Corona Nyata, Bagaimana Kisah Para Penyintas?

Potret Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rorotan, Sabtu (17/4) saat Tama turut memakamkan ayahnya. (Sumber: Manunggal)

 

Perjalanan – Seluruh kegiatan masyarakat selama masa pandemi sudah banyak ‘di rumahkan’, mulai dari bekerja hingga belajar. Namun, kasus persebaran Covid-19 nyatanya belum bisa benar-benar dihentikan. Reporter Manunggal telah merangkum kisah dari dua mahasiswa Undip penyintas Covid-19, yakni Eya dan Tama (bukan nama sebenarnya). Mereka menceritakan pengalaman bergelut dengan virus Corona dan membagikan bagaimana luka serta duka yang mereka alami.

Cerita Dari Penyintas

Eya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Undip angkatan 2020 yang dinyatakan positif Covid-19 pada pertengahan bulan Juni, bertepatan dengan pelaksanaan UAS Fakultas Hukum.

Gejala penularan virus Corona pertama kali dirasakan oleh Ibu dan Adik Eya. Setelah muncul gejala berupa demam dan batuk-batuk pada anggota keluarganya, Eya langsung mengambil langkah untuk melakukan pembatasan jarak. Meskipun Eya sudah melakukan upaya penularan dengan menjaga jarak, ia masih tetap terpapar. Ia melakukan tes PCR di RS Panti Wilasa dan hasil tes menyatakan bahwa ia positif.

Gejala Covid-19 yang Eya rasakan berupa batuk, sakit tenggorokan, demam, mual, anosmia, dan sakit kepala. “Tiap hari ganti-ganti, misalnya malam ini mual, besok pusing, besoknya demam,” ucap Eya saat diwawancarai oleh Reporter Manunggal pada Jumat, (30/7).

Selama 14 hari, keluarga Eya melakukan isolasi mandiri. Meski begitu, Puskesmas Ngesrep di dekat tempat tinggal Eya tetap aktif dalam mengikuti perkembangan kondisi keluarganya sehingga kebutuhan obat selalu terpenuhi.

Eya bercerita, bahwa saat ia terpapar, ia mendapat banyak dukungan dari kerabat maupun teman-teman dekatnya. “Biasanya pada kirim makanan atau bahan pokok sehari-hari gitu. Karena kan kami waktu itu gabisa keluar untuk belanja, jadi banyak yang kirim-kirim.”

 

Menyintas di Bawah Bayangan Beban Tanggung Jawab

Dilanda Covid-19 di tengah kesibukan kuliah atau pekerjaan lain tentu merupakan cobaan yang berat. Tama juga mengalami nasib yang hampir sama degan Eya, tertular di tengah kesibukan kuliah dan kegiatan organisasi. Tama (bukan nama sebenarnya) adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Undip angkatan 2019. Ia dan keluarganya tinggal di zona merah, yakni di wilayah Jakarta.  Keluarganya pertama kali terpapar virus Covid-19 pada akhir bulan Maret.

Gejalanya dirasakan pertama kali oleh ayahnya yang memiliki kormobid, berupa demam, batuk-batuk, flu, badan lemas, dan sesak nafas. Keluarganya langsung pergi ke IGD Rumah Sakit Polri Jakarta Timur. Namun ketika tiba, nakes di sana menolak menangani sang Ayah. Karena keadaannya semakin memburuk, Tama membawa sang ayah ke IGD Rumah Sakit Pasar Rebo. Saat diperiksa, saturasi nafasnya kurang dari 90%.

Sayangnya, saat itu seluruh anggota keluarga Tama ikut terpapar. ibu, adik, dan kakeknya dinyatakan positif Covid-19. Tama dilingkupi kebimbangan. Sebab, di awal Mei, beberapa mata kuliah di jurusannya sudah melangsungkan ujian akhir semester.

“Saya gak percaya diri untuk minta ujiannya diundur. Saat itu harusnya saya sedih. Tapi, kegiatan kuliah mengalihkan pikiran saya. Pokoknya, saya mensugesti diri sendiri bahwa nanti bapak bisa sembuh sambil berdoa dan mengerjakan tanggung jawab ujian,” ungkap Tama.

Keluarga Tama tidak punya banyak kerabat dekat di Jakarta yang bisa dimintai tolong bolak-balik ke rumah sakit untuk mengantarkan segala kebutuhan sang ayah. Apalagi saat itu keadaan ruangan rawat khusus Covid yang penuh membuat ayahnya lama tertahan di IGD. Perlu ada orang yang tinggal di rumah sakit, Tama yang saat itu hasil tesnya masih negatif, betugas mengurus keperluan sang ayah di rumah sakit. Tugas UAS dibawanya ke ruang tunggu IGD.

Pada 2 April 2021, ayah Tama dibawa ke IGD Pasar Rebo dan malamnya diopname di ruang rawat isolasi. Selang dua hari sejak ayahnya diopname, rumah sakit mengabari bahwa saturasi ayahnya terus menurun. Kali terakhir rumah sakit mengabari Tama, saturasi nafas sang ayah sempat menyentuh angka 60%.

Sayangnya, saat itu seluruh ventilator di ICU rumah sakit Pasar Rebo sudah terpakai oleh pasien lainnya. Malam itu juga, pihak Rumah Sakit Pasar Rebo meminta keluarga Tama memindahkan sang ayah ke Rumah Sakit Persahabatan.

“Saya ingat banget. Malam itu, ayah saya dibawa keluar dari ruang rawat isolasi. Itu terakhir kali saya lihat beliau dalam keadaan hidup. Saya gak tahu bahwa setelah itu saya gak akan pernah lihat beliau lagi,” kata Tama.

Pada 4 April 2021, ayah Tama dipindahkan ke ruang ICU Rumah Sakit Persahabatan. Setelah bolak-balik ke rumah sakit dan berinteraksi dengan para nakes, Tama mulai merasakan gejala Covid.

“Itu hari kedua UAS, saya tes PCR di Klinik Taradita. Ternyata saya positif. Mulai dari situ, saya isoman. Abang saya yang sedang penelitian skripsi di Semarang pulang ke Jakarta. Gantian dia yang mengurus bapak.”

Namun, kondisi ayahnnya tidak juga membaik, malah semakin parah. Keluarga menunggu dengan gelisah di rumah karena nakes tidak rutin memberi kabar disebabkan padatnya pasien di rumah sakit.

Setelah masuk ICU, keadaan ayahnya sempat membaik. Namun, tak lama setelah itu, saturasi kembali turun ke angka 80-an. Dokter dan nakes memutuskan untuk membius ayahnya.

“Kondisinya drop terus. Saturasi menurun, gulanya juga naik. Terpaksa dibius. Eh, tapi sebelum dibius bapak sempat tulis surat. Katanya minta dikubur di kampung kalau bisa. Padahal belum apa-apa, tapi beliau sudah kepikiran mati.”

Duka

Dua puluh hari setelah dinyatakan positif dan sepuluh hari masuk ke ICU, ayah Tama dinyatakan meninggal dunia.

“Tanggal 17 April 2021 pukul 11.47, saya ingat betul. Pukul 11.30 keluarga sempat ditelepon, katanya minta izin dilakukan tindakan resusitasi karena ada henti jantung. Dari sana saya sudah enggak berharap apa-apa lagi,” ungkap Tama.

Untungnya, saat itu seluruh keluarga Tama sudah sembuh dari virus Corona sehingga mereka bisa melihat jenazah sang Ayah.

“Proses dimandikan dan dikafani itu masih bisa dilihat melalui pembatas kaca ruangan.”

Ayah Tama dimakamkan di TPU Rorotan, Jakarta Utara di hari yang sama.

Pesan dari Mereka yang Berduka dan Terluka

Dari cerita Eya dan Tama selaku mahasiswa Undip penyintas Covid, sepertinya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa duka maupun luka yang ditimbulkan pascasembuh lebih berbekas dibanding sakit yang dirasakan saat terpapar.

Di situasi seperti ini, kurva data pasien Covid-19 sedang naik-naiknya, sangat penting untuk menjaga kesehatan. Selain itu, dengan mematuhi protokol kesehatan berupa menggunakan masker dan menjaga jarak, kita sudah berpartisipasi dalam usaha pencegahan penyebaran covid-19.

Eya menyampaikan, “Sebisa mungkin jangan keluar rumah selama masih dinyatakan positif karena bisa membahayakan masyarakat jugaa. Selalu positive thinking biar gejalanya ga makin parah! Dan untuk teman-teman yang tidak terpapar Covid, harus lebih aware lagi karena Covid beneran ada dan bisa kena kapan aja.”

 

Reporter: Siti Latifatu S, Christian Noven

Penulis: Siti Latifatu S

Editor: Aslamatur Rizqiyah, Fidya Azahro

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top