Potret anggota Gerwani. (Sumber: cnnindonesia.com
Peristiwa – “Penderitaan itu pedih, Jenderal! Pedih!
Sekarang coba rasakan sayatan silet ini, juga pedih!
Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat!…”
Perkataan itu dikeluarkan oleh seorang anggota Gerwani seraya menyilet wajah Mayjen TNI Raden Suprapto. Salah satu adegan dari film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini menggambarkan bagaimana para korban disiksa oleh simpatisan PKI yang terdiri dari oknum prajurit Tjakrabirawa, Pemuda Rakyat, dan terakhir ialah Gerakan Wanita Indonesia atau disingkat Gerwani. Meski aksi tersebut masih diperdebatkan, para anggota Gerwani ini nantinya akan diburu oleh milisi masyarakat dan TNI AD sebagai bagian pembersihan anggota-anggota PKI beserta underbownya.
Isteri Sedar hingga Gerwis
Gerakan perempuan di Indonesia sudah ada sejak abad ke-19 masehi, dipelopori oleh R.A Kartini yang terinspirasi gerakan feminisme di Belanda. Ketika itu feodalisme dalam masyarakat Jawa sangatlah kuat sehingga peran dari perempuan hanya sebatas dapur-belakang-ranjang, diikuti dengan praktik poligami yang marak di kalangan bangsawan. Tidak banyak perempuan yang mengenyam pendidikan layaknya Kartini, beruntung dirinya berasal dari keluarga bangsawan yang menghargai pendidikan. Keinginannya agar para wanita masa itu bebas mengenyam pendidikan kemudian melahirkan Kartinischool yang didirikan oleh Betsy Maas, Ibu angkat Kartini di tahun 1915, dikutip dari vandeventermaas.or.id. Namun, sebelum kemunculan Kartinischool, terdapat pula Sokola Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika, salah seorang pengagum Kartini dan Feminis asal Sunda, pada tahun 1904 di Bandung. Keberadaan pendidikan bagi kaum wanita menjadi pendorong munculnya organisasi-organisasi kecorak gerakan feminisme wanita, terutama pada era pergerakan nasional yang disebabkan politik etis di abad ke-20 M. Pada tahun 1912, muncul organisasi Poetri Mardika yang kemudian disusul Poetri Sejati dan Wanita Oetama sebagai underbow Boedi Oetomo. Seiring berjalannya waktu muncul berbagai organisasi wanita dengan corak yang berbeda-beda. Isu poligami dan feminisme menjadi tujuan bersama berdirinya organisasi-organisasi tersebut. Salah satu yang paling radikal, ialah Isteri Sedar yang berhaluan sekuler.
Isteri Sedar didirikan pada 22 Maret 1930 oleh Soewarni Pringgodigdo sebagai organisasi wanita beraliran nasionalisme kiri. Paham-paham feminisme radikal barat menjadi ideologi utama mereka sehingga sering terjadi berbagai konflik antar organisasi perempuan berhaluan kanan/islamis seperti Aisyiah (1920) yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Menurut mereka bekerjasama dengan pihak agamis akan melemahkan gerakan lantaran sifat mereka yang lebih ke kompromi ketimbang anti. Misal dalam isu poligami, pihak agamis khususnya Islam masih berkompromi dengan poligami sesuai dengan hukum Islam dari sudut pandang ortodoks.
Akan tetapi, Soewarni bersama Isteri Sedarnya menolak keras poligami. Bahkan, dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di Jakarta pada Juli 1935, Soewarni mengkritik keras perwakilan sayap wanita Persatuan Muslim Indonesia (Permi) seusai sang wakil berpidato mengenai poligami dan hukum Islam. Akibatnya suasana sidang menjadi ricuh, peserta pria yang mengikuti kongres tersebut meledek Soewarni dengan suara kokokan ayam lantaran sang ketua Isteri Sedar ini mengatakan kaum lelaki memiliki tindak-tanduk seperti ayam jago ketika mengkritik. Merasa terhina, di akhir pidato, Soewarni mengumumkan Isteri Sedar keluar dari KPI dan ia beserta semua anggotanya melakukan walk out. Namun, panitia acara, atas nasihat dari Maria Ulfa, berhasil meyakinkan mereka bahwa pembahasan wakil asal Permi mengenai poligami dan islam ini tidak akan dilanjutkan sehingga satu persatu dari mereka mau masuk kembali ke ruang kongres.
Perjuangan Isteri Sedar berlangsung hingga tahun 1950. Selama perjuangannya, mereka menuangkan pemikiran-pemikirannya melalui majalah Sedar yang terbit di Jakarta. Banyak pula organisasi-organisasi serupa beraliran kiri muncul, seperti Persatuan Wanita Sedar dari Bandung dan Surabaya, serta Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang. 4 Juni 1950 atas prakarsa S.K Trimurti, enam organisasi wanita kemudian meleburkan diri menjadi organisasi baru bernama Gerakan Wanita Sedar atau disingkat Gerwis. Kali ini, organisasi di bawah kepemimpinan tiga serangkai: Tris Metty (Ketua I), Umi Sardjono (Ketua II), dan S.K Trimurti (Ketua III) menyatakan diri memiliki asas Pancasila dengan tujuan melawan ketidakadilan dan penindasan yang terjadi, khususnya pada kaum wanita. Misi dan visi yang menguntungkan kaum wanita ini membuat banyak yang tertarik mengikuti gerakan perempuan tersebut. Keanggotaan Gerwis pun meningkat dari 4000 orang di tahun 1952, menjadi 79.977 orang di tahun 1954. Melalui kongres I Gerwis di Surabaya, ideologinya diperkuat dengan anti-imperialisme dan menjunjung perdamaian dunia. Mereka juga bergabung dengan Federasi Wanita Demokrasi Internasional (WIDF) yang terkenal membela hak-hak wanita di seluruh dunia.
Gerwani dan kedekatan PKI
Melalui kongres II yang diselenggarakan tahun 1954, nama Gerwis kemudian berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Ketika itu S.K Trimurti beserta beberapa pendiri Gerwis sudah tidak menjabat sebagai anggota dewan maupun pimpinan organisasi. Kursi ketua sudah diisi oleh Umi Sardjono yang sebelumnya menjabat sebagai ketua II. Melalui kongres itu pula paham-paham anti-imperialisme diperkuat dengan dibahasnya masalah modal asing Amerika Serikat yang masuk ke sektor ekonomi, serta paham anti-radikalisme Islam dengan mengutuk keras aksi DI/TII. Secara tidak langsung, paham komunisme sudah berkembang di dalam tubuh organisasi. Sejak pendirian Gerwis, PKI memang sudah mendekati organisasi tersebut lantaran tujuan dan ideologinya yang hampir serupa. Memang sejak 1948, PKI berupaya meningkatkan martabatnya di bawah kepemimpinan baru, pasca pemberontakan di Madiun. Namun, meski kedekatan mereka cukup dekat, Gerwani menyatakan netral tidak terlibat dengan partai politik manapun.
Selama masa hidupnya, Gerwani menjadi salah satu organisasi wanita terbesar di Indonesia. Perjuangan mereka saat itu menyangkut permasalahan wanita, anak-anak, serta rakyat kecil dengan melakukan advokasi dan menggalang massa. Pada kegiatan sosialnya, mereka mengadakan kelas pemberantasan buta huruf bagi masyarakat kecil, serta advokasi terhadap permasalahan perempuan dan anak seperti mengadakan penitipan anak, arisan, jemputan beras, dan sebagainya. Masalah utama yang menjadi tujuan bersama gerakan perempuan yaitu poligami masih terus digaungkan. Bersama Persatuan Wanita Indonesia (Perwari), Gerwani menjadi yang paling keras menentang poligami yang dianggap merugikan kaum perempuan. Beberapa kali mereka mengadakan aksi demonstrasi ketika UU mengenai poligami akan disahkan oleh pemerintah. Sayangnya kedua organisasi ini kemudian pecah setelah pernikahan Soekarno dan Hartini di tahun 1957. Gerwani meski menentang keras, menganggap urusan pernikahan Soekarno yang kesekian kalinya ini sebagai masalah pribadi yang tidak perlu diganggu gugat, Tentu saja sikap tersebut membawa perpecahan dengan Perwari yang keras menentang pernikahan tersebut.
Pada tahun 1965, pemerintah meminta organisasi-organisasi massa untuk berafiliasi dengan partai politik. Gerwani melalui rapat pleno pada Januari 1965 memutuskan untuk bergabung dengan PKI yang memang banyak anggota wanitanya juga bergabung dengan Gerwani. Hasil dari rapat tersebut akan diratifikasi pada kongres yang akan diadakan pada Desember 1965. Nantinya keputusan tersebut justru membawa petaka bagi keberlangsungannya.
Mati Sengsara
Gerakan 30 September 1965 yang merenggut 6 petinggi militer AD menggemparkan negeri. Tuduhan terhadap PKI beserta underbow-nya mulai dilancarkan pada hari ketiga pasca kejadian. Tuduhan semakin besar pasca ditemukannya mayat para Jenderal di lubang buaya pada 4 Oktober 1965. Keberadaan oknum-oknum dari Gerwani, Pemuda Rakyat, dan Barisan Tani Indonesia menguatkan dugaan keterlibatan PKI. Namun, Gerwani secara organisasi saat itu tidak mengeluarkan sikap mendukung maupun mengecam penculikan dan pembunuhan tersebut, alhasil mereka menjadi incaran amuk masyarakat yang marah atas tindakan keji tersebut, serta aparat yang dipimpin oleh Angkatan Darat. Para petinggi Gerwani seperti Umi Sardjono yang saat itu menjabat sebagai sekjen menjadi orang pertama yang ditangkap. Ia dipaksa untuk mengakui keterlibatan Gerwani dalam G30S, meski ia tetap bersikeras menolak lantaran tidak ada bukti.
Para anggota yang selamat kini musti hidup dalam pelarian. Banyak dari mereka yang hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi menghindari kejaran aparat. Sementara mereka yang tertangkap, pelecehan seksual dan penyiksaan telah menunggu di penjara. Bagi yang tidak beruntung, nyawa mereka harus hilang ditangan milisi-milisi rakyat yang berasal dari kalangan organisasi anti-komunis atau agamis. Wilayah Jawa Barat yang tidak terdampak pembantaian menjadi destinasi utama. Menurut pengakuan Euis (72), ia mengingat ada satu rumah seorang perwira militer di wilayah dekat rumah, dipenuhi dengan wanita-wanita yang diduga sedang bersembunyi. Tertanda sejak dikeluarkannya surat pemerintah 11 Maret (Supersemar), maka Gerwani secara resmi dibubarkan bersama organisasi-organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI lainnya.
Para anggota Gerwani yang tertangkap di Pulau Jawa, mayoritas dikirim ke kamp Plantungan yang dikhususkan bagi tapol wanita kelas B dan C. Kehidupan mereka di sana jauh lebih baik ketimbang di penjara-penjara lainnya seperti Wirogunan, Yogyakarta karena mereka kerap mendapatkan pelecehan seksual dari sipir penjara. Di Plantungan, para tahanan masih memiliki kebebasan dalam menjalankan kehidupannya di dalam penjara. Mereka bahkan mendapatkan pelatihan seperti menjahit sebagai bekal setelah bebas nanti. Selain pelatihan, dibuka pula klinik yang dikelola oleh tapol supaya mereka dapat bekerja sebagai bidan dan dokter. Sejak 1970-an, kamp tersebut mulai dikosongkan pasca tekanan dari dunia internasional. Mayoritas para wanita Gerwani mendapatkan kebebasannya, kecuali bagi mereka yang masih diklasifikasikan oleh pemerintah Orba sebagai die hard komunis. Orang-orang yang tidak beruntung ini kemudian dikirim ke penjara lainnya hingga dibebaskan paling akhir tahun 1990an. Nama Gerwani pun masih berada dalam catatan hitam sejarah hingga kini.
Penulis : Fidel Satrio
Editor: Aslamatur Rizqiyah, Fidya Azahro
Referensi:
Afifi, R. I., & Kristianwantoni, S. (2019). Gerwani Dalam Pergulatan Ideologi Komunis 1950-1965. Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan, Dan Humaniora, 3(1), 10–20.
Kurniawan. (2013). Pengakuan algojo 1965. Jakarta: Tempo Publishing.
Djoeffan, S. H. (2001). GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA : TANTANGAN DAN STRATEGI MENDATANG. Mimbar, XVII(3), 284–300.
Lestariningsih, A. D. (2011). Gerwani: Kisah Tapol wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Muhsin Z., Mumun, 2010. R.A. KARTINI VERSUS R. DEWI SARTIKA. Makalah
Pohlman, A. (2014). Women, sexual violence and the Indonesian killings of 1965-66. London: Routledge
Septriana, I. (2017). PERANAN GERWANI (GERAKAN WANITA INDONESIA) SEBAGAI ORGANISASI PEREMPUAN TERBESAR DI INDONESIA TAHUN 1950-1965. Simki-Pedagogia, 1(2), 3–13.
History, vandeventermaas.or.id (diakses 25 September 2022 pukul 22:38)