17 Tahun Aksi Kamisan di Semarang: Teriakan Tegas Menentang Pelanggaran HAM dan Runtuhnya Demokrasi

 Massa Aksi Kamisan Semarang berkumpul di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah pada Kamis, (18/1) (Sumber : Manunggal)

 

Semarangan – Sejumlah massa Aksi Kamisan Semarang memenuhi pelataran Kantor Gubernur Jawa Tengah pada Kamis, (18/1). Mengusung tema “Pelanggaran HAM terus Subur, Demokrasi Hancur Lebur”, aksi kali ini memperingati genap 17 tahun lamanya Aksi Kamisan berjalan.

Dalam ruang kolektif yang digerakkan oleh semangat keadilan, para aktivis Semarang menggelar Aksi Kamisan untuk menyuarakan secara lantang terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). 

Tidak hanya membahas pelanggaran HAM berat masa lalu, aksi ini menjadi panggung utama untuk mengkritisi pelanggaran HAM kontemporer yang terus diproduksi oleh negara.

Aksi Kamisan Semarang menjadi panggung bagi mereka yang terus memperjuangkan ketidaktuntasan penanganan pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam ruang ini, kampanye terus digelorakan, menyuarakan bahwa per hari ini pelanggaran HAM berat masa lalu masih jauh dari kata selesai. 

Ketidakselesaian ini tak hanya terletak pada masa lalu, melainkan juga pada pelanggaran HAM yang terus terjadi di setiap pergantian penguasa, di setiap rezim, dan di berbagai tingkatan, baik nasional maupun daerah. 

Aksi Kamisan menjadi ruang yang efektif untuk mempropagandakan isu-isu kemanusiaan, HAM, demokrasi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. 

“Demokrasi yang diharapkan bisa menjadi alat perlindungan HAM, malah dicabik dan dikebiri oleh para oligarki dan penguasa,” tutur Adib Saifin Nu’man, salah satu Koordinator Aksi Kamisan Semarang ketika diwawancarai oleh awak Manunggal, Kamis (18/1).

Sejauh 17 tahun berlalu, Aksi Kamisan Semarang terus menjadi sorotan sebagai wadah perlawanan terhadap ketidakadilan. Aliansi aksi ini tidak hanya mempertahankan semangatnya selama periode tertentu, tetapi juga berkomitmen untuk terus bersuara dan menggaungkan berbagai isu-isu kerakyatan serta pelanggaran HAM.

Aksi Kamisan Semarang tidak hanya dihadiri oleh para aktivis saja, mahasiswa dan masyarakat umum juga ikut turun dalam seruan ini. Meskipun mendapat dukungan positif dari sebagian masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa aksi ini juga mengalami kesulitan dalam membangun kesadaran masyarakat secara luas. Terlebih ketika Aksi Kamisan Semarang tidak luput dari intimidasi aparat pemerintah.

Para politisi dinilai tidak cukup bijak dalam menanggapi tuntutan yang disuarakan oleh massa Aksi Kamisan. Sejak lama, mereka telah mendesak pihak birokrasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan menggunakan mekanisme hukum yang adil. 

Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa keadilan yang diharapkan masih belum kunjung terwujud dan meninggalkan kesan tidak responsif dari pihak politisi terhadap aspirasi masyarakat.

“Para politisi yang selalu membicarakan isu HAM pada pemilu berusaha populis untuk membela hak-hak rakyat, yang kemudian hari pasca pemilu dan 5 tahun ke depan nggak ada janji-janji itu dipenuhi. Kami merasa udah nggak lagi percaya dengan pemerintah,” tegas Adib.

Kekhawatiran Aksi Kamisan Semarang semakin membesar pada momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini, di mana pemimpin yang menang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah penjahat HAM.

“Kami menghindari pendapat yang ngomong ‘Memilih pemimpin yang buruk di antara yang paling buruk’. Mau sampai kapan kita begitu? Kayak melegitimasi bahwa ‘Ya, nggak apa-apa buruk daripada yang terburuk’. Bukan menjadi sebuah solusi jika memilih pasangan calon (paslon) yang memiliki pelanggaran lumayan mending,” ungkap Adetya Pramandira, Koordinator Aksi Kamisan Semarang.

Menanggapi isu yang terjadi di Jawa Tengah, aliansi Aksi Kamisan Semarang menyayangkan sikap mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ketika Ganjar mencalonkan diri menjadi Presiden, jabatan gubernur dilemparkan ke Pelaksana Tugas (PLT). 

Kasus yang terjadi di Jawa Tengah bukannya selesai, tetapi justru semakin meningkat. Perkembangan yang malah mengarah pada kehancuran lingkungan ini menimbulkan kekhawatiran bersama akan kiamat ekologis di Jawa Tengah.

Kasus pelanggaran HAM juga semakin mencuat, terutama dalam konteks persaingan hak atas tanah yang menjadi bagian integral dari pelanggaran HAM. Tidak ketinggalan, tuntutan terkait buruh migran dan pekerja perempuan yang diabaikan.

“Utamanya hak-hak buruh, mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jawa Tengah yang jauh di bawah provinsi-provinsi lain. Buruh mengejar hak mereka, tetapi keluhan mereka terus diabaikan oleh Ganjar,” pungkas Adetya.

 

Reporter : Vinta Syaputri

Penulis : Nuzulul Magfiroh

Editor : Ayu Nisa’Usholihah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top