Aksi Kamisan Semarang: Mengurai Represi Demokrasi dan Mengemasi Resistensi

Aksi Kamisan di Fakultas Ilmu Budaya Undip (7/3) (Sumber: Dok. Pribadi)

 

Semarangan – Aksi Kamisan yang digelar di Crop Circle Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) pada Kamis (7/3), menyoroti mundurnya demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kian mengabur. 

 

Persembahan karya oleh Teater Themis pada pembukaan acara menyinggung kematian Munir yang sampai hari ini masih diingkari oleh pemerintah. Selain itu, dilakukan pula pembacaan beberapa draf puisi milik mereka yang dihilangkan. 

 

Hal tersebut mengindikasikan ratapan kepada jajaran pemerintah yang semakin merajalela saat ini. Pemeran utama berlakon membawakan mawar sembari berselubung kain hitam adalah bukti kabung yang dalam dan teriakan lantang untuk sebuah perlawanan.

 

Aksi Kamisan ini sempat mengalami problematika serius karena ditolak oleh pihak rektorat. Namun, dengan berbagai upaya akhirnya kegiatan ini mampu berjalan dengan baik dan bernas akan diskusi. 

 

Kolektivitas yang menggabungkan pesimisme dan kritik adalah bentuk perjuangan yang paling berpotensi untuk dilakukan. Ruang diskusi terbuka diharapkan mampu menggelitik pemerintah yang masih abai dan tidak mempedulikan permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia. 

 

“Tentu aksi ini sangat bagus karena dapat menumbuhkan sikap kritis sekaligus rasa ingin tahu dan memberikan pemahaman lebih luas kepada mahasiswa bahwasanya permasalahan HAM dan permasalahan lain yang terjadi sampai sekarang masih ada dan belum tuntas,” pungkas Muhammad Rafi Aliefanto, Kepala Bidang Sosial Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FIB.

 

Terkait lokasi, Rafi menjelaskan alasan dipilihnya FIB Undip sebagai latar aksi karena adanya hambatan perizinan birokrasi. Sebelumnya, terdapat beberapa opsi lokasi, yakni Student Center, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), dan beberapa fakultas lain.

 

Penyebab utama dari kesulitan penentuan lokasi Aksi Kamisan adalah dilarangnya kegiatan yang melibatkan peserta dari luar kampus. Hingga akhirnya, perizinan dari pihak dekanat FIB memberi angin segar untuk kegiatan tersebut. 

 

Kendati memiliki pengaruh yang kurang signifikan, mahasiswa merasa bahwa aksi kritis seperti ini menjadi upaya terbaik yang dapat dilakukan sekarang. Seperti yang diutarakan oleh Allegra Dyah Rinjani Prayitno, mahasiswi Sastra Indonesia 2023. Allegra berharap agar keadilan bagi para keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat segera mendapat titik terang. 

 

“Sebagai masyarakat sipil, kita punya keterbatasan buat bisa melawan pemerintah gitu, kan? Jadi, kayaknya kita kawal aja dulu Aksi Kamisan ini,” tuturnya. 

 

Hal yang menjadi catatan penting dalam Aksi Kamisan kali ini adalah keterlibatan civitas academica. Tampak para petinggi kampus enggan turun ke lapangan, bahkan untuk sekadar menjenguk apa yang terjadi. 

 

Akan tetapi, malam itu hadir seorang dosen yang menjadi pelipur lara. Bangkit Aditya Wiryawan, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, memberikan tanggapan terkait napas yang membangun kesatuan aksi ini, yang tidak lain adalah sikap semena-mena pemerintah. Namun, di sisi yang lain ia juga berupaya untuk menjaga rasionalitas berimbang.

 

“Saya selalu terbuka, nggak pernah mengunggulkan satu daripada yang lain. Kalau saya kasih contoh salah satu kebijakan yang buruk, yang lain juga saya kasih contoh untuk keseimbangan,” ujar Bangkit.

 

Ia mengatakan untuk ke depannya, agar mahasiswa tidak jemu menyuarakan kritik kepada pemerintah. Sebab, hal tersebut merupakan harapan yang mampu membuat pemerintah sadar bahwa ada tekanan dari bawah dan kekuatan masyarakat sipil tidak bisa diremehkan.

 

Aksi Kamisan akan tetap berdiri di tengah prahara politik Indonesia. Orang-orang yang melihat melalui kacamata demokrasi yang tengah gonjang-ganjing terus berharap agar sikap represi tidak semakin merajalela.

 

“Jelas kita punya pandangan bahwa demokrasi kita sangat-sangat mundur. Mulai dari petani, nelayan, dan lainnya, semua direpresif atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), atas nama keamanan dan stabilitas negara,” ujar Fathul Munif, salah satu perwakilan aliansi Kamisan Semarang.

 

Fathul menambahkan persoalan yang khusus terjadi di Semarang. Ia menguak beberapa kasus yang sampai saat ini belum tuntas.

 

“Bagaimana nasib masyarakat miskin Kota Semarang yang hari ini tidak kunjung ditangani dan perampasan tanah, seperti yang dialami warga Tambakrejo yang dirampas tanahnya untuk keperluan tambang pengusaha. Itu muncul di tengah-tengah kehidupan kita yang disebabkan oleh oligarki,” tambah Fathul.

 

Aksi Kamisan yang berkonsolidasi dengan beberapa himpunan masyarakat Semarang ini menjadi bukti konkret mengenai resistensi kaum yang tidak akan tumbang walau rintangan menghadang. 

Aksi Kamisan di Fakultas Ilmu Budaya Undip (7/3) (Sumber: Dok. Pribadi)

 

Reporter: Naftaly Mitchell, Hildha Muhammad Tahir

Penulis: Naftaly Mitchell, Hildha Muhammad Tahir

Editor: Hesti Dwi Arini, Ayu Nisa’Usholihah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top