Aku adalah Sebuah Kesalahan

Seorang gadis duduk sendirian di kamar sembari menatap jendela luar 

(Ilustrasi : pinterest.com)

“Ayah, kalau adik kecil tidak lahir apa Ibu masih bersama kita di sini?”

Semenjak pertanyaan itu keluar dari mulut Citra, ia tak pernah memperlakukan adiknya selayaknya keluarga. Keduanya seperti orang asing yang terpaksa tinggal dalam satu rumah. Arganta pun bukan lagi seorang ayah yang hangat dan selalu bertanya kabar dari kedua putrinya. Kematian Laksita membuat Arganta kehilangan jati dirinya. Ia berubah menjadi seseorang yang dingin. Sampai putri bungsunya, Kirana, hanya diasuh oleh bibinya hingga remaja. Gadis itu tumbuh tanpa kasih sayang dari kedua orang tua dan kakak satu-satunya. Ayah dan kakaknya memang ada bersamanya, tapi sulit untuk menggapai perhatian mereka. Ada namun seperti tidak ada. Andai Kirana bisa menggantikan posisi ibunya saat itu, ia lebih memilih tak lahir ke dunia ini. Biarlah sang ibu yang tetap hidup bersama ayahnya dan Citra. Kirana pikir untuk apa ia hidup tanpa pernah bisa merasakan harmonisnya keluarga. Bukankah keluarga adalah tempat ternyaman yang menjadi alasan seseorang untuk pulang?

Sekeras apapun ia berusaha untuk menarik perhatian ayahnya dengan menjadi seorang anak yang baik dan berprestasi, sekeras itulah ia harus menelan pahitnya keadaan. Ayahnya tak pernah peduli tentang hidup Kirana. Begitupun dengan Citra, Kirana ingin sekali memiliki seorang kakak yang bisa menjadi tempat ia berbagi cerita. Namun, keinginan itu hanyalah sekadar angan yang sampai kapanpun tak akan pernah jadi kenyataan. Bicara pun mereka tidak pernah, apalagi berbagi cerita.

“Ayah, apakah besok bisa datang ke sekolahku untuk mengambil rapor?” tanya Kirana.

“Suruh Bibi saja,” jawab Arganta.

“Selalu Bibi. Sejak kecil Ayah tidak pernah datang ke sekolahku sekadar untuk mengambil rapor. Sesibuk itukah Ayah? Ayah juga enggak pernah bertanya, ‘Bagaimana sekolahku?’ ‘Apakah nilai-nilaiku baik dan bagaimana hubunganku dengan teman-teman di sekolah?’. Setidak peduli itukah Ayah pada Kirana?”

Arganta tidak mempedulikan keluhan dari putri bungsunya, ia justru sibuk dengan berkas-berkas di hadapannya. Kirana dibuat jengkel dengan sikap tak acuh ayahnya.

“Jawab, Ayah! Kenapa Ayah diam saja?”

“Mau siapapun yang ngambil rapor kamu itu sama saja. Kenapa kamu harus memperbesarkan masalah sepele?”

Ck, sepele? Bagi Ayah ini cuma sepele, tapi bagi aku yang nggak pernah sekalipun merasakan kasih sayang dari seorang ayah ini bukan lagi sepele. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain.”

“Ayah nggak mau ribut sama kamu.”

“Kirana nggak pernah minta apapun sama Ayah, baru sekarang Kirana berani minta sama Ayah untuk datang ke sekolahku.”

“Ayah sibuk.”

“Kirana tau, Ayah benci sama Kirana karena dengan hadirnya Kirana Ayah kehilangan Ibu. Ayah hanya bersembunyi di balik kata sibuk untuk menjauhi Kirana. Ayah,  jika Kirana bisa memilih, Kirana juga enggak mau lahir di dunia ini jika itu hanya membuat Ayah dan Kak Citra membenci Kirana. Sejak lahir, Kirana enggak tahu apa itu arti keluarga dan kebahagiaan. Apa memang Kirana enggak pantas buat bahagia, Ayah? Apa ini hukuman buat Kirana karena membuat Ibu pergi? Kirana minta maaf, Ayah.”

Dengan muka penuh banjiran air mata, Kirana melangkah meninggalkan ruang kerja ayahnya untuk kembali mengurung diri di kamar. Arganta berteriak frustrasi mendengar keluh kesah Kirana yang telah dipendamnya selama belasan tahun. Arganta merasa gagal menjadi seorang ayah.

“Laksita, aku minta maaf belum bisa membuat anak kita bahagia. Hadirnya Kirana membuatku selalu mengingatmu. Wajahnya bak pinang dibelah dua denganmu.”

***

Malam itu hujan turun membasahi bumi bersama kenangan yang mungkin menorehkan luka di hati. Luka yang harusnya dapat terobati dan Kirana harap tak pernah terjadi dalam hidupnya. Kirana ingat setiap perlakuan ayah dan kakaknya. Dari awal ia belum mengerti alasan perlakuan mereka terhadap dirinya, sampai perlahan ia mulai sadar dan paham terhadap hal yang terjadi pada keluarganya.

Tangis Kirana kian pecah sembari memeluk erat foto ibunya. Setiap Kirana mengeluh atas perlakuan ayah dan kakaknya, ia selalu mencurahkan isi hatinya sambil memegang foto ibunya seakan ia tengah bercerita dengan seseorang yang mempertaruhkan nyawa untuk dirinya.

“Ibu, apa aku salah lahir di dunia ini? Sejak kecil aku enggak pernah merasakan kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Apa Kirana memang tidak pantas bahagia, Bu? Aku iri dengan teman-teman yang hidup dalam keluarga harmonis. Aku ingin merasakan hangatnya pelukan seorang ibu, aku ingin merasa dilindungi oleh seorang ayah, ingin juga dimanjakan oleh seorang kakak. Kapan hari itu bisa terjadi, Ibu? Semuanya mustahil bagiku mengingat perlakuan Ayah dan Kak Citra selama ini terhadapku. Kirana capek, Bu, harus hidup diasingkan oleh keluarga, seakan-akan Kirana cuma patung berjalan. Apa boleh Kirana menyusul Ibu? Pasti Ibu bahagia di sana. Kalau Kirana pergi menyusul Ibu, apakah Ayah dan Kak Citra juga merasa kehilangan? Bukankah mereka justru akan merasa senang karena pembunuh Ibu sudah pergi dari dunia ini untuk selamanya?”

“KIRANA!”

“Ada apa, Kak?”

“Di mana Ayah?”

“A-ayah?” tanya Kirana latah.

Nggak usah sok polos! Tadi lo berantem sama Ayah, kan? Setelah itu, Ayah pergi enggak tahu kemana. Lo lupa Ibu pergi itu karena lo? Jangan sampai gue harus kehilangan orang yang gue cintai untuk kedua kalinya cuma gara-gara parasit kayak lo.”

Hancur. Satu kata itulah yang bisa menggambarkan perasaan Kirana saat Citra mengatakan bahwa ia hanyalah parasit dalam keluarganya. Soal ayahnya, Kirana sama sekali tidak tahu kemana Arganta pergi. Sejak pertengkaran itu, ia setia mengurung diri di kamar. 

“Mau lo apa, sih? Kenapa lo ambil semua kebahagiaan gue? Kenapa, Kirana?”

“Kebahagiaan? Bahkan sejak kecil aku nggak pernah merasa bahagia. Bagaimana bisa aku mengambil kebahagiaan itu dari Kakak?”

“Kehadiran lo di keluarga ini membuat gue kehilangan Ibu. Bahkan, gue juga kehilangan seorang Ayah yang dulunya selalu ada buat gue, selalu bersikap hangat nggak sedingin seperti sekarang ini. Semuanya gara-gara lo. Kenapa, sih, lo harus hadir di kehidupan gue? Lo itu cuma benalu!” ungkap Citra penuh amarah sembari berderai air mata. 

Usai mengatakan hal itu, Citra berjalan kaki keluar rumah bermaksud mencari angin sekaligus ayahnya. Kirana tak tega menyaksikan Citra runtuh dalam kesedihan yang selama ini ditutupinya. Kirana tidak pernah melihat Citra menangis seperti yang tengah ia saksikan. Sebagai seorang adik, Kirana ikut merasakan kesedihan kakaknya. 

Lantas, ia pun mengikuti jejak langkah kakaknya dari belakang. Citra menyadari kehadiran Kirana, ia merasa muak melihat wajahnya. Segera, ia memilih berjalan menyebrang dengan langkah terburu-buru tanpa memperhatikan jalan. 

Tak disangka, sebuah truk melaju dari arah timur dengan kecepatan tinggi. Citra sama sekali tak menyadari hal itu, segera Kirana mendorong tubuh kakaknya agar terhindar dari truk tersebut. 

Brukkk…

Citra terkejut mendengar suara benturan dari arah belakangnya. Ia pun menengok untuk melihat hal apa yang tengah terjadi.

“KIRANA!!!”

Citra melihat tubuh adiknya terbujur di tengah aspal dengan darah yang sudah bercucuran. Sopir truk yang menyadari kejadian tersebut dengan cepat langsung membanting stir melarikan diri.

“Apa ini saatnya Kirana menyusul Ibu?” batin Kirana sambil menatap lekat wajah khawatir kakaknya.

Seburuk apapun perlakuan Citra terhadap dirinya selama ini tak membuat Kirana memendam rasa benci. Ia tahu dan paham alasan kakaknya memperlakukan dirinya seperti orang asing. Meski ia merasakan sakit tak terhingga pada kepalanya, ia senang merasakan dikhawatirkan oleh seorang kakak yang selama ini tak pernah ia rasakan.

“Kirana, Kakak minta maaf belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Maaf belum bisa ngasih kebahagiaan yang kamu idamkan sejak kecil, maaf udah bikin kamu sakit. Maaf untuk semuanya. Tapi, bolehkan Kakak minta Kirana untuk bertahan? Nanti, Kak Citra bakal mewujudkan semua mimpi kamu.”

“Kak Citra nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf sama Kakak karena udah bikin Kakak menderita selama ini. Maaf, aku cuma parasit di kehidupan Kakak. Maaf, aku bukanlah adik yang Kakak inginkan. Maaf ya, Kak, kalau dengan kehadiran Kirana membuat Kakak kehilangan Ibu.”

Ssstt, ini semua bukan salah kamu, Kirana. Kamu bukan parasit di kehidupan Kakak. Soal kematian Ibu, maaf Kakak selalu menyalahkan kamu. Kakak mengelak dari kenyataan dan malah membuat kamu menderita.”

“Tolong jaga Ayah buat aku ya, Kak? Jangan biarkan Ayah sedih lagi. Sebenarnya Ayah itu sangat rapuh makanya tidak lagi sehangat dulu. Kak Citra juga jangan lupa bahagia. Jangan sedih lagi, ya?”

Di waktu yang bersamaan, Arganta yang baru saja pulang dari menenangkan pikiran melihat kerumunan warga di pinggir jalan. Ia pun segera turun dari mobil dan menghampiri kerumunan tersebut. Matanya seketika membulat sempurna kala melihat putri bungsunya terbaring lemah di jalan dengan darah yang terus menetes dari kepalanya. Ia menyesal tak memberikan sepenuh cinta kasihnya untuk putri yang telah Laksita lahirkan sampai istrinya itu harus mengorbankan nyawanya. Penyesalan memang selalu berada di akhir, di saat orang itu sudah merasakan betapa sakitnya melihat orang yang dicintai rapuh.

“Kirana, Ayah minta maaf atas semua perlakuan Ayah selama ini. Maaf, Ayah tidak bisa membuatmu mengerti apa itu keluarga. Maaf, Ayah tidak bisa memberikan kebahagian seperti yang selama ini kamu inginkan,” sesal Arganta sambil memegang erat tangan Kirana seolah tak ingin lepas.

Tangan lemah itu perlahan terangkat menghapus air mata yang membanjiri wajah ayahnya. Arganta melihat putrinya yang tengah tersenyum. Senyum yang baru pertama kali ia lihat. Seulas senyum yang sangat mirip dengan almarhum istrinya.

“Ayah, jangan menangis!”

“Ayah minta maaf sama kamu. Kebodohan Ayah selama ini, terlalu mengikuti ego hingga tak sadar telah menyakitimu.”

“Jangan bilang seperti itu, Ayah! Ayah juga tersakiti karena kepergian Ibu. Aku tahu Ayah rapuh, tapi tak pernah sekalipun Ayah tunjukkan kepada kami. Ayah hebat menanggung semua beban sendirian. Punggung Ayah sangat kuat menopang kedua putrinya. Ayah hebat tetap bertahan mencukupi kebutuhan kami saat Ibu meninggalkan Ayah untuk selamanya. Terima kasih untuk semuanya, Ayah. Perihal luka, kita sama-sama tersakiti. Sekarang, mari kita kubur luka itu bersama.”

“Kamu bahkan tidak membenci Ayah sama sekali.”

“Ayah, aku kangen Ibu.”

“Kamu harus bertahan, Kirana. Ayo kita pergi ke rumah sakit. Kamu harus kuat!”

“Ayah dan Kak Citra, jaga diri baik-baik, ya. Maaf, kalau selama ini kalian nggak bahagia karena adanya Kirana di sini. Sebentar lagi, kalian akan merasakan kebahagiaan itu. Aku pamit, Ayah, Kak Citra. Aku ingin bertemu Ibu.”

Mata Kirana mulai terpejam perlahan. Siapa sangka mata indah itu terpejam untuk selamanya. Arganta dan Citra sontak saja terkejut. Secepat inikah Kirana meninggalkan mereka? Bahkan, mereka belum sempat memberikan Kirana kebahagiaan. 

“Kirana, kenapa secepat ini kamu pergi meninggalkan Ayah? Bukannya kamu pernah bilang ingin merasakan harmonisnya keluarga? Ayo kita bersama wujudkan mimpimu itu, Nak! Maafkan Ayah, Ayah nggak bisa mewujudkan mimpimu sampai kamu menghembuskan napas terakhir. Ayah gagal menjaga titipan Tuhan yang paling berharga.”

“Maafkan Kakak, Kirana. Kakak gagal. Kakak nggak pantas jadi kakak buat kamu, Kakak egois. Kakak nggak pernah mikirin kebahagiaan kamu.”

Arganta memeluk putrinya sulungnya. Citra menangis tak berdaya di pelukan ayahnya. Ia merasa bersalah karena telah memperlakukan Kirana dengan tidak pantas. Padahal, adiknya itu rela mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya. Namun, sayang nasi telah menjadi bubur. Kirana sudah pergi menyusul sang ibu.

“Ayah, seharusnya aku yang terkapar di sana, bukan Kirana. Dia yang sudah menolongku tadi. Aku nggak bisa jadi kakak yang baik buat Kirana. Aku justru menjadi pembunuh Kirana, Ayah. “

“Semuanya sudah menjadi takdir Tuhan, Nak. Rezeki, jodoh, dan kematian sudah ada yang menentukan. Itu artinya waktu Kirana hidup memang hanya sampai saat ini, bukan karena kesalahanmu.”

“Maafkan aku, Laksita. Aku gagal menjaga putri kita. Kamu sudah mempertaruhkan nyawamu demi melahirkan Kirana, tapi aku justru menyia-nyiakan keberadaannya. Kamu pasti sedih di sana melihat suamimu ini gagal,” batin Arganta.

 

Penulis : Nuzulul Magfiroh

Editor : Hesti Dwi Arini, Ayu Nisa’Usholihah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top