BUKU – Isinga merupakan novel setebal 218 halaman karya sastrawati Dorothea Rosa Herliany yang berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2015 di bidang prosa. Mengambil latar waktu puluhan tahun lalu, Isinga yang berarti perempuan dalam bahasa Papua dibuka dengan romansa sepasang remaja pedalaman Papua, Meage dan Irewa. Kisah itulah yang mengantarkan pada padatnya isu-isu sosial berfokus pada perempuan yang terjadi di tengah lika-liku kehidupan masyarakat Papua. Kebiasaan, adat istiadat, pakaian, upacara, suasana dan kondisi etnografis, bahkan kegemaran masyarakat pedalaman Papua dan proses modernisasinya pun diceritakan Dorothea dalam buku ini.

Sayang, kisah cinta Meage dan Irewa yang baru mekar rupanya tak berjalan semulus yang dikira. Irewa, yang merupakan gadis suku Aitubu terpaksa menjadi yonime (alat perdamaian) dengan menikahi pemuda Hobone bernama Malom, demi mencegah terjadinya peperangan antar suku. Dari pernikahan tersebutlah Irewa mengalami kerasnya hidup sebagai perempuan bersuami. Pembaca seakan diajak turut merasakan betapa pedihnya kehidupan para mama Hobone Papua dalam belenggu penjajahan adat dan budaya.
“Dulu pada saat menikah ada pemberian babi sebagai maskawin. Maskawin tak ubahnya tanda bahwa perempuan telah dibeli. Karena sudah dibeli, laki-laki bisa melakukan apa saja terhadap perempuan. Cerai tak dikenal dalam kebiasaan di pegunungan Megafu. Apalagi kalau perempuan itu adalah yonime seperti Irewa.” (hal. 140).
Perempuan baik harus diam dan patuh, tapi laki-laki tak dilarang bersikap keras. Laki-laki tak banyak bekerja, berhak penuh atas tanah, sedang perempuan menanggung pekerjaan rumah tangga. Melayani suami, dipaksa melahirkan dan merawat banyak anak, menyediakan makanan, mengurus ladang dan babi. Tak ada libur, bahkan saat sakit dan hamil tua sekalipun.
Keterpurukan dan posisi perempuan yang timpang digambarkan dengan jelas dalam novel ini. Mengatasnamakan adat dan kebiasaan, perempuan bahkan tak dibiarkan memiliki hak atas tubuh, keinginan dan pemikirannya sendiri.
“Para perempuan ini menjalani semuanya. Begitu saja. Mereka tidak mengenal kata adil dan tak adil. Mereka tak tahu perempuan punya hak untuk menolak. Mereka hanya tahu bahwa memang begitulah sebuah kehidupan harus dijalani.” (hal. 70).
Jangan salah, semua mama Hobone pun demikian, tak terkecuali Irewa. Ironisnya, tak ada yang melawan ataupun saling mendukung antarperempuan. Mereka hanya menghibur diri dengan nyanyian, itu sebabnya bunuh diri saat itu tak jarang dilakukan perempuan.
Lambat laun, Papua mulai mengalami perubahan. Diawali dengan datangnya orang-orang dari Jawa sebagai titik awal modernisasi Papua, diikuti adanya pasar dan pekerja seks. Permasalahan-permasalahan baru mulai muncul, sekaligus memulihkan harapan Irewa. Kelak, hampir di akhir cerita Irewa dapat menonjolkan diri dan berperan dalam masyarakat di tengah kompleksitas isu yang ada.
Sederet konflik dengan pemerintah dan kekerasan oknum aparat era orde baru juga tak luput diceritakan. Soal tanah misalnya. Bagi masyarakat Papua, tanah adalah mama, karenanya tanah dan hutan harus dijaga. Tapi hutan sagu ditebang dan diganti dengan kelapa sawit. Para mama resah, dicurahkannya keresahan pada salah satu pejabat Papua dan sampailah pada pejabat tinggi Jakarta. Namun, jawaban yang diterima sungguh menyayat hati saya.
“Kalau mama-mama Papua ingin berpisah, tulis saja surat ke Paman Sam agar dicarikan tempat di bulan. Kami butuh tanah Papua. Bukan orangnya” (hal. 164).
Secara garis besar, isu-isu yang diangkat sangat kompleks. Kompleksitas itulah yang menjadikan buku ini terkesan terlalu banyak menjejalkan isu. Fokus dalam cerita menjadi kabur dan berujung pada cerita yang melompat-lompat. Selain itu, nyaris tidak terdapat dialog antartokoh sehingga mungkin akan terasa membosankan bagi beberapa orang.
Terlepas dari itu, banyak wawasan dan perspektif baru yang akan didapatkan dari Papua dalam buku ini. Sebagai perempuan pun, banyak pesan yang bisa dipetik dari kisah perjalanan hidup Irewa. Meskipun demikian, ending atau akhir cerita yang dihadirkan belum cukup memuaskan ekspektasi, sebab nasib tokoh yang ditonjolkan dalam novel ini seakan kurang tuntas diceritakan oleh penulis.
Penulis: Zainab Azzakiyyah
Editor: Rafika Immanuela, Christian Noven