Paket kiriman tikus yang dipenggal di Kantor Tempo pada Sabtu (22/3) (Sumber: Website Satuju.com)
Opini – Jurnalisme yang tajam tidak pernah disukai oleh penguasa yang busuk. Sejarah sudah mencatat bagaimana rezim-rezim represif selalu memandang pers sebagai musuh, bukan sebagai pilar demokrasi. Karena bagi mereka, pers yang kritis adalah ancaman, bukan pengawal kebenaran. Pers yang berani adalah gangguan, bukan alat untuk menyalakan nurani bangsa. Dan di negeri ini, kita sedang menyaksikan skenario paling klise dari ketakutan penguasa terhadap kebenaran—pers yang dipersekusi, jurnalis yang diteror, media yang dipaksa bungkam demi melanggengkan kediktatoran terselubung yang mereka bangun dengan kebohongan.
Lihat apa yang terjadi pada Tempo. Dikirimi kepala babi, bangkai tikus dipenggal—bukan sekadar ancaman, tapi pesan terbuka bahwa ada pihak-pihak yang ingin membungkam media yang berani. Tidak cukup dengan serangan digital, kriminalisasi, dan tekanan ekonomi, kini mereka beralih ke intimidasi primitif. Mereka ingin jurnalis ketakutan, mereka ingin redaksi ragu, mereka ingin publik berpikir bahwa ada risiko besar jika seseorang memilih berdiri di sisi kebenaran. Tapi pertanyaannya: apa yang sebenarnya mereka takutkan?Â
Jawabannya jelas—mereka takut rahasia kotornya terbongkar. Mereka takut skandalnya diangkat ke permukaan. Mereka takut rakyat tahu bagaimana mereka selama ini mempermainkan hukum, menyedot uang negara, dan membangun kekayaan di atas penderitaan orang banyak. Ketakutan mereka begitu besar hingga mereka memilih meneror media daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Karena mereka tahu, jika kebenaran diumbar ke publik, ilusi kejayaan yang mereka ciptakan akan runtuh dalam sekejap.
Mereka ingin pers yang jinak. Mereka ingin berita yang diatur, narasi yang dikendalikan, jurnalis yang tunduk. Mereka tidak ingin ada yang bertanya kenapa kasus korupsi raksasa mendadak senyap, kenapa proyek infrastruktur yang katanya untuk rakyat justru menggusur rakyatnya sendiri, kenapa investasi asing terus dipermudah sementara rakyat kecil diperas dengan regulasi yang menyesakkan. Mereka ingin media hanya sibuk memberitakan seremoni peresmian, pidato penuh retorika kosong, atau hal-hal remeh yang tidak menggoyang kekuasaan mereka.
Dan semakin lama, mereka semakin percaya diri. Dulu, mereka menekan pers secara halus, lewat regulasi atau kontrol ekonomi. Sekarang? Mereka terang-terangan meneror. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berbuat apa saja, tanpa takut konsekuensi bahwa hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara mereka bisa beroperasi di luar sistem tanpa perlu mempertanggungjawabkan apa pun, serta kebenaran bisa dihancurkan, dan tidak akan ada yang cukup berani untuk melawan.
Tapi di sinilah mereka keliru. Pers yang kritis tidak bisa dihancurkan hanya dengan ancaman. Kebenaran tidak akan mati hanya karena ada tangan-tangan kotor yang mencoba membungkamnya. Sejarah sudah membuktikan bahwa semakin keras sebuah kebenaran ditekan, semakin liar ia mencari jalan untuk keluar. Setiap kepala babi yang dikirim, setiap bangkai tikus yang dipenggal, setiap ancaman yang dilancarkan hanya menjadi bukti betapa paniknya mereka.
Dan kita tahu ini tidak akan berhenti di Tempo. Hari ini mereka yang diteror, besok bisa media lain. Lusa, bisa saja jurnalis yang kritis mulai dihilangkan satu per satu. Dan setelah itu? Tidak ada lagi yang bisa memberitakan kenyataan. Tidak ada lagi yang bisa mempertanyakan kebijakan yang cacat. Tidak ada lagi yang bisa menjadi mata bagi rakyat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung kekuasaan.
Mereka boleh saja mengancam, tapi satu hal yang harus mereka ingat: pers bukan sekadar institusi, tetapi sebuah prinsip yang tak bisa dimatikan. Hari ini ada yang diteror, besok akan lahir lebih banyak lagi yang siap berbicara. Mereka bisa mencoba membungkam satu media, tapi kebenaran tidak akan pernah kekurangan corong untuk bersuara.
Mereka mengira dengan meneror satu media, mereka bisa menanamkan ketakutan di seluruh barisan pers. Mereka lupa bahwa jurnalisme tidak bergantung pada satu kantor redaksi, satu surat kabar, atau satu stasiun televisi. Selama masih ada yang berani menyalakan rekaman, menekan tombol keyboard, atau mengangkat kamera, kebenaran akan tetap hidup. Ancaman mereka tidak membungkam, justru memperjelas siapa yang sebenarnya sedang panik.
Mereka boleh saja terus mencoba membungkam pers, tapi satu hal yang harus mereka camkan: pers bukan ada untuk menyenangkan penguasa. Jurnalisme bukan humas negara, bukan corong propaganda, bukan alat untuk menutupi borok mereka dengan berita-berita penuh pujian. Pers ada untuk mengawasi, mengkritik, dan memastikan bahwa mereka yang duduk di kursi kekuasaan tidak berubah menjadi monster yang tak tersentuh.
Tapi itulah masalahnya—mereka tidak mau diawasi. Mereka ingin kebebasan pers hanya sebatas slogan, bukan kenyataan. Mereka ingin wartawan sibuk meliput seremoni peresmian proyek mangkrak dan menggali kisah inspiratif pejabat yang seolah-olah bekerja untuk rakyat, sementara skandal mereka dikubur dalam-dalam. Mereka ingin setiap halaman koran berisi sanjungan, setiap siaran berita penuh dengan citra diri yang mereka bangun sendiri.
Padahal, tugas pers bukan untuk menjaga ego mereka. Tugas pers adalah untuk menelanjangi kebohongan mereka, menguak janji yang tak ditepati, membongkar permainan kotor yang mereka sembunyikan dengan jargon pembangunan. Jika mereka mengira jurnalis harus tunduk dan ikut menyembah mereka, mereka salah besar.
Dan semakin mereka mencoba menjinakkan media, semakin jelas bahwa mereka bukan pemimpin sejati—mereka hanya penguasa yang manja, yang ingin terus dipuja tanpa pernah dipertanyakan. Mereka takut bukan karena pers salah, tapi karena pers benar. Karena pers terlalu dekat dengan sesuatu yang selama ini mereka coba sembunyikan.
Maka jangan harap pers akan diam. Jangan harap jurnalis akan tunduk. Jangan harap kebebasan berbicara bisa dikendalikan selamanya. Karena pers yang sesungguhnya tidak bekerja untuk penguasa, tapi untuk kebenaran. Dan kebenaran tidak akan mati hanya karena ada sekelompok pengecut yang tak tahan melihat wajah asli mereka sendiri di halaman berita.
Penulis: Nuzulul Magfiroh
Editor: Nurjannah