Massa Aksi Berjalan Menuju Titik Aksi terakhir di DPRD Jawa Tengah dengan membawa banner pada Kamis (20/3). (Sumber: Manunggal)
Semarangan – Semarang merespons pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) melalui aksi turun ke jalan pada Kamis (20/3) dengan titik akhir aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah. Bertajuk “Persiapkan Revolusi: Tolak UU TNI”, aksi ini mendapat keberingasan polisi dengan mengerahkan gas air mata, water cannon, sampai peloton pengurai massa (ton raimas) yang menghajar mundur demonstran bahkan warga terkena getahnya.
Kronologi Aksi
Semula, Aliansi Rakyat Semarang berkumpul di Kantor Pos Kota Lama, kemudian bergerak menuju Komando Distrik Militer (Kodim) 0733/Kota Semarang dan melakukan orasi, tetapi tidak mendapat respons. Pada pukul 14.15 Waktu Indonesia Barat (WIB) massa aksi tiba di Pleburan dan pukul 14.30 WIB melakukan long march menuju Gedung Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Jawa Tengah. Di depan gedung tersebut, massa melakukan orasi beberapa saat, yang kemudian berlanjut di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah pada pukul 15.00 WIB.
Massa aksi yang terdiri dari sekitar 1000-an orang bertahan beberapa saat sembari melakukan orasi. Pada pukul 16.00 WIB, karena tuntutannya tidak didengar, mereka memutuskan untuk membuka gerbang dan memasuki halaman kantor DPRD Provinsi Jawa Tengah. Massa bertahan di pelataran gedung dan tidak bisa masuk karena dihadang oleh aparat kepolisian dengan perlengkapan berupa tameng dan pentungan.
Pukul 16.30 WIB massa aksi tetap melakukan orasi terkait tuntutan tolak Revisi UU TNI yang pada pagi hari sebelum aksi sudah disahkan oleh DPR. Padahal terdapat beberapa pasal yang problematik dan dinilai menghidupkan kembali dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga membahayakan supremasi sipil. Revisi UU TNI juga dibahas secara kilat tanpa transparansi dan keterlibatan rakyat, sehingga pada Sabtu (15/3) aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggeruduk agar pembahasan revisi dihentikan, namun rakyat tak didengarkan.
Massa Aksi Berhadapan dengan Aparat Kepolisian Bersenjatakan Tameng dan Pentungan di Pelataran Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah pada Kamis (20/3). (Sumber: Manunggal)
Pukul 17.00 WIB massa aksi berupaya masuk ke gedung DPRD untuk melakukan sidang rakyat dan menolak Revisi UU TNI, tetapi polisi justru mencegah dengan mendorong dan memukul mundur massa. Sampai pada pukul 17.15 WIB massa aksi melakukan rilis Aksi Tolak Revisi UU TNI di depan DPRD, tetapi polisi justru menyerang massa secara brutal dengan memukul, menginjak dan memiting mereka. Tidak hanya itu, saat massa berhambur untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba dentuman gas air mata bersahut-sahutan menembak ke arah larinya massa.
Puluhan massa aksi, pedagang, dan pengendara motor terkena gas air mata dan mengalami sesak napas karena tembakan gas air mata. Beberapa orang bahkan sempat diculik secara paksa. Sopir yang mengendarai mobil untuk aksi juga ditarik paksa oleh polisi dari dalam mobil, dibanting dan diseret kemudian dihajar beramai-ramai, sampai sang sopir merengkuh tanpa melakukan perlawanan. Seturut catatan paramedis setidaknya terdapat 20 orang yang terdampak gas air mata dan pukulan polisi.
Pukul 17.20 WIB aparat kepolisian mulai menangkap puluhan massa aksi, sekitar 10 orang ditangkap namun sebagian bisa membebaskan diri. Setelah mengalami represifitas, diketahui terdapat 4 orang yang ditahan oleh polisi yakni sopir mobil komando, operator sound system dan 2 mahasiswa yang dalam proses penangkapannya, korban mengalami luka dan lebam.
Presiden Mahasiswa (Presma) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Semarang (Unnes) 2025, Kuat Nursiam Mengalami Luka di Bagian Pelipis Akibat Tindakan Represif Polisi pada Aksi Tolak UU TNI di pelataran Gedung DPRD Jawa Tengah pada Kamis (20/3) . (Sumber: Akun Instagram @kuatnursiam_)
Pada 17.50 WIB massa aksi bertahan di depan gerbang kantor DPRD untuk menuntut polisi agar membebaskan korban yang ditangkap, namun polisi justru mengintimidasi massa aksi dengan pengeras suara agar segera membubarkan diri. Hingga pada 19.00 WIB massa aksi dan tim advokasi mulai menuju Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Semarang untuk menuntut dan melakukan pendampingan terhadap 4 massa aksi yang ditangkap agar segera dibebaskan.
Namun, pada pukul 19.30 WIB tim advokasi sempat dihalangi oleh Kepala Unit Intelijen dan Keamanan (Kanit Intelkam) Polrestabes Semarang untuk melakukan pendampingan. Pada pukul 22.00 WIB, barulah keempat massa aksi yang ditangkap akhirnya dibebaskan.
Mahasiswa dalam Isu Revisi UU TNI
Massa aksi sepakat dalam konsolidasi untuk melebur karena agenda isu kali ini merupakan isu yang bersinggungan dengan siapa saja, tanpa terkecuali. Mereka memutuskan untuk menggunakan kostum serba hitam dan serempak bersama beberapa masyarakat yang juga turut dalam aksi.
Aksi ini sebagai bentuk perlawanan menolak UU TNI yang sudah disahkan secara kebut oleh DPR pada pagi hari sebelum aksi berlangsung.
“Kalau misalnya kita nggak turun ya, seolah masyarakat menerima UU yang disahkan itu. Dengan adanya aksi kemarin ya kita membuka pandangan masyarakat luas/ terdampak agar bisa terkoneksi dengan kita untuk menolak UU TNI ini,” tutur Ignatius Wisesa, akrab dipanggil Sesa, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Diponegoro (Undip).
Pasal problematik juga dijelaskan oleh Sesa, bahwa TNI akan menduduki 15 kementerian yang bisa diduduki oleh prajurit. Dengan mengambil satu interpretasi, ketika Mahkamah Agung diisi oleh TNI, dan saat pemutusan keadilan tiba namun yang terlibat tentara, hal ini akan bermakna ganda dan justru menggilas supremasi sipil.
“Karena melihat dari ancaman yang mereka beri dengan alutsista atau senjatanya itu ketika forum tidak mengikuti harapan TNI, akan terjadi pembunuhan diam-diam,” ungkap Sesa.
Ia juga menerangkan bahwa perluasan jabatan ini tidak sesuai dengan pasal 5 TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Revisi ini memungkinkan tentara menjadi seperti gurita yang tentakelnya kemana-mana tanpa batasan yang jelas dengan tanggung jawab mereka. Sehingga hal seharusnya tidak bersinggungan dengan sipil, membuat tentara jadi sewenang-wenang.
“RUU TNI ini, sebelumnya dari mereka juga sudah melakukan, pun dari ketahanan pangan, terus Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas Liquefied Petroleum Gas (LPG), penjagaan kebun sawit, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan penertiban kawasan hutan, bahkan sampai pengelolaan ibadah haji, itu mereka yang urus,” pungkasnya.
Sesa juga bersuara mengenai keberhasilan aksi, bahwa keputusan untuk turun ke jalan merupakan sebuah perlawanan karena masuk ke pelataran gedung DPRD dan mampu menyampaikan aspirasi. Baginya, selama sipil tidak memilih diam dan media juga berisik untuk menyuarakan keresahan akan Revisi UU TNI, itu pertanda kemenangan, walaupun sebenarnya DPR seolah mengabaikan suara rakyat.
Aksi yang diganjar keberingasan polisi kerap terjadi ketika aparat hendak membubarkan massa. Sejatinya, banyak cara lain yang lebih humanis alih-alih menembakkan gas air mata, sehingga membuat massa jadi chaos.
“Pun juga untuk membubarkan massa dengan yang mereka bilang itu provokator dan segala macam, provokator apanya, kita kan hanya ingin menyuarakan doang. Kita juga tahu Polisi Semarang itu pengen memperbaiki citra mereka,” tutup Sesa.
Fasisme dan Suara Perempuan
Salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Undip yang fokus pada Teori dan Praksis Sosial, Farhan Prabu menyatakan bahwa pengesahan RUU TNI merupakan bentuk pemerintah Fasisme (Ideologi politik bersifat diktator dan militerisme). Tanpa mengesahkan RUU TNI pun kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tetap bersikap fasis. Menurut Farhan kondisi Indonesia saat ini berada dalam status jajahan dan feodal (sistem politik yang memberikan kekuasaan besar pada bangsawan). Keadaan di mana ekonomi Indonesia didikte oleh imperialisme bank dunia, moneter, International Monetary Fund (IMF), hingga investor asing, sedangkan rezim di Indonesia seakan menjadi tuan tanah yang praktik sewa atas tanah dan laut Indonesia.
“Sebelum UU TNI ini disahkan saja, pemerintah sudah melibatkan militer dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan TNI melakukan Memorandum of Understanding (MoU) ke beberapa kementerian yang jelas-jelas itu merupakan bentuk fasisme dan masuknya militer,” ungkapnya ditengah wawancara aksi Tolak Dwifungsi TNI.
Perempuan turut mengawal dan menyuarakan penolakan terhadap Dwifungsi TNI. Tata, yang menjadi perwakilan komunitas Bara Puan turut hadir berorasi di hadapan para aparat dan massa lainnya sebagai perwujudan perempuan yang melawan. Bagi Tata sistem militerisme yang masuk dalam pemerintahan telah melukai hati para perempuan. Ini merupakan lingkaran fasisme yang merupakan akar patriarki, dimana para perempuan harus berada dalam sistem pemerintah yang patriarki dan mengurangi kesempatan dan keberanian untuk terjun ke dalam perpolitikan.
“Karena dengan der-der-der yang tadi diciptakan, dipukul mundur, kita tetap nggak mau mundur, kita maju lagi, kita mundur, kita maju lagi. Dan akhirnya, mungkin dalam dua tahun terakhir ini, perempuan akhirnya bisa masuk ke dalam DPRD sendiri sama dengan laki-laki.” ungkapnya ketika diwawancarai Awak Manunggal setelah orasinya untuk perempuan yang hadir di tengah massa demonstran.
Revisi UU TNI berdampak pada banyak hal bahkan strata paling dasar kehidupan berdemokrasi. Seyogyanya tak ada tangan militer yang masif dalam iklim demokrasi, bila negeri ini tak ingin berziarah ke masa lalu.
Reporter: Nazwa Ramadhani, Nuzulul Magfiroh, Nurjannah, Zulfa Arya, Cahya Novianti, Abigael Eudia, Hanifah Khairunnisa, Alya Ruhadatul, Salwa Hunafa, Dhini Khairunnisa, Sintya Dewi Artha, Mitchell Naftaly
Penulis: Hanifah Khairunnisa, Mitchell Naftaly
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah