancara. Saya memilih untuk menjadi pengamat bagaimana BEM bekerja – ya mengamati saja. Saya kan bukan anggota Senat Mahasiswa yang mengawasi.

Dua tahun saya menyandang status sebagai mahasiswa ternyata berhasil membuat pandangan saya terhadap organisasi tersebut berubah. Jika dulu saya menganggap mereka bak pahlawan, kini saya memandang mereka sama saja seperti manusia lainnya (iya salah saya sendiri sih menganggap mereka dahulunya itu terlalu wah). Manusia biasa yang mengejar validasi serta eksistensi untuk dirinya sendiri.

Pandangan tersebut lahir bukan sekadar berasal dari kepala saya yang memang suka memikirkan yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Mencoba memperkuat apakah yang saya pikirkan itu benar, secara acak saya bertanya pada salah tiga anggota BEM, baik BEM tingkat universitas kampus maupun tingkat fakultas. Sebut saja mereka Budi, Lina, dan Caca (nama asli disamarkan) melalui WhatsApp dengan empat pertanyaan sederhana namun ternyata setelah ditanyakan, jawabannya tidak sesederhana membuka bungkus permen sugus,

Pertama, Apa ekspetasi ketika melihat anggota BEM saat masih menjadi mahasiswa ‘cimit-cimit alias maba?

“Sibuk, orang-orang gabut yang mau isi waktu luang dengan hal positif,” Budi menjawab dengan singkat.

“Sebagai sarana akses mahasiswa ke segala hal, baik internal maupun eksternal kampus, tempatnya anak eksis kampus, serta orang-orang yang terlatih dengan sangat baik terutama di bidang non akademik,” kali ini Lina bergantian mengutarakan pendapatnya.

Lalu pendapat Caca yang cukup menggelitik namun memang memiliki kesamaan dengan ekspetasi saya dahulu. “Liatnya keren banget. Keren karena di almetnya ada ‘tempelan’ BEM-nya, terkenal di kalangan maba terutama, dan kelihatannya susah banget untuk jadi bagian dari mereka karena seleksinya yang sulit. Ternyata nggak sampai segitunya, buktinya aku masuk,” ia menutupnya dengan sedikit tawa.

Iya, percaya tidak percaya salah satu alasan saya dulu ngebet banget ingin jadi bagian dari BEM karena di almamaternya banyak sekali badge yang menempel disana.

Kedua, Alasan sebenarnya mau bergabung ke dalam BEM itu apa? Apakah memang mau menjadi bagian untuk berkontribusi demi kebaikan bersama atau ternyata ingin meraih eksistensi untuk diri sendiri?

Lina dan Caca menjawab dengan jawaban yang sama, “Mencari relasi dan pengalaman.”

Namun, secara rinci Lina memilih BEM tingkat universitas karena ingin memiliki relasi yang lebih luas, tidak terbatas berada di lingkungan fakultas yang hanya terdiri dari satu sudut peminatan.

Jawaban Budi lebih detail. “Kepo, pengen tahu organisasi internal kampus itu seperti apa. Ngerasa belum puas dengan pencapaian yang didapatkan selama kuliah. Mau cari tahu gimana kondisi internal kampus dan relasi eksternal, pandangan mahasiswa terhadap suatu isu dan pergerakkan di sekitarnya, alur birokrasi serta relasi-politik, dan pengembangan diri terutama critical thinking serta kepekaan sosial.”

Ketika ditanya mengapa memilih BEM tingkat universitas ia menjawab, “Aku gatau diri aja sih, kalau di fakultas bakalan dapet satu pandangan aja. So, karena maunya punya daya pandang yang lebih beragam makanya pilihnya tingkat univ.”

Bahkan, dari dua pertanyaan yang saya ajukan diatas sudah sangat memperkuat asumsi saya bahwa kebanyakan mahasiswa memang memilih bergabung dengan BEM karena mengejar eksistensi pribadi mereka ketimbang tertarik dengan program kerja yang telah dilakukan oleh BEM selama kepengurusannya yang lalu. Nggak ada yang salah sama sekali kok dengan alasan tersebut karena memang mesti diakui menyandang titel ‘Anggota BEM’ memang ibaratnya seperti naik tingkat ‘kekeceannya’ dibanding mahasiswa kureb (kuliah-rebahan) macam saya. Dan dengan menceburkan diri ke dalam organisasi seperti itu menurut saya mereka itu luar biasa karena jika diibaratkan mereka sama saja seperti dengan bekerja sukarela – saya ingin mengibaratkannya dengan kerja rodi namun merasa tidak enak karena harus mengerjakan banyak program kerja yang tekanannya minta ampun tanpa upah. Kalaupun ada sisa kelebihan dana dari danus ataupun dari rektorat biasanya langsung masuk ke dalam kas, bukan dibagi rata secara pribadi. Namun. meski tidak diupah, saya yakin mereka mendapatkan banyak sekali pengalaman bermanfaat yang tidak pernah diduga .

Tiga, Apa kekurangan dan kelebihan dari lingkungan BEM secara khusus di lingkungan universitas?

“Kalau positifnya, setiap ada masalah dan diskusi, lebih banyak dapet berbagai macam pandangan dari latar belakang studi yang berbeda. Arus informasinya cepet banget, itu salah satu privilege menjadi anggota BEM apalagi kalau dari awal memang suka banget untuk up to date,” ungkap Budi

Ia pun melanjutkan, “Untuk kekurangannya sih alur birokrasinya ribet, nggak jauh beda dengan ngurus berkas di kantor kelurahan. Entah memang sistemnya seperti itu atau kita yang terlalu terbiasa dengan culture seperti itu.”

Jawaban Lina justru menekankan pada hubungan sosial. “Kelebihannya bisa ketemu teman yang sefrekuensi dan merasa ‘diadaptasikan’ oleh lingkungan baru. Merasa tertantang buat menjadi lebih baik dan bisa ketemu banyak sosok hebat yang hadir karena program kerja.”

“Untuk kekurangannya sih kadang merasa kurang dihargai ketika ngasih pendapat yang mungkin bagi yang lain kaya ‘bodoh’ aja pendapatnya. Lalu, lingkungan kerjanya nggak sesuai ekspetasi, karena mikir kalau proker mungkin ada beberapa yang dilaksanakan secara luring jadi bisa bonding dengan yang lain, ternyata kenyataanya nggak.”

Kalau dari lingkungan BEM Fakultas?

Caca menjawab panjang, “Untuk kelebihannya aku baru ngerasain ketika udah menjadi kabid karena ketika menjadi staf belum berasa. Relasi sih, yang namanya relasi ternyata luas banget walaupun masih terbatas di lingkungan kampus. Menurutku itu bagus banget. Paling ketika masih jadi staf aku merasa jadi ada kegiatan aja sih. Soalnya kalau nggak di BEM ya aku nggak ngapa-ngapain, apalagi aku anaknya malas buat explore.”

“Kalau yang nggak disuka apa ya, banyak orang-orang fake. Semacam mereka baik di depan very welcome lah ke orang-orang. Aku nggak generalisir tapi sejauh yang aku lihat beberapa yang fake karena ingin dikenal banyak orang, followers-nya bertambah. Toxic sih menurut aku.”

Dari kalimat itu saya pribadi cukup mafhum, tidak mungkin lingkungan setiap organisasi tidak memiliki ke-toxic-annya masing-masing apalagi sekelas BEM yang memang memiliki tekanan cukup tinggi untuk menjalankan amanahnya. Namun, ketidaksukaan Caca terhadap lingkungan organisasinya ternyata belum berhenti sampai disitu.

“Banyak juga yang ‘menjilat’. Ini yang paling jijik sih. Banyak ‘penjilat’ di BEM agar dikenal sama petinggi-petinggi BEM dan relasi mereka tuh orang-orang yang memang memiliki nama gitu. Ya nggak salah sih, tapi nggak suka aja sama caranya yang begitu. Paling berasa ketika mau pergantian kepengurusan, mulai ketahuan sifatnya. Banyak yang ngemisngemis dan sok kenal biar mereka dipilih, ketika mereka akhirnya terpilih beh sombongnya minta ampun.”

Begitu mendengar kalimat yang barusan didengar, kali ini saya sangat terkejut. Ternyata taktik perpolitikkan yang biasanya saya ketahui dijalankan saat ingin pemilihan presiden ataupun kepala daerah sudah diadaptasi sejak bangku perkuliahan. Mengaplikasikan sejak dini mungkin?

Keempat, Menurut kalian sebagai anggota BEM sendiri, apakah program kerja pada kepengurusan saat ini hanya bersifat kegiatan yang rutin dan minim efeknya kepada masyarakat dan mahasiswa itu sendiri atau justru sebaliknya?

Demi mempersingkat jumlah huruf yang ada karena mereka memiliki jawaban yang sama, maka akan saya simpulkan dengan kalimat:

“Beberapa memang merupakan agenda tahunan yang bersifat ulang sehingga terkesan seperti BEM adalah event organizer. Namun, sebagian lainnya juga bersifat insidental seperti yang paling hangat adalah mengenai Lip Service dan edukasi mengenai vaksin walaupun mesti diakui eksekusinya masih lemah. BEM akan berusaha seideal mungkin untuk mengevaluasi agar segala kegiatan memiliki dampak yang bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat.”

Percakapan ditutup setelah jawaban dari pertanyaan keempat diucapkan, sekaligus menutup analisis tidak penting saya mengenai BEM itu sendiri. Asumsi saya 80% memang benar bahwa para anggota (tidak semuanya) yang tergabung dalam organisasi tersebut memilih BEM sebagai tempat pencarian jati diri serta relasi pribadi mereka, namun bukan berarti mereka tidak peduli dengan amanah yang ditanggung. Yah, setidaknya akhirnya saya dan pembaca tahu kalau alasan sebenarnya mereka bergabung bukan seperti “Ingin menjadi bagian dari keluarga BEM dan berkontribusi untuk teman-teman mahasiswa dan masyarakat lingkungan sekitar kampus” yang diucapkan ketika menjalani seleksi wawancara.

Sebagai penutup, saya pribadi mengucapkan terima kasih kepada seluruh elemen BEM baik tingkat universitas dan fakultas karena sudah menjadi ‘perpanjangan’ tangan Tuhan rektorat kepada para mahasiswa sekaligus mewakili suara masyarakat tertindas kepada penguasa. Terima kasih, kalian luar biasa!

 

Penulis: Divisi Media dan Publikasi/Manunggal

Editor: Aslamatur Rizqiyah, Dyah Satiti

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top