Ilustrasi Wawancara dengan Biru Laut di Kafe Samudera (Sumber: Manunggal)
Sastra – Satu setengah tahun presiden negeri ini mencengkeram tahtanya dan ini kesepuluh kalinya gerakan besar turun ke jalan. Begitu besar namun tetap dituduh antek asing, dibayari, dan dianggap musuh negara. Bagaimana demokrasi tak kian melapuk, kalau demonstrasi dianggap sebagai pembangkangan?
Massa mulai berkumpul dan gerbang-gerbang angkuh DPR siap mengucapkan “selamat datang”. Namun, tampaknya tempat yang dijadikan titik aksi itu dibentengi kuat oleh ketidakpedulian dan keangkuhan. Sementara rakyat mati kelaparan, penguasa malah saling bermesraan untuk mengutak-atik undang-undang dan membuat kebijakan yang minim keterbukaan. Hati nurani mereka seperti tergilas oleh candu akan jabatan.
Biru Laut namanya, seorang reformis tahun 98 yang kini sudah berumur lebih dari setengah abad namun tetap kuat. Kulitnya menarasikan kalau dia sering turun ke jalan di kala muda. Seperempat abad lebih sudah Indonesia berubah, tetapi benarkah orde baru telah runtuh? Atau hanya berganti jas? Aku tak tahu. Yang kutahu adalah, pemimpin redaksiku yang cerewet itu sudah membuat temu janji dengan Laut dan memerintahku untuk segera bertemu dengannya untuk wawancara. Aku dan Laut sepakat bertemu di sebuah kafe bernama Samudera. Ketika aku datang, dia tampak lusuh namun tetap perlente.
“Maaf, Pak, saya terlambat. Jalanan macet betul.” Aku membuka percakapan, memberi salam sembari permisi dan duduk di hadapan Laut.
“Ya. Hari ini bergerak lagi, kan?” Laut mengacuhkan maafku dan menghujaniku dengan pertanyaan sinting macam dia tak tinggal di negeri ini.
“Rakyat akan tetap murka kalau presiden dan pengikutnya terus-menerus budek.”
Laut terkekeh. Buru-buru aku mengeluarkan pena, catatan dan alat perekamku. Sikap pretensi itu disambut Laut dengan sederhana, beliau tahu aku gugup. Setelah siap dan memperkenalkan diri, Laut menatapku seperti mengunci tubuhku. Aku bolak-balik memikirkan pertanyaan yang harus lebih dulu keluar.
“Santai saja. Kamu bebas menanyakan apapun. Di luar daftar pertanyaan itu, shout your question. Apapun, mari kita diskusi!”
Suasana di luar sedang terik. Pastilah massa mulai bergerak dan mereka siap dijerang matahari.
“Bagaimana tanggapan Anda terkait keadaan negara saat ini?”
Laut tersenyum, dia merapikan duduknya.
“Apa yang kamu harapkan dari seorang yang punya ambisi tinggi untuk jadi orang nomor satu di negeri ini? Setelah semua dosa dan lakunya yang buruk itu tak pernah diadili?”
“Tapi dia memenangkan pemilu,” ucapku seperti membaca fakta.
“Pemilu yang culas? Itu tidak menang. Kita tak bisa mengharapkan apapun. Demokrasi negeri ini bertalu dengan ambisinya untuk berkuasa.”
“Menurut Anda, apa dampak dari ambisi itu?” Aku semakin beringas untuk bertanya. Laut merelakan dirinya membuka tabir kelam. Aku tahu baginya pahit, tapi beliau mengizinkanku menyisir lorong sepi dan gelap itu.
“Kamu ingin tahu pendapat saya di sini, itu salah satu dampak. Bukankah pada akhirnya kamu hendak mengomparasi?”
“Saya mewawancarai Anda karena pemimpin redaksi saya ingin membuat gebrakan baru. Terlalu banyak mantan reformis yang dulu bergajul, kini justru duduk bersama para tikus-tikus itu!” Ucapku dengan sedikit meninggikan nada suaraku. Laut tahu aku memijak amarah. Dia maklum dan menjadi air es untuk kemurkaan itu. Kemudian, Laut tersenyum.
“Semua aspirasi yang hari ini disampaikan, menurutmu terdengar atau tidak?”
Aku menggeleng pelan.
“Salah! Kamu salah! Aspirasi itu terdengar. Hanya saja, nurani mereka mati, sehingga acuh dan apa yang diaspirasikan seperti tong kosong saja.”
“Presiden tuli?” tanyaku lirih.
“Secara konotatif mungkin iya. Tapi makna denotatif justru lebih parah karena dia dikelilingi oleh kroni-kroni yang jadi telinganya.”
“Itu sebabnya berpuluh-puluh kali pun demonstrasi ada, kita tetap tak akan didengar?” Tiba-tiba aku ingin pesimis.
“Tetaplah berisik. Turunlah ke jalan beribu kali lagi. Kita sedang membuat langkah pelan dan pasti. Tak harus didengar hari ini, karena sesungguhnya dengung kita sudah mengganggu mereka.”
Aku menutup catatanku. Pena kukaitkan di pinggir, dan rekaman kupangku dengan erat. Kalau nanti editorku bertanya pertinggal untuk notulen, aku akan menyuruhnya mendengarkan percakapan manis ini.
“Wawancara presiden dengan awak media selalu mulus. Katanya dia melakukan yang terbaik. Tapi pelan-pelan semua kembali seperti tahun di mana mertuanya bertahta.”
“Kamu tak lupa, kan, kalau dalam bulan ini ada lima wartawan mati? Tak mungkin mereka bunuh diri. Dan apa? Melakukan yang terbaik?” Laut terdiam sesaat. Sengaja. Aku sibuk menunggu kalimat selanjutnya.
“Kita bukan bicara tentang hal yang tak baik mereka kerjakan. Kita semua tahu, sedikit-banyak mereka bekerja. Tapi apa jaminan kalau segala yang kita kira baik yang dikerjakan oleh mereka, ternyata untuk menutupi tindakan culas mereka?” Laut menjawab seperti sedang berorasi.
Aku mengangguk. Paham bahwa kami berada di sisi yang sama. Perlawanan dicumbui kemurkaan.
“Ambisinya menarik kita ke titik nol,” jawabku pada Laut.
“Ya. Pelan-pelan kita tahu bahwa semua kembali seperti dulu, dengan bungkus yang berbeda, mungkin. Tapi dengan tujuan yang sama. Memasifkan kekuatannya, dan mengokohkan kekuasaannya.”
“Dampak lain, ya, seperti yang kita semua ketahui,” Laut berucap dengan tatapan pahit, “Tentara bermain perosotan di ranah sipil. Polisi bertindak seolah mereka musuh rakyat. Kebijakan yang minim partisipasi publik. Keadaan ekonomi yang seolah baik-baik saja, tapi semua orang tahu kita sedang di ambang kematian. Dan katamu tadi dia bekerja? Ya, tentu dia melakukan tugasnya, sebab itu tanggung jawabnya. Namun kamu harus tahu, siapapun yang berbulu domba, sesungguhnya serigala yang sedang menunggu waktu tepat untuk menerkammu.”
“Betapa porak-poranda keadaan saat ini. Namun bagi mereka, semua tetap terkendali.” Aku mengadu selayaknya seorang anak pada Ayahnya.
“Karena mereka yang kendalikan.”
“Lalu bagaimana dengan wartawan yang mati? Tanggapan Anda?” Aku memburu Laut.
“Pers kan anjing penjaga di negeri berdemokrasi. Kalau anjing-anjing itu digorok, kita sudah pasti tahulah siapa perampok yang sebenarnya. Persoalannya, kenapa mereka digorok? Berarti ada lalat-lalat yang terganggu dengan rongrongan mereka.”
Aku paham. Kami seperti diintel oleh banyak mata, sehingga Laut sedikit memainkan perumpamaan.
“Tapi kan bukan dia sendiri yang menggorok.”
“Hei, kekuasaan bekerja secara kolektif. Bahkan ambisi-ambisi yang kita maksudkan tadi, bukan ambisi presiden seorang. Saya percaya tulisan wartawan di negeri ini setajam pisau habis asah. Namun karena penguasa punya tameng, pisau itu hanya menggelitiknya. Sedang wartawan tak punya apa-apa. Undang-undang yang melindungi mereka macam tulisan dalam koran yang jadi bungkus gorengan. Wajar kalau rongrongan mereka membuat penguasa terbirit-birit.”
Laut berkonsultasi dengan jam tangannya. Aku mengerti dia blingsatan ingin tahu keadaan pergerakan.
“Pers kita kuat. Percayalah. Insan-insan pers yang dianggapnya kutu pengganggu bahkan pesuruh, adalah mereka yang bertumpu pada uang. Selebihnya, penggaung kebenaran itu tahu, bahkan untuk menulis ada harga bayar setara nyawa. Negara hanya harus bertindak sebagai pelindung dan menangani kasus dengan tegas,” ucap Laut menutup tentang pers.
“Lalu kebijakan? Penguasa yang punya andil besar untuk mengutak-atik, bukan?”
“Kalau kebijakannya melibatkan kita, maka diam bukan jawaban. Pada akhirnya, semua keputusannya berdampak pada rakyat, dan kalau dia yang duduk di atas sana enggan mendengarkan rakyat, maka apa yang kalian lakukan selama ini adalah kebenaran mutlak. Dia mungkin mengatakan tak terlibat dalam kebijakan yang dibuat oleh menteri-menterinya, but how? Itu non sense. Mereka semua berada dalam kereta yang sama.”
“Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), undang-undang urgen yang sampai kini belum disahkan, pembungkaman, menteri-menteri yang asal bunyi, alergi akan aksi, korupsi merajalela, judi, dan setumpuk masalah lain. Itu semua dampak?” tanyaku sembari melumat tatapan Laut.
Laut mengangguk, “apa yang tampak hari ini, adalah satu titik dari garis panjang yang akhirnya masih kita pertanyakan, tapi kita ketahui; kekuasaan yang tengah memuaskan dahaganya,” jawab Laut memainkan kesepuluh jarinya.
“Perampasan ruang hidup, petani yang punya padi sendiri tapi kelaparan, efisiensi anggaran untuk program unggulannya. Dan katanya dia masih melihat cahaya.”
Laut menelan liurnya. Dia tahu aku menganggapnya tempat aduan.
“Dia mantan pembunuh. Apa yang kamu sebutkan barusan, ya, tujuannya untuk membunuh. Tidak heran dan mari jangan terkejut. Efisiensi? Itu eufemisme. Ada berapa banyak orang dulu meninggal dengan alasan pengamanan dan menjaga stabilitas negara. Jadi efisiensi itu sesungguhnya pemotongan habis-habisan. Sampai kandas.”
“Seolah dia menyelamatkan.”
Laut tertawa dan menjawab, “mental culas itu selalu bersanding dengan sikap manipulatif.”
Aku mengangguk paham. Matahari tepat berada di atas kepala, aku yakin. Sebab bayangan kami dalam ruangan ini tak lagi tampak, melainkan samar-samar di bawah kami.
“Menurut Anda, di tengah kesintingan hari ini, apa yang harus kita lakukan?”
“Lawan!” ucap Laut yakin, “dia dan komplotannya tidak tuli, tapi pura-pura. Maka tetaplah bersuara. Teruslah turun ke jalan, menyuarakan hak-hak yang dirampas dan menuntut keterbukaan tiap kebijakan. Tak ada yang sia-sia dari perlawanan.”
“Tapi dia semakin kokoh dan rakyat kian kerdil.”
“Dia menggali lobang kuburnya sendiri dengan sikap semena-menanya. Kita juga sedang memendam amarah untuk siap meledak suatu hari nanti secara gigantik. Kalau bersama, kekerdilan kita akan mendorongnya ke lubang kubur yang dia gali.”
“Kalau yang bersuara saja dibungkam? Undang-undang yang mereka buat membenarkan tindakan represif terhadap masyarakat? Seperti apa kita bersikap?”
“Buat mereka tidak bisa tidur dengan agenda-agenda aksi. Jangan biarkan sedetik pun terlewat tanpa pertanyaan-pertanyaan kita. Penguasa tidak suka pertanyaan. Mereka tidak suka kita tahu dan membaca langkah mereka.”
Aku terus mengangguk-angguk dan Laut melanjutkan.
“Siapapun, tetaplah melawan. Kita tidak boleh diam saja saat berada di bawah rengkuhan rezim yang laknat. Terkutuklah mereka yang tidak belajar dari sejarah. Berbahagialah mereka yang sumbu perlawanannya tak pernah padam.”
Aku menatap Laut dengan saksama. Matanya semerah saga. Bibirnya terkulum, tapi aku tahu ada segurat senyum bangga di sana. Tatapan kami terus beradu dan aku memikirkan apakah zamannya serupa dengan hari ini? Apakah….sebentar, Laut? Biru Laut? Dia sirna. Tak ada di hadapanku. Menghilang. Sayup-sayup kudengar suara orasi dan ternyata aku berada di antara massa yang bergerak menuju DPR pada demonstrasi awal kala presiden pertama kali memerintah.
Sekali lagi kawan-kawan, bersama kita udarakan tangan kiri kita.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Perempuan yang Melawan!
Suara mereka menonjok-nonjok udara dan mataku sibuk mencari Laut. Tidak. Tadi aku bertemu dengannya, membicarakan bangsa yang kian carut-marut dan dia meneguhkan kami semua. Kota ini panas, dan sanubari kami lebih lagi. Orasi mereka memekakkan telinga dan aku menatap tiap mata yang sudah kesumat akan para penguasa. Belum selesai dan tak akan pernah usai. Perlawanan terus dipupuk, dan cinta tetap disebar dengan mendesak nurani raja-raja tiran di atas sana.
Percakapan imajinatif ini terpikirkan di sebuah malam yang menabrak tiap idealisme anak muda untuk diuji.
Penulis: Mitchell Naftaly
Editor: Nuzulul Magfiroh, Nurjannah
Illustrator: Nudia Utami


