Tulisan tentang 100 Hari Kepergian Gamma Ditempel di Gapura Polisi Daerah (Polda) Jawa Tengah pada Kamis (20/2). (Sumber: Manunggal)
Warta Utama – Aksi Kamisan bertajuk “Gamma Never End Game” merupakan aksi yang dilakukan kesekian kalinya karena hingga saat ini kasus Gamma belum menemukan titik terang. Aksi tersebut berlangsung di depan Kantor Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) pada Kamis (20/2) serta diikuti oleh elemen masyarakat sipil yang terus menanyakan tentang keadilan yang seharusnya diperoleh pihak keluarga, pun saudara Gamma.
Sudah hampir seratus hari sejak Gamma, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang, terbunuh di tangan oknum polisi, yakni Robiq Zainudin. Hingga kini, kasus Gamma masih menggantung di kejaksaan tanpa tindak lanjut yang jelas. Polisi dianggap kurang serius dalam menangani kasus Gamma. Publik berharap polisi segera melengkapi berkas pemeriksaan sehingga status kasus ini naik ke kelengkapan pemberkasan atau P21.
Bara Puan untuk Gamma
Hak hidup adalah hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang dan barang siapa merampas hak tersebut, terlebih menghilangkannya dengan sengaja, maka layak diberikan hukuman yang seberat-beratnya.
Bersanding dengan kasus kematian Gamma yang jelas dinahkodai oleh polisi, dan pelaku tidak mendapatkan hukuman yang seharusnya, justru mencoreng nama institusi kepolisian.
“Untuk kasus Gamma ini sendiri sebenarnya mereka bilang sudah diselesaikan dengan hanya memindahkan si Robig ini ke tempat lain. Hukuman untuk menghilangkan nyawa kok hanya sekadar dipindahkan saja?” keluh Anissa Paramitha, pegiat dari Bara Puan.
Menilik dari orasi Arfika Agustina, salah satu pegiat Bara Puan yang mengatakan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah sedang tumpul ke atas, menjadi bukti mengapa kasus Gamma mandek tanpa penghukuman yang mutlak terhadap pelaku.
“Indonesia adalah negara hukum, tapi berkaca pada kasus Gamma ini kita bisa bertanya semuanya, bahwasanya di mana keadilan yang sesungguhnya kalau memang Indonesia negara hukum,” pungkas Arfika Agustina.
Menurut mereka, hak hidup pelaku juga harus dipertaruhkan. Minimal, Robiq harus dicopot dari jabatannya di kepolisian karena sudah sangat mencederai dan mengotori citra kepolisian yang memang sudah kotor.
Mengapa Kasus Tak Kunjung Selesai?
Aksi Kamisan dihiasi oleh orasi yang dilakukan beberapa massa, menuntut polisi agar menyelesaikan kasus Gamma secepatnya dan menegakkan keadilan untuk Gamma beserta keluarganya. Dengan lantang mereka menyerukan bahwa polisi adalah pembunuh. Massa juga mengajak masyarakat untuk mengingat korban-korban lain yang juga gugur di tangan polisi.
Iwan Arifianto, seorang jurnalis Tribun Jateng, menilai polisi terkesan menutup-nutupi kasus Gamma. Polisi bahkan diketahui membelokkan fakta yang sebenarnya terjadi. Mereka menunjuk Gamma tergabung dalam aksi tawuran dan menyerang oknum polisi, sehingga Robiq mengaku merasa terancam karena Gamma berusaha menerobosnya. Faktanya, Gamma tidak sekali pun melakukan tindakan tersebut.
“Robiq dituntut atas pasal pembunuhan dan pasal Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak. Publik berharap pengadilan melakukan sidang dengan baik dan menjalankan tuntutan maksimal dari Jaksa Penuntut Umum untuk memvonis Robiq dengan tuntutan maksimal seumur hidup,” ucap Iwan ketika ditanya tuntutan publik bagi pelaku pada Kamis (20/2).
Selain kasus pidana, Robiq juga seharusnya dikenai sanksi atas kode etik. Kabarnya, Robiq sudah sempat diberhentikan melalui Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) dari jabatannya di kepolisian. Pelaku sempat mengajukan banding, tetapi sidang lanjutan atas bandingnya tak disegerakan. Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jateng menyegerakan sidang untuk menunjukkan kepada publik bahwa Robiq telah benar-benar diberhentikan.
Iwan juga menyebut bahwa para jurnalis sempat mendatangi keluarga Gamma. Sang ayah menyayangkan penanganan kasus putranya berjalan sangat lambat dan alot. Keluarga juga mengalami trauma yang cukup mendalam atas kematian Gamma.
“Keluarga cukup lemah. Mereka hanya keluarga biasa dan harus berhadapan dengan lembaga kepolisian yang cukup besar. Dengan keluarga yang seperti itu, perlu dukungan publik untuk menguatkan keluarga. Itulah mengapa ada aksi-aksi Kamisan,” tambahnya.
Selain menyerukan kasus Gamma, massa aksi juga turut mengangkat kontroversi band Sukatani karena lagunya yang bertajuk “Bayar Bayar Bayar” dinilai memojokkan polisi. Mereka diminta menarik operasionalisasi lagu tersebut dari publik. Sebagai bentuk perlawanan, massa menyetel lagu tersebut dengan lantangnya. Lagu mereka menjadi semangat perlawanan dan cerminan kebusukan para aparat polisi. Dalam orasinya, salah seorang peserta aksi menyebutkan bahwa lagu adalah memori mendasar yang bisa diputar ulang ketika banyak orang dan aktivis dibunuh.
Reporter: Mitchell Naftaly, Raisya Nurul Khairani
Penulis: Mitchell Naftaly, Raisya Nurul Khairani
Editor: Nurjannah, Nuzulul Magfiroh